“Calon
Arang”
Cerita
Rakyat Jawa Timur
Pada zaman
dahulu kala, di daerah Jawa Timur terdapat sebuah kerajaan bernama Kahuripan.
Kerajaan tersebut dipimpin oleh Sri Baginda Erlangga. Suatu ketika, ia mendapat
laporan dari patihnya yang bernama Narottama bahwa sebagian besar rakyatnya
terserang penyakit aneh. Mendengar laporan itu, Sri Baginda Erlangga segera
memerintahkan Patih Narottama untuk menyelidiki penyebab penyakit aneh
tersebut. Alhasil, setelah diselidiki, ternyata penyakit aneh tersebut
disebarkan oleh seorang perempuan penyihir yang bernama Serat Asih atau lebih
dikenal dengan nama Calon Arang yang tinggal di Desa Girah. Setiap malam, Calon
Arang menyebarkan penyakit aneh tersebut kepada rakyat Kahuripan dengan ilmu
sihirnya. Mengetahui hal itu, Sri Baginda Erlangga memerintahkan Patih
Narottama agar segera menangkap perempuan penyihir itu. “Wahai, Patih
Narottama! Segera siapkan para prajurit pilihan untuk menangkap Calon Arang!”
perintah Sri Baginda Erlangga. Mendengar perintah itu, Patih Narottama pun
segera menabuh bende atau canang (gong kecil) untuk mengundang para prajurit
pilihan. Tak berapa lama kemudian, sekitar dua puluh prajurit pilihan telah
berkumpul di alun-alun kerajaan. Pasukan tersebut dipimpin oleh tiga orang
komandan, yaitu Wangsa Jaya, Pungga Mukti, dan Pungga Sasra. “Ampun, Patih!
Kami sudah siap menunggu perintah selanjutnya,” lapor komandan Wangsa Jaya usai
memeriksa anak buahnya. “Baiklah! Jika kalian sudah siap, ayo kita berangkat ke
Desa Girah untuk menangkap Calong Arang!” seru Patih Narottama. Setelah itu,
Patih Narottama memimpin pasukan tersebut menuju Desa Girah. Sesampainya di
desa itu, mereka pun segera merusak sebuah rumah tua yang diduga sebagai tempat
tinggal Calon Arang. Calon Arang yang berada di dalam rumah itu segera keluar
dengan sangat marah. Ia tidak terima dengan perlakuan pasukan kerajaan itu. Ia
pun memerintahkan keempat orang muridnya, yaitu Supala, Guritna, Datyeng, dan
Pitrah untuk mengusir mereka dari desa itu. “Hai, murid-muridku! Usir mereka
dari sini!” perintah Calong Arang.
Mendengar
perintah itu, keempat murid Calong Arang tersebut segera menyerang pasukan
kerajaan. Pertarungan sengit pun tak terelakkan lagi. Setelah beberapa saat
pertarungan itu berlangsung, pasukan kerajaan pun terdesak. Melihat anak
buahnya terdesak, Patih Narottama segera membantu. Namun, langkahnya dihadang
oleh Calon Arang. “Hai, Pak Tua! Hadapi aku kalau kamu berani!” tantang Calong
Arang. Tanpa berpikir panjang, Patih Narottama segera mencabut pedangnya lalu
menebas leher Calon Arang hingga terputus. Anehnya, setiap kali ia menebas
lehar Calon Arang, sesaat kemudian kepala Calon Arang yang jatuh ke tanah
menyatu kembali dengan tubuhnya. Begitu tubuhnya kembali utuh, Calon Arang
tertawa terbahak-bahak. “Hi... hi... hi... hi... ! Kamu tidak akan sanggup
membunuhku Pak Tua!” seru Calon Arang. Patih Narottama tidak putus asa. Ia
terus menebaskan pedangnya pada leher Calong Arang. Namun, Calon Arang tetap
tidak bisa mati. Akhirnya, Pati Narottama memerintahkan pasukannya untuk mundur
dan kembali ke istana Kahuripan. Mengetahui kegagalan Patih Narottama dan
pasukannya tersebut, Sri Baginda Erlangga segera memanggil Empu Bharada yang
merupakan adik sepupu Calon Arang. Tak berapa lama kemudian, Empu Bharada pun
datang menghadap ke istana. “Ampun, Baginda! Ada apa gerangan Baginda memanggil
hamba?” tanya Empu Bharada. “Begini, Empu! Calon Arang telah membuat resah
seluruh rakyat di negeri ini. Aku sudah memerintahkan patih dan para pasukan
pilihan kerajaan untuk menangkapnya, namun mereka tidak sanggup menghadapi
kesaktian Calon Arang. Hanya Empulah satu-satunya harapanku. Aku yakin, Empu
akan mampu menangkapnya,” jawab Sri Baginda Erlangga. “Baiklah, Baginda! Hamba
bersedia memenuhi permintaan Baginda,” kata Empu Bharada seraya berpamitan sambil
memberi hormat. Setibanya di rumah, Empu Bharada memanggil muridnya yang
bernama Bahula untuk mengatur siasat. “Apa yang harus kita lakukan, Empu?
Bukankah Calon Arang memiliki kesaktian yang tinggi?” tanya Bahula. “Benar
katamu, Bahula! Tapi, aku tahu kelemahannya. Rahasia kesaktian Calon Arang
terdapat di dalam sebuah kitab pusaka. Aku yakin, kitab itu pasti disembunyikan
di dalam rumahnya. Untuk itu, aku tugaskan kamu untuk mengambil kitab itu,”
jawab Empu Bharada. “Bagaimana caranya, Empu?” Bahula kembali bertanya. “Begini,
Bahula! Bukankah Calon Arang mempunyai seorang anak gadis yang bernama Ratna
Manggali? Nah, untuk mengambil kitab itu, kamu harus menikah dengannya. Setelah
menjadi suaminya, tentu kamu akan tinggal di rumah Calon Arang.Dengan demikian,
kamu bisa menyelidiki di mana kitab pusaka itu disembunyikan,” jawab Empu
Bharada. Mendengar penjelasan gurunya, Bahula terdiam sejenak. Ia memikirkan
kekasihnya, Wedawati, yang tak lain adalah putri Empu Bharada. “Bagaimana
dengan Wedawati, Empu?” tanya Bahula. “Demi ketenteraman negeri ini, aku
merestuimu menikah dengan Ratna Manggali! Tapi, ingat! Jangan sampai hal ini
diketahui oleh Wedawati!” ujar Empu Bharada. Bahula pun bersedia menikahi anak
gadis Calon Arang. Keesokan harinya, Bahula berpamitan kepada gurunya. Sebelum
ia berangkat, Empu Bharada berpesan kepadanya agar segera kembali setelah
berhasil mengambil kitab pusaka itu. Setelah itu, berangkatlah Bahula ke Desa
Girah untuk melamar Ratna Manggali. Sesampainya di desa itu, ia pun menyampaikan
maksudnya kepada Calon Arang. Tanpa curiga sedikit pun, Calon Arang menerima
lamarannya. Sehari kemudian, pesta pernikahan Bahula dan Ratna Manggali
dilangsungkan secara sederhana. Setelah menjadi suami Ratna Manggali, Bahula
tinggal di rumah Calon Arang. Ia pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk
menyelidiki tempat kitab pusaka itu disimpan. Pada suatu malam, ketika seluruh
isi rumah sedang tertidur pulas, Bahula masuk ke kamar Calon Arang dengan
langkah sangat hati-hati. Di dalam kamar itu, ia melihat sebuah peti berwarna
coklat yang disimpan di dalam lemari. “Hmmm... aku yakin kitab pusaka Calon
Arang pasti disimpan di dalam peti itu,” kata Bahula dalam hati. Dengan langkah
perlahan-lahan, Bahula mengambil peti itu dan segera membawanya keluar dari
kamar Calon Arang. Sebelum kembali tidur, ia memeriksa isi peti itu untuk
memastikan apakah di dalamnya berisi kitab pusaka. Ternyata benar, peti itu
berisi sebuah kitab yang sudah mulai usang. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali,
Bahula meminta izin kepada istri dan Calon Arang untuk menjenguk keluarganya di
kampung. Calon Arang pun mengizinkannya tanpa curiga sedikit pun. Bahkan saat
Bahula akan berangkat, ia mengantarnya sampai ke depan rumah. Setelah Bahula
pergi, Calon Arang kembali masuk ke kamarnya. Betapa terkejutnya ia ketika
melihat kitab pusakanya sudah tidak ada lagi di dalam lemari. Ia pun sadar
bahwa Bahula telah mengambil kitab itu. Dengan marah, ia segera keluar dari
rumahnya hendak mengejar Bahula. Namun, Bahula telah pergi meninggalkan desa
itu. Sementara itu, Bahula yang telah sampai di padepokannya segera menyerahkan
kitab pusaka itu kepada Empu Bharada. “Apakah kitab pusaka ini yang Empu
maksud?” tanya Bahula seraya meletakkan peti itu di depan gurunya.
“Ya, Benar!
Kekuatan sihir Calon Arang ada pada kitab ini,” jawab Empu Bharada setelah
memeriksa isi peti itu. “Baiklah, Bahula! Aku harus segera mempelajari isi
kitab ini sebelum Calon Arang menyusul kemari,” kata Empu Bharada. Usai
mempelajari isi kitab pusaka tersebut, Empu Bharada memberitahukan kepada
Bahula mengenai kelemahan Calon Arang. “Menurut kitab ini, satu-satunya senjata
yang bisa membunuh Calon Arang adalah keris Weling Putih,” ungkap Empu Bharada.
“Bukankah keris Weling Putih itu ada pada Empu?” tanya Bahula. “Ya, kebetulan
sekali, Bahula! Jadi, dengan keris itu kita dapat menghabisi nyawa Calon Arang
dengan mudah,” jawab Empu Bharada sambil tersenyum. Setelah mempersiapkan keris
Weling Putihnya, Empu Bharada bersama Bahula datang menemui Calon Arang di Desa
Girah. Setibanya mereka di sana, alangkah terkejutnya Calon Arang ketika
melihat Bahula datang bersama Empu Bharada. Ia baru sadar, ternyata menantunya
adalah murid Empu Bharada, adik sepupunya. “Hai, Bahula! Rupanya kau telah
memperdayaiku. Kamu menikah dengan anak gadisku karena hanya ingin mencuri
kitab pusakaku. Ayo kembalikan kitab pusaka itu kepadaku!” seru Calong Arang
dengan kesal. “Maaf, Kang Ayu! Kami melakukan semua ini atas perintah Gusti
Raja. Beliau tidak tahan lagi melihat penderitaan rakyat negeri ini karena
penyakit aneh yang kamu sebarkan itu,” sahut Empu Bharada. “Persetan dengan
Gusti Raja! Kembalikan kitab pusaka itu!” seru Calon Arang. Berkali-kali Calon
Arang meminta agar kitab pusakanya dikembalikan kepadanya, namun Empu Bharada
tetap menolak untuk memberikannya. Kemarahan Calon Arang pun semakin memuncak.
Tiba-tiba ia menyerang Empu Bharada dengan ilmu sihirnya. Dengan cepat, Empu
Bharada mencabut keris Weling Putih yang terselip di pinggangnya untuk
menangkis sihir itu. Setelah berhasil menangkis sihir itu, Empu Bharada hendak
berbalik menyerang. Namun baru saja ia mengacung-acungkan kerisnya, tiba-tiba
Calon Arang berteriak meminta ampun karena takut pada keris itu. “Ampun, Dimas!
Ampunilah aku!” pinta Calon Arang menghiba. “Hai, Calon Arang! Walaupun kau
adalah kakak sepupuku, kau tetap musuhku. Kau telah membuat rakyat di negeri
ini menderita. Lebih baik kamu mati saja!” seru Empu Bharada seraya
menghujamkan keris Weling Putihnya ke tubuh Calon Arang.
Akhirnya, Calon
Arang pun tewas. Sepeninggal Calon Arang, Bahula tetap menjadi suami Ratna
Manggali. Konon, Bahula juga menikah dengan kekasihnya, Wedawati. Sejak
kematian Calon Arang, penyakit aneh yang menimpa rakyat Kahuripan serta merta
hilang. Mereka pun kembali hidup damai dan sejahtera.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment