“Jaka Seger dan Rara Anteng”
Cerita Rakyat Jawa Timur
Di sebuah
rumah sederhana di lereng Gunung Bromo, seorang laki-laki setengah baya sedang
duduk menunggu istrinya yang akan melahirkan anak kedua mereka. Laki-laki itu
adalah Raja Majapahit yang meninggalkan negerinya dan membuat sebuah dusun di
lereng Gunung Bromo bersama beberapa orang pengikutnya karena kalah berperang
melawan putranya sendiri. Wajah laki-laki itu tampak begitu pucat dan hatinya
diselimuti perasaan cemas melihat istrinya terus merintih menahan rasa sakit. Saat
tengah malam, buah hati yang mereka nanti-nantikan pun lahir ke dunia. Namun
anehnya, bayi yang berjenis kelamin perempuan itu tidak menangis seperti halnya
bayi-bayi pada umumnya. “Dinda! Bayi kita seorang perempuan,” kata mantan Raja
Majapahit itu. “Tapi Kanda, kenapa Dinda tidak mendengar suara tangis putri
kita?” tanya permaisurinya yang masih terbaring lemas. “Jangan khawatir, Dinda!
Putri kita lahir dengan normal dan sehat. Lihatlah, wajah putri kita tampak
bersinar! Dia bagaikan seorang titisan dewa,” ujar mantan Raja Majapahit itu
sambil menimang-nimang bayinya yang mungil di depan istrinya. Pasangan
suami-istri itu tampak begitu bahagia mendapat anak. Mereka pun memberi nama
bayi itu Rara Anteng, yang berarti seorang perempuan yang diam atau tenang.
Pada saat yang hampir bersamaan, di tempat lain yang tidak jauh dari rumah
Anteng dilahirkan, juga lahir seorang bayi laki-laki dari pasangan suami-istri
pendeta. Suara tangis bayi yang baru lahir itu sangat keras sehingga memecah
kesunyian malam di lereng Gunung Bromo itu. Bayi itu tampak sehat dan montok.
Oleh kedua orang tuanya, bayi itu diberi nama Jaka Seger, yang berarti seorang
laki-laki yang berbadan segar. Waktu terus berlalu. Kedua bayi itu pun tumbuh
menjadi dewasa. Jaka Seger tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan tampan,
sedangkan Rara Anteng tumbuh menjadi gadis yang cantik nan rupawan. Berita
tentang kecantikan Rara Anteng pun tersebar hingga ke mana-mana dan menjadi
pujaan setiap pemuda.
Sudah banyak
pemuda yang datang meminangnya, namun tak satu pun yang diterimanya. Rupanya,
putri mantan Raja Majapahit itu telah menjalin hubungan kasih dengan Jaka Seger
dan cintanya tidak akan berpaling kepada orang lain. Pada suatu hari, kabar
tentang kencantikan Rara Anteng juga sampai ke telinga sesosok raksasa yang
tinggal di hutan di sekitar lereng Gunung Bromo. Raksasa yang menyerupai badak
itu bernama Kyai Bima. Ia sangat sakti dan kejam. Begitu mendengar kabar
tersebut, Kyai Bima pun segera datang meminang Rara Anteng. Jika keinginannya
tidak dituruti, maka ia akan membinasakan dusun itu dan seluruh isinya. Hal
itulah yang membuat Rara Anteng dan keluarganya kebingungan untuk menolak
pinangannya. Sementara Jaka Seger pun tidak dapat berbuat apa-apa karena tidak
mampu menandingi kesaktian raksasa itu. Setelah sejenak berpikir keras,
akhirnya Rara Anteng menemukan sebuah cara untuk menolak pinangan Kyai Bima
secara halus. Dia akan mengajukan satu persyaratan yang kira-kira tidak sanggup
dipenuhi oleh raksasa itu. “Baiklah, Kyai Bima! Aku akan menerima pinanganmu,
tapi kamu harus memenuhi satu syarat,” ujar Rara Anteng. “Apakah syarat itu!
Cepat katakan!” seru Kyai Bima dengan nada membentak. Mendengar seruan itu,
Rara Anteng menjadi gugup. Namun, ia berusaha tetap bersikap tenang untuk
menghilangkan rasa gugupnya. “Buatkan aku danau di atas Gunung Bromo itu! Jika
kamu sanggup menyelesaikannya dalam waktu semalam, aku akan menerima
pinanganmu,” ujar Rara Anteng. Dengan penuh percaya diri dan kesaktian yang
dimilikinya, Kyai Bima menyanggupi persyaratan itu dan menganggap bahwa
persyaratan itu sangatlah mudah baginya. “Hanya itukah permintaanmu, wahai Rara
Anteng?” tanya raksasa itu dengan nada angkuh. “Iya, hanya itu. Tapi ingat,
danau itu harus selesai sebelum ayam berkokok!” seru Rara Anteng mengingatkan
raksasa itu. Mendengar jawaban Rara Anteng, raksasa itu tertawa terbahak-bahak,
lalu bergegas pergi ke puncak Gunung Bromo. Setibanya di sana, ia pun mulai
mengeruk tanah dengan menggunakan batok (tempurung) kelapa yang sangat besar.
Hanya beberapa kali kerukan, ia telah berhasil membuat lubang besar. Ia terus
mengeruk tanah di atas gunung itu tanpa mengenal lelah. Rara Anteng pun mulai
cemas. Ketika hari menjelang pagi, pembuatan danau itu hampir selesai, tinggal
beberapa kali kerukan lagi. “Aduh, mampuslah aku!” ucap Rara Anteng cemas,
“raksasa itu benar-benar sakti. Apa yang harus kulakukan untuk menghentikan
pekerjaannya?”
Rara Anteng
kembali berpikir keras. Akhirnya ia memutuskan untuk membangunkan seluruh
keluarga dan tetangganya. Kaum laki-laki diperintahkan untuk membakar jerami,
sedangkan kaum perempuan diperintahkan untuk menumbuk padi. Tak berapa lama
kemudian, cahaya kemerah-merahan pun mulai tampak dari arah timur. Suara lesung
terdengar bertalu-talu, dan kemudian disusul suara ayam jantan berkokok
bersahut-sahutan. Mengetahui tanda-tanda datangnya waktu pagi tersebut, Kyai
Bima tersentak kaget dan segera menghentikan pekerjaannya membuat danau yang
sudah hampir selesai itu. “Sial!” seru raksasa itu dengan kesal, “rupanya sudah
pagi. Aku gagal mempersunting Rara Anteng.” Sebelum Kyai Bima meninggalkan
puncak Gunung Bromo, tempurung kelapa yang masih dipegangnya segera
dilemparkan. Konon, tempurung kelapa itu jatuh tertelungkup dan kemudian
menjelma menjadi sebuah gunung yang dinamakan Gunung Batok. Jalan yang dilalui
raksasa itu menjadi sebuah sungai dan hingga kini masih terlihat di hutan pasir
Gunung Batok. Sementara danau yang belum selesai dibuatnya itu menjelma menjadi
sebuah kawah yang juga masih dapat disaksikan di kawasan Gunung Bromo. Betapa
senangnya hati Rara Anteng dan keluarganya melihat raksasa itu pergi. Tak
berapa lama kemudian, Rara Anteng pun menikah dengan Jaka Seger. Setelah itu,
Jaka Seger dan Rara Anteng membuka desa baru yang diberi nama Tengger. Nama
desa itu diambil dari gabungan akhiran nama Anteng (Teng) dan Seger (Ger).
Mereka pun hidup berbahagia. Setelah bertahun-tahun mereka hidup menikmati
manisnya perkawinan dan kehidupan berumah tangga, tiba-tiba muncul keresahan di
hati mereka. “Dinda, sudah bertahun-tahun kita menikah, namun belum juga
dikaruniai anak. Padahal kita sudah mencoba berbagai jenis obat,” keluh Jaka
Seger kepada istrinya. “Sabarlah, Kanda! Sebaiknya jangan terlalu cepat
berputus asa. Kita serahkan saja semua kepada Tuhan Yang Mahakuasa,” bujuk Rara
Anteng. Baru saja istrinya selesai berucap, tiba-tiba Jaka Seger mengucapkan
ikrar, “Jika Tuhan mengaruniai kita 25 anak, aku berjanji akan mempersembahkan
seorang di antara mereka untuk sesajen di kawah Gunung Bromo.” Begitu Jaka
Seger selesai mengucapkan ikrar itu, tiba-tiba api muncul dari dalam tanah di
kawah Gunung Bromo. Hal itu sebagai pertanda bahwa doa Jaka Seger didengar oleh
Tuhan Yang Mahakuasa. Tak berapa lama kemudian, Rara Anteng pun diketahui
sedang mengandung. Alangkah bahagianya hati Jaka Seger mendengar kabar baik
itu. Sembilan bulan kemudian, buah hati yang telah lama mereka nanti-nantikan
pun lahir ke dunia. Kebahagiannya pun semakin sempurna ketika mengetahui bahwa
istrinya melahirkan anak kembar. Setahun kemudian, Rara Anteng melahirkan lagi
anak kembar. Begitulah seterusnya, setiap tahun Rara Anteng melahirkan anak
kembar, ada kembar dua dan ada pula kembar tiga, hingga akhirnya anak mereka
berjumlah dua puluh lima orang.
“Terima kasih,
Tuhan! Engkau telah mengabulkan doa hamba!” ucap Jaka Seger. Jaka Seger bersama
istrinya merawat dan membesarkan kedua puluh lima anak tersebut hingga tumbuh
menjadi dewasa. Jaka Seger sangat menyayangi semua anaknya, terutama putra
bungsunya yang bernama Dewa Kusuma. Karena terlena dalam kebahagiaan, ia lupa
janjinya kepada Tuhan. Suatu malam, Tuhan pun menegurnya melalui mimpi. “Mana
janjimu, wahai Jaka Seger! Serahkanlah salah seorang putramu ke kawah Gunung
Bromo!” seru suara itu dalam mimpi Jaka Seger. Jaka Seger langsung tersentak
kaget saat tersadar dari mimpinya. “Ya, Tuhan! Aku telah lupa pada janjiku,”
ucap Jaka Seger, “Aduh, bagaimana ini? Siapa di antara putra-putriku yang harus
kupersembahkan, padahal aku sangat menyayangi mereka semua?” Akhirnya, Jaka
Seger bersama istrinya mengumpulkan seluruh putra-putrinya dalam sebuah
pertemuan keluarga. Jaka Seger kemudian menceritakan perihal nazarnya itu
kepada mereka. Wajah mereka pun serempak berubah menjadi pucat pasi. Apalagi
ketika dimintai kesediaan salah seorang dari mereka untuk dijadikan persembahan.
“Ampun, Ayah! Ananda tidak mau menjadi persembahan di kawah itu. Ananda tidak
mau mati muda,” sahut anak sulungnya keberatan. “Dengarlah, wahai
putra-putriku! Jika Ayahanda tidak menunaikan nazar ini, maka desa ini dan
seluruh isinya akan binasa,” jelas Jaka Seger. Dengan sigap, Dewa Kusuma
langsung menanggapi penjelasan ayahandanya. “Ampun, Ayah! Jika itu memang sudah
menjadi nazar Ayah, Ananda bersedia untuk dijadikan persembahan di kawah Gunung
Bromo,” kata Dewa Kusuma. Jaka Seger tersentak kaget. Ia tidak pernah mengira
sebelumnya jika putra bungsunyalah yang mempunyai keberanian dan kerelaan untuk
dijadikan persembahan. “Apakah kamu yakin dengan ucapanmu itu, hai Dewa
Kusuma?” tanya ayahnya. “Iya, Ayah! Ananda rela berkorban demi menyelamatkan dusun
ini dan seluruh isinya,” jawab Dewa Kusuma, “tapi, Ananda mempunyai satu
permintaan.” “Apakah permintaanmu, Putraku?” tanya ayahnya. Dewa Kusuma pun
menyampaikan permintaannya kepada Ayah, Ibu, dan saudara-saudaranya agar
dirinya diceburkan ke dalam kawah itu pada tanggal 14 bulan Kasada (penanggalan
Jawa). Ia juga meminta agar setiap tahun pada bulan dan tanggal tersebut diberi
sesajen berupa hasil bumi dan ternak yang dihasilkan oleh ke-24 saudaranya.
Permintaan Dewa Kusuma pun diterima oleh seluruh anggota keluarganya.
Pada tanggal
14 bulan Kasada, Dewa Kusuma pun diceburkan ke kawah Gunung Bromo dengan
diiringi isak tangis oleh seluruh keluarganya. Nazar Jaka Seger pun terlaksana
sehingga dusun itu atau kini dikenal Desa Tengger terhindar dari bencana.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment