“Biwar
Sang Panakluk Naga”
Cerita
Rakyat Papua
Di daerah
Mimika, Papua, terdapat sebuah kampung yang dihuni oleh sekelompok suku Mimika.
Mata pencaharian penduduk tersebut adalah memangkur sagu yang telah diwarisi
secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Setiap hari, baik kaum laki-laki
maupun perempuan, memangkur sagu di sepanjang aliran sungai di daerah itu.Suatu
hari, beberapa orang dari penduduk kampung tersebut hendak mencari sagu dengan
menggunakan perahu. Selain membawa alat berupa kapak dan pangkur, mereka juga
membawa bekal berupa makanan dan minuman karena kegiatan memangkur sagu
tersebut memerlukan waktu sekitar dua sampai tiga hari. Setelah beberapa lama
melayari sungai, tibalah mereka di suatu tempat yang banyak ditumbuhi pohon
sagu. Dengan penuh semangat, kaum laki-laki mulai menebang pohon sagu yang
sudah bisa diambil sari patinya. Setelah rebah, pohon sagu itu mereka kuliti
untuk mendapatkan hati sagu yang berada di dalamnya. Kemudian hati dari pohon
itu mereka tumbuk hingga menyerupai ampas kelapa dengan menggunakan pangkur.
Hasil tumbukan itulah yang disebut dengan sagu.
Selanjutnya,
sagu tersebut mereka kumpulkan pada sebuah wadah bambu yang sudah dibelah, lalu
mencampurinya dengan air. Setelah itu, kaum perempuan segera memeras sagu itu.
Air perasan inilah yang mengandung sari pati sagu. Untuk mendapatkan sari pati
tersebut, air perasan mereka biarkan beberapa saat hingga sari patinya
mengendap di dasar wadah bambu. Setelah air perasan berubah dari warna putih
menjadi jernih, air yang jernih tersebut mereka buang hingga yang tersisa
hanyalah endapan inti sagu. Inti sagu itu kemudian mereka bentuk seperti bola
tenis atau memanjang seperti lontong. Selanjutnya, sagu-sagu yang sudah siap
dimasak tersebut mereka masukkan ke dalam wadah yang disebut dengan tumang,
yaitu keranjang yang terbuat dari rotan. Setelah menaikkan semua tumang yang
berisi sagu tersebut ke atas perahu, rombongan itu pun berlayar menyusuri
sungai untuk kembali ke perkampungan. Saat perahu yang mereka tumpangi melewati
sungai di daerah Tamanapia, tiba-tiba seeokar naga muncul dari dalam air dan
langsung menyerang mereka. Hanya sekali kibas, ekor naga itu mampu
menghancurkan perahu itu hingga berkeping-keping. Tak ayal, seluruh
penumpangnya terlempar dan tenggelam di sungai, kecuali seorang perempuan yang
sedang hamil dapat menyelamatkan diri.
Kebetulan
perempuan hamil mampu meraih salah satu kepingan perahu yang telah hancur saat
ia terlempar ke sungai. Kepingan perahu itulah kemudian ia jadikan sebagai
pelampung hingga dapat sampai ke tepi sungai dan melarikan diri masuk dalam
hutan. Untuk berlindung dari binatang buas, perempuan hamil itu tinggal di
dalam sebuah gua yang ia temukan dalam hutan tersebut. Dalam keadaan hamil tua,
perempuan yang malang itu berusaha mencari daun-daun muda dan umbi-umbian untuk
bisa bertahan hidup. Suatu hari, dengan susah payah perempuan itu berjuang
melahirkan seorang diri. Atas kuasa Tuhan, ia berhasil melahirkan seorang bayi
laki-laki yang tampan dan diberinya nama Biwar. Kini, perempuan itu tidak lagi
kesepian tinggal di tengah hutan tersebut. Ia pun merawat dan membesarkan Biwar
dengan penuh kasih sayang. Saat Biwar tumbuh menjadi remaja, ia mengajarinya
berbagai ilmu seperti cara memanah, menangkap binatang, dan membuat api. Selain
itu, ia juga mengajari Biwar bermain tifa hingga mahir memainkan alat musik
tersebut. Beberapa tahun kemudian, Biwar telah tumbuh menjadi pemuda yang
tampan, kuat, dan gagah perkasa. Setiap hari ia membantu ibunya mencari lauk
dengan cara memancing ikan di sungai. Ia juga membantu ibunya membuat sebuah
rumah sederhana yang disebut dengan honai, yaitu rumah adat masyarakat Papua
yang terbuat dari kayu dengan atap berbentuk kerucut dari jerami atau ilalang.
Suatu hari, Biwar baru saja pulang dari memancing di sungai dengan membawa
beberapa ekor ikan besar. Setiba di depan rumahnya, ia meletakkan ikan hasil
tangkapannya itu di tanah seraya berteriak memanggil ibunya. “Mama..., Mama...,
keluarlah lihat! Biwar membawa ikan yang besar-besar,” teriak Biwar. Mendengar
teriakan itu, ibunya pun keluar dari dalam rumah seraya bertanya, “Dari mana
kamu dapatkan ikan itu, Anakku?” “Tadi Biwar memancingnya di sebuah sungai yang
dalam. Sungai itu banyak sekali ikannya dan pemandangan di sekitarnya amat
indah,” ungkap Biwar, “Jika Mama ingin melihatnya, besok Biwar akan tunjukkan
tempat itu.” Sang ibu menerima ajakan Biwar. Keesokan hari, berangkatlah mereka
ke sungai yang dimaksud. Alangkah terkejutnya ibu Biwar saat tiba di sungai
itu. Ia langsung teringat kepada almarhum suaminya. “Biwar, Anakku! Ketahuilah,
ayahmu beserta keluarga dan teman-taman Mama tewas di sungai itu karena
diserang oleh seekor naga!” ungkap sang ibu mengenang masa lalunya yang amat
memilukan hati. Mendengar kisah sedih ibunya, Biwar bertekad untuk membinasakan
naga itu. Namun, sang ibu mencegahnya. “Tapi, Biwar! Naga itu sangat ganas,”
cegah ibunya.
“Tidak Mama.
Bukankah Mama telah mengajarkan Biwar berbagai ilmu? Dengan ilmu itulah Biwar
akan membinasakan naga yang menghilangkan nyawa Papa,” tegas Biwar. Sang ibu tidak
mampu membendung tekad keras Biwar. Sebelum melaksanakan tekadnya, Biwar
bersama ibunya pulang ke rumah untuk menyiapkan semua senjata yang diperlukan.
Setelah menyiapkan tombak, golok, dan panahnya, Biwar pun berpamitan kepada
ibunya untuk pergi mencari sarang naga itu di sekitar sungai. “Hati-hati,
anakku!” ujar mama-nya. “Baik, Mama,” jawab Biwar seraya meninggalkan ibunya.
Setiba di tepi sungai, Biwar melihat sebuah gua yang diduga sebagai tempat
persembunyian naga itu. “Aku yakin naga itu pasti bersembunyi di dalam gua
ini,” gumam Biwar. Dengan langkah perlahan-lahan, Biwar mendekati gua itu.
Sesampai di depan mulut gua, ia segera mengambil tifa yang diselipkan di
pinggangnya lalu meniupnya untuk memancing naga itu agar keluar dari dalam gua.
Alunan musik tifa yang dimainkan Biwar benar-benar menarik perhatian sang naga.
Tak berapa lama kemudian, terdengarlah suara gemuruh dari dalam gua. Mendengar
suara itu, maka semakin yakinlah Biwar bahwa di dalam gua itulah sang naga
bersarang. Ia pun segera bersiap-siap dengan golok di genggamannya untuk
berjaga-jaga kalau-kalau naga itu datang menyerangnya. Ternyata benar, tak lama
berselang, kepala naga itu tiba-tiba muncul di mulut gua. Tanpa berpikir
panjang, Biwar segera melemparkan tombaknya ke arah kepala naga itu dan
berhasil melukainya. Meskipun terluka parah, naga itu masih terlihat ganas.
Maka sebelum naga itu menyerangnya, Biwar segera mencabut golok yang terselip
di pinggangnya. “Terimalah pembalasan dari ayah dan keluargaku yang telah kau
binasakan di sungai ini!” seru Biwar seraya memenggal kepala naga itu hingga
nyaris putus. Tak ayal, naga itu jatuh terkulai di depan mulut gua. Melihat hal
itu, cepat-cepat Biwar menimbun tubuh naga itu dengan bebatuan. Setelah
memastikan naga itu benar-benar telah mati, ia pun segera pulang ke rumahnya
untuk memberitahukan keberhasilannya membinasakan naga itu kepada ibunya.
Betapa senangnya hati sang ibu mendengar berita gembira tersebut. “Naga telah
menerima hukumannya. Kini hati Mama sudah lega,” ucap ibunya, “Segeralah buat
perahu anakku lalu kita kembali ke perkampungan!” Keesokan harinya, Biwar pun
membuat sebuah perahu kecil yang cukup ditumpangi mereka berdua. Dalam beberapa
hari, perahu itu pun selesai dibuatnya dan siap untuk digunakan.
Akhirnya, dengan
perahu itu, Biwar bersama ibunya berlayar mengarungi sungai menuju ke tanah
kelahiran ibunya. Setiba di perkampungan, mereka pun disambut dengan gembira
oleh penduduk setempat. Untuk merayakan keberhasilan Biwar sebagai pahlawan
yang telah menaklukkan naga itu, mereka mengadakan pesta yang meriah.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment