“Si
Pahit Lidah”
Cerita
Rakyat Sumatra Selatan
Dahulu, di
daerah Sumidang, Sumatra Selatan, ada seorang pangeran bernama Serunting.Ia
adalah anak keturunan raksasa yang namanya Putri Tenggang. Suatu hari, Pangeran
Serunting mempersunting seorang gadis desa bernama Sitti. Setelah menikah, ia
mengajak istrinya untuk tinggal di istana. Namun, Sitti bingung. Di satu sisi,
ia tidak ingin berpisah dengan adik laki-lakinya yang bernama Aria Tebing, tapi
di sisi lain ia harus patuh pada suaminya.
“Dinda tidak tahu harus berbuat apa
lagi, Kanda.Dinda tidak tega jika harus meninggalkan Aria Tebing, adik Dinda
satu-satunya,” kata Sitti kepada suaminya.
“Kalau begitu, bagaimana jika Aria
Tebing kita ajak untuk tinggal bersama di istana?” usul Pangeran Serunting.
Sitti pun menerima saran tersebut.Namun, ketika hal itu disampaikan kepada Aria
Tebing, adiknya itu justru menolak.Ia lebih senang hidup bebas di desa daripada
tinggal di istana yang penuh dengan aturan. Akhirnya, Sitti dan Aria Tebing
bermufakat untuk membagi dua kebun warisan dari orangtua mereka.Kebun yang
menjadi bagian Sitti secara tidak langsung juga sudah menjadi milik Pangeran
Serunting. Agar tidak terjadi perselisihan di antara mereka, Pangeran Serunting
pun menyarankan agar kebun mereka diberi pembatas. “Lebih baik di tengah-tengah
ladang itu diberi pembatas agar kelak tidak terjadi perselisihan di antara
kita,” ujar Pangeran Serunting. “Saran yang bagus, Kanda,” kata Aria Tebing.
Keesokan harinya, Aria Tebing bersama Serunting berangkat ke kebun itu dengan
membawa sebatang kayu pembatas. Setiba di sana, kayu pembatas itu mereka tanam
dalam-dalam di tengah ladang. Beberapa hari kemudian, pada kayu pembatas itu
tumbuh tanaman cendawan atau jamur.Namun, cendawan yang tumbuh pada batang kayu
itu jauh berbeda.Cendawan yang mengarah ke kebun Serunting hanya cendawan
biasa, sedangkan cendawan yang mengarah ke kebun Aria Tebing berupa cendawan
emas. Aria Tebing pun menjual cendawan emas tersebut dan ia menjadi kaya raya.
Rupanya, Serunting iri hati melihat nasib baik dialami oleh adik iparnya itu.
Suatu hari,
Serunting mendatangi Aria Tebing yang sedang memetik jamur emas di ladangnya.Ia
sudah tidak kuat menahan perasaan iri yang menyelimuti hatinya. “Hai, Aria
Tebing! Apa yang kau lakukan terhadap tanaman cendawanku?” tanya Pangeran
Serunting. “Apa maksud, Kanda?Aku tidak melakukan apa-apa terhadap cendawan
Kanda,” jawab Aria Tebing dengan heran. “Ah, bohong kamu!Pasti kamu telah
berbuat curang kepadaku,” tuduh Pangeran Serunting, “Engkau telah membalik kayu
pembatas itu sehingga cendawan emas itu mengarah ke ladangmu!” Aria Tebing
semakin bingung dengan tuduhan yang ditujukan kepadanya.Ia merasa tidak pernah
membalik kayu pembatas itu. Cendawan emas itu tumbuh dengan sendirinya.
Meskipun ia sudah meminta maaf dan menjelaskan keadaan yang sebenarnya,
Pangeran Serunting tidak mau terima. Bahkan, ia menantang Aria Tebing untuk
berkelahi. “Hai, Aria Tebing. Kamu tidak usah banyak alasan. Jika kamu berani,
lawan aku! Aku menantangmu!” tantang Pangeran Serunting. Aria Tebing bingung
untuk menjawab tantangan itu.Ia menyadari bahwa dirinya akan mungkin mampu
menghadapi kakak iparnya sakti mandraguna itu. Tapi, jika ia menolak tantangan
itu, Pangeran Serunting pasti akan membunuhnya. “Baiklah, Kanda. Aku akan
terima tantangan Kanda, tapi berilah aku waktu 2 hari untuk berpikir!” pinta
Aria Tebing. “Baik, kalau itu maumu.Jika perlu, latihlah kemampuanmu sebelum
waktu itu tiba!” seru Pangeran Serunting dengan nada melecehkan. Sejak itu,
Aria Tebing sulit memejamkan matanya.Ia bingung mencari cara agar bisa
mengalahkan Pangeran Serunting. Sehari sebelum pertarungan itu dimulai, ia
akhirnya menemukan jalan keluarnya. “Ahhaaa... aku tahu cara sekarang,” gumam
Aria Tebing. “Kak Sitti pasti tahu kelemahan Pangeran Serunting.” Aria Tebing
menemui kakaknya secara sembunyi-sembunyi.Ia kemudian meminta kepada kakaknya
agar mau memberitahu kelemahan Pangeran Serunting. “Kak Sitti, tolong kasih
tahu aku mengenai kelemahan Pangeran Serunting!” bujuk Aria Tebing, “Kalau
tidak, ia pasti akan membunuhku.” Sitti tidak menjawab.Hatinya sedang
bingung.Ia tidak ingin adiknya mati, tapi ia pun tidak mampu mengkhianati
suaminya. “Maafkan aku, adikku.Aku tidak bisa mengkhianati suamiku,” kata Sitti
kepada adiknya.
“Tolonglah aku,
Kakak,” rengek Aria Tebing, “Jika pun aku mengetahui kelemahan Pangeran
Serunting, aku tidak akan membunuhhnya, sedangkan ia pasti akan
membunuhku.Apakah Kakak rela melihat aku tewas di tangan suami Kakak sendiri?”
Sitti kembali terdiam.Ia tersentuh dengan perkataan adiknya. “Baiklah, Dik. Aku
akan memberitahukannya, tapi kamu harus berjanji untuk tidak membunuhnya,” ujar
Sitti. “Baik, aku janji.Aku tidak akan membunuhnya,” kata Aria Tebing.
Akhirnya, Sitti pun membocorkan rahasia kelamahan suaminya kepada Aria Tebing.
“Rahasia kesaktian suamiku ada pada rumput ilalang yang selalu bergetar
walaupun tidak tertiup angin,” kata Sitti, “Jika kamu menombak rumput ilalang
itu, kekuatannya langsung lenyap seketika.” “Baik, Kak. Terima kasih atas
bantuannya,” ucap Aria Tebing. Pada hari yang telah ditentukan, Pangeran
Serunting dan Aria Tebing pergi ke sebuah padang ilalang. Setiba di sana,
pertarungan pun dimulai. Baru saja pertarungan itu dimulai, Aria Tebing sudah
mulai terdesak oleh serangan-serangan kakak iparnya.Hal itu menunjukkan bahwa
betapa tingginya kesaktian Pangeran Serunting. Meskipun demikian, Aria Tebing
tidak gentar karena sudah mengetahui kelemahan sang pangeran. Pada saat yang
tepat, ia segera menombak ilalang yang bergetar di padang itu. Seketika itu
pula, sang Pangeran jatuh tersungkur ke tanah dengan keadaaan luka parah.
Merasa dikhianati oleh istrinya, Pangeran Serunting pergi meninggalkan kampung
halamannya menuju ke Gunung Siguntang untuk bertapa. Setiba di sana, tiba-tiba
ia mendengar suara gaib dari Sang Hyang Mahameru. “Hai, anak muda. Maukah
engkau mendapatkan kekuatan gaib?” tanya suara itu. “Saya sangat mau, wahai
Sang Hyang Mahameru,” jawab Pangeran Serunting. “Baiklah, tapi ada syaratnya
yaitu engkau harus bertapa di bahwa pohon bambu hingga daun bambu itu menutupi
seluruh tubuhmu,” kata Sang Hyang Mahameru. Tanpa berpikir panjang, Pangeran
Serunting segera menyanggupi persyaratan itu. Setelah itu, ia langsung memulai
tapanya dengan penuh konsentrasi. Segala bentuk kehidupan dunia telah lenyap
dalam pikiran dan ingatannya.Rasa lapar dan dahaga pun tidak dirasakannya lagi.
Semakin lama ia semakin larut dalam tapanya sehingga tak terasa sudah 2 tahun
ia bertapa. Saat itu pula, seluruh tubuhnya telah tertutupi daun-daun bambu
yang telah berguguran. Sesuai dengan janjinya, Sang Hyang Mahameru kembali
mendatangi Pangeran Serunting.
“Wahai, anak
muda.Karena engkau telah berhasil melaksanakan syarat itu dengan baik, maka
kini saatnya aku menurunkan ilmu kesaktian kepadamu,” kata Sang Hyang Mahameru.
“Kesaktian apakah itu, wahai Sang Hyang Mahameru?” tanya Pangeran itu
penasaran. “Apa pun yang engkau ucapkan akan berubah menjadi kutukan,” jawab
Sang Hyang Mahameru. Dengan perasaan gembira, Pangeran Serunting segera pulang
ke kampung asalnya.Dalam perjalanan pulang, terbersit di pikirannya untuk
menjajal kesaktian yang baru diperolehnya itu. Saat menjumpai hamparan pohon
tebu di tepi danau, ia berkata: “Jadilah batu, wahai pohon tebu!” serunya.
Berkat kesaktian lidahnya, hamparan pohon tebu itu langsung berubah menjadi
batu.Oleh karena itulah, Pangeran Serunting dijuluki Si Pahit Lidah karena
kesaktian lidahhnya itu.Selanjutnya, Si Pahit Lidah mendapati sebuah bukit yang
gersang dan tandus bernama Bukit Serut.Ia kemudian mengubah bukit gersang itu
menjadi hutan belantara. Ketika tiba di suatu desa, Si Pahit Lidah memenuhi
keinginan sepasang suami istri yang sudah tua untuk memiliki anak. Dengan
kesaktian lidahnya, ia mengubah sehelai rambut milik si nenek menjadi seorang
bayi laki-laki. Begitulah seterusnya, di sisa perjalanannya menuju Sumidang, Si
Pahit Lidah terus belajar berbuat baik kepada sesama makhluk hidup.Setiba di
kampung halamannya, rasa dendamnya kepada Aria Tebing pun hilang sudah seiring
dengan perbuatan baiknya di sepanjang perjalanan.Ia pun meminta maaf kepada
adik iparnya itu, juga kepada istri tercintanya.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment