“Asal
Mula Nagari Koto Nan Ampek dan Koto Nan Gadang”
Cerita
Rakyat Sumatra Barat
Di sebuah nagari
di daerah Minangkabau, Sumatra Barat, ada sebuah kerajaan dipimpin oleh seorang
raja yang bergelar Baginda Mulia Nan Arif Bijaksana. Diberi gelar demikian
karena ia seorang raja yang sungguh arif dan bijaksana. Ia senantiasa
menjalankan segala kewajibannya sebagai seorang raja dan memberikan segala
sesuatu yang menjadi hak rakyatnya. Rakyat negeri ini senantiasa hidup aman,
tentram dan makmur. Betapa tidak, selain memiliki raja yang arif dan bijaksana,
mereka juga memiliki tanah yang luas dan berbagai jenis tanaman yang tumbuh
dengan subur. Hasil buminya sangat melimpah. Ternak-ternak seperti sapi,
kerbau, domba, dan kambing dapat merumput dengan leluasa sehingga tumbuh sehat
dan besar-besar. Ternak-ternak tersebut mereka jual ke negeri-negeri sekitarnya
dengan harga yang cukup mahal. Keadaan nagari yang aman dan sejahtera tersebut
membuat rakyat selalu patuh, hormat, dan menjunjung tinggi kewibawaan Baginda
Mulia. Segala titah raja mereka laksanakan dengan penuh tanggungjawab. Mereka
juga senantiasa menjaga kekayaan dan tanah negeri yang luas dan subur itu.
Baginda Mulia Nan Arif Bijaksana mempunyai seorang permaisuri yang cantik
jelita, dan tiga orang putri yang masih kecil. Di sela kesibukannya mengurus kerajaan,
Baginda Mulia selalu meluangkan waktu dengan mengajak keluarganya keluar istana
untuk melihat pemandangan dan kekayaan alam yang dimiliki negeri mereka.
Bahkan, Baginda Mulia sering mengajak putri sulungnya berkunjung ke
kerajaan-kerajaan tetangga dan berjalan-jalan ke pelosok desa untuk melihat
kondisi kehidupan sehari-hari rakyatnya. Dengan demikian, Putri Sulung banyak
tahu tentang masalah-masalah yang sering dihadapi oleh kerajaan. Waktu terus
berjalan. Ketiga putri Baginda Mulia tumbuh menjadi gadis-gadis yang cantik dan
cerdas. Terutama Putri Sulung, ia seorang gadis yang sudah mulai berpikiran
dewasa. Ia sering dimintai pandangan oleh ayahnya, karena selalu bersikap sabar
dan tenang dalam memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi kerajaan. Pada
suatu sore, sang Permaisuri melihat Baginda Mulia Nan Arif Bijaksana sedang
duduk sendirian di serambi istana.
“Apa yang sedang
Kanda pikirkan? Ada yang bisa Dinda bantu?” tanya sang Permaisuri. “Iya, Dinda!
Kanda sedang memikirkan putri kita yang sulung. Di antara ketiga putri kita,
dialah yang tampak lebih dewasa dan bijaksana dalam berpikir. Ia juga banyak
mengerti mengenai persoalan kerajaan ini,” jawab Baginda Mulia. “Lalu, ada apa
dengannya, Kanda?” tanya Permaisuri tidak mengerti. “Begini, Dinda! Kanda rasa
sudah waktunya ia menikah. Untuk itu, Kanda bermaksud untuk mencarikan jodoh
yang sepadan dengannya. Kanda berharap agar menantu dan putri kita dapat
menggantikan kedudukan Kanda kelak,” jelas Baginda Mulia. “Benar, Kanda! Ia
juga sabar, tidak sombong dan rendah hati. Dinda juga berharap kerajaan ini
kelak dipimpin oleh seorang raja yang arif dan bijaksana seperti Kanda,” tambah
Permaisuri. “Tapi, apakah Kanda sudah mempunyai pilihan untuknya?” tanya
Permaisuri ingin tahu. “Belum, Dinda,” jawab Baginda Mulia. “Lalu, apa rencana
Kanda?” Permaisuri kembali bertanya. “Kanda bermaksud memancang gelanggang di
depan istana. Siapa pun yang menang dalam gelanggang itu, dialah yang akan
menjadi menantu kita dan pastinya ia adalah seorang pemuda yang sepadan dengan
putri kita,” jelas Baginda Mulia. Mendengar penjelasan itu, sang Permaisuri pun
setuju. Keesokan harinya, Baginda Mulia memanggil Putri Sulung. “Ampun,
Ayahanda! Ada apakah gerangan Ayahanda dan Ibunda memanggil Putri?” tanya Putri
Sulung penasaran. “Begini, Putriku! Kini engkau telah dewasa. Ayah dan Bundamu
bermaksud mencarikan jodoh yang sepadan untukmu. Kami berharap engkau dan
suamimu kelak dapat menggantikan Ayahandamu untuk memimpin kerajaan ini,” jawab
Baginda Mulia. Mendengar jawaban itu, Putri Sulung pun terdiam sambil
menundukkan kepala. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. “Bagaimana
pendapatmu, Putriku?” desak sang Ibunda. “Jika sekiranya itu adalah jalan yang
terbaik untuk masa depan Ananda dan kerajaan ini, Ananda tidak keberatan. Tapi,
bagaimana Ayahanda dan Ibunda memilihkan jodoh untuk Ananda?” Putri Sulung
balik bertanya ingin tahu. Baginda Mulia Nan Arif dan Bijaksana pun menjelaskan
semua rencananya. Setelah mendapat persetujuan dari Putri Sulungnya, Baginda
Mulia pun segera mengumpulkan semua pejabat istana untuk membicarakan segala
hal yang menyangkut keperluan penyelenggaraan gelanggang tersebut.
Setelah itu,
para pengawal istana segera menyebarkan pengumuman ke seluruh penjuru negeri
dan mengirim surat undangan kepada kerajaan-kerajaan tetangga agar bersedia
mengirim utusan atau putra mahkota mereka. Dalam waktu singkat, ramailah orang
membicarakan gelanggang yang akan diselenggarakan oleh Baginda Mulia Nan Arif
Bijaksana itu. Setiap hari, dari pagi sampai sore, banyak pemuda dan putra
mahkota berlatih untuk mengasah kemampuan dan kesaktian mereka. Sementara para
pemuda dan putra mahkota sibuk berlatih, Baginda Mulia beserta pembesar
kerajaan sibuk bermusyawarah untuk persiapan pembukaan dalam acara gelanggang
tersebut. “Mahapatih, apa rencana untuk pembukaan gelanggang nanti?” tanya
Baginda Mulia kepada Bendahara Kerajaan. “Ampun, Baginda! Jika hamba boleh
mengusulkan, sebaiknya kita mengadakan tari-tarian untuk menyambut para tamu,”
jawab Bendahara sambil memberi hormat. “Ada usulan yang lain?” Baginda Mulia
bertanya kepada peserta rapat lainnya. “Hamba usul Baginda!” sahut salah
seorang menteri. “Apakah itu? Katakanlah!” desak Baginda Mulia. “Bagaimana
kalau kita mengadakan jamuan makan dengan para undangan dan peserta lomba agar
semakin eratlah hubungan persaudaraan kita,” ungkap sang Menteri. “Ampun,
Baginda Mulia! Untuk menjamu mereka, tentu kita harus menyediakan makanan enak
dan lezat dari bahan-bahan pilihan,” tambah seorang menteri lainnya. “Benar,
Baginda! Kita harus menyembelih beberapa ekor kerbau yang besar-besar dan
sehat-sehat,” Bendahara Kerajaan menambahkan. Mendengar jawaban itu, Baginda
Mulia terdiam sejenak. Ia memikirkan binatang ternak apa yang pantas untuk
dihidangkan kepada para tamunya. Sesaat kemudian, tiba-tiba ada sesuatu yang
terlintas dalam pikirinnya. “Ah, kalau begitu, perintahkan kepada rakyat untuk
segera menangkap lima ekor kerbau yang besar-besar di hutan sebelah timur sana!
Barangsiapa yang berhasil menangkapnya akan mendapat hadiah yang pantas. Tapi
ingat Paman Patih, tidak boleh kurang dari lima ekor kerbau,” tegas Baginda
Mulia. “Daulah, Baginda! Perintah kami laksanakan,” jawab Bendahara sambil
memberi hormat. Bendahara Kerajaan pun segera memerintahkan para pengawal untuk
menyebarkan pengumuman ke seluruh pelosok nagari. Dalam waktu singkat, seluruh
rakyat nagari mengetahui pengumuman tersebut dan segera melaksanakan titah
Baginda Mulia dengan penuh hormat dan tanggungjawab.
Sebelum berangkat, mereka mempersiapkan segala
keperluan untuk menangkap kerbau dan makanan untuk bekal di perjalanan. Sebab,
hutan tempat di mana kerbau-kerbau Baginda Mulia berada sangat jauh dari
perkampungan. Setelah itu, berangkatlah satu rombongan menuju hutan yang
dimaksud oleh Baginda Mulia. Berhari-hari mereka berjalan keluar masuk hutan,
melintasi sungai-sungai besar, menahan hawa dingin serta terik matahari yang
menyengat. Pada suatu hari, sampailah mereka di sebuah hutan lebat.
Pepohonannya tumbuh subur dan hijau. “Apakah hutan ini yang dimaksudkan Baginda
Mulia?” tanya seorang warga kepada penetua (orang yang dituakan), pemimpin
rombongan itu. Belum sempat penetua menjawab, seorang warga lain bertanya pula.
“Di mana kerbau-kerbau itu?” “Tenang saudara-saudara! Sebaiknya kita cari dulu
kerbau-kerbau itu. Barangkali mereka berkeliaran di sekitar hutan ini,” jawab
penetua menenangkan anggota rombongannya. Setelah beberapa lama mencari, mereka
tidak juga menemukan kerbau-kerbau tersebut. “Sudah kita telusuri hutan ini,
namun belum juga menemukan kerbau itu,” kata seorang warga yang mulai putus
asa. “Jangan cepat putus asa, saudara! Kalau kita berusaha dengan
sungguh-sungguh, kita pasti akan menemukan mereka. Inilah kesempatan kita
membaktikan diri kepada Baginda Mulia yang demikian baik dan selalu memperhatikan
nasib kita,” ujar penetua memberi semangat. “Berhubung hari sudah sore,
sebaiknya kita beristirahat dulu di tempat ini. Besok pagi-pagi sekali kita
melanjutkan pencarian ini di hutan sebelah timur yang memisahkan dua sungai
besar itu. Aku yakin hutan itulah yang dimaksudkan oleh Baginda Mulia dan kita
pasti menemukan kerbau-kerbau itu,” tambah penetua sembari memberi petunjuk
kepada anggota rombongannya. Keesokan harinya, saat matahari mulai terbit,
rombongan itu berangkat menuju ke arah hutan sebelah timur. Setelah melintasi
beberapa sungai besar, sampailah mereka di sebuah hutan yang sangat lebat.
Pohon-pohonnya tampak besar-besar dan banyak binatang yang berkeliaran di
dalamnya. Saat mereka menjelajahi hutan itu, tak jarang mereka menjumpai
binatang buas yang sering mengancam keselamatan mereka. Namun, hal tersebut
tidak membuat mereka patah semangat. Mereka terus berjalan menuju ke tengah
hutan. “Penetua! Kita beristirahat dulu sejenak. Rasanya lemas semua badanku,”
pinta seorang anggota rombongan.
“Iya, Tuan!
Sebaiknya kita beristirahat dulu. Sudah jauh kita berjalan, namun belum
menemukan tanda-tanda keberadaan kerbau itu,” tambah anggota rombongan lainnya.
Akhirnya sebagian mereka beristirahat untuk melepas lelah sambil menikmati
bekal yang hampir habis. Namun, penetua bersama beberapa anggota rombongan
lainnya terus berjalan lebih jauh ke tengah hutan. Beberapa saat kemudian,
tiba-tiba terdengar suara keras dan lantang dari seorang warga yang bertubuh
gemuk dan besar. “Koto nan ampek...! Koto nan ampek...! (Ini dia yang empat
ekor!) Anggota rombongan lain yang sedang beristirahat segera berlari menuju ke
arah sumber suara itu. Mereka yang tadinya lemas, tiba-tiba menjadi kuat dan
bersemangat. “Akhirnya kita menemukan mereka,” kata penetua. “Wah... bagus
sekali warnanya, bersih dan mengkilap,” ucap seorang warga yang baru saja tiba
di tempat itu. “Untuk mengenang perjuangan kita ini, tempat ini aku namakan
Koto Nan Ampek. Semoga anak cucu kita dapat mengenang perjuangan kita dan
tempat ini menjadi daerah yang subur seperti keempat kerbau ini,” kata penetua
Para warga yang ikut dalam rombongan itu pun mengangguk-angguk sebagai tanda
setuju. Setelah itu, mereka pun segera menggiring keempat kerbau itu ke sebuah
padang rumput. “Lalu, bagaimana dengan kerbau yang satu ekor, Penetua?” tanya
salah seorang warga. “Aku yakin kerbau itu tidak jauh dari daerah Koto Nan
Ampek ini. Sebaiknya kita bagi anggota rombongan yang ada. Sebagian menunggu
keempat kerbau ini dan yang lainnya mencari kerbau yang satu itu,” ujar
penetua. “Baik, Tuan!” jawab semua anggota rombongan serentak. Rombongan
pencari kerbau itu pun dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama mencari di
sebelah utara, sedangkan kelompok kedua mencari di tepian sungai. Ternyata,
untuk mencari seekor kerbau tidaklah mudah. Mereka harus menyusuri tepian
sungai dan jalan-jalan sempit yang dikelilingi pohon-pohon besar. Namun, hal
itu tidak membuat semangat mereka surut. Mereka terus mencarinya ke sana
kemari. Tidak berapa lama, tiba-tiba seorang warga berteriak dengan suara keras
dan lantang dari arah sungai. “Koto nan gadang! Koto nan gadang! (Inilah yang
besar!). Mendengar teriakan itu, anggota rombongan lainnya segera mendatangi
orang yang berteriak itu. “Wah, besar sekali kerbau ini!” ucap seorang warga dengan
penuh rasa kagum.
“Aku tidak
pernah menyangka jika Baginda Mulia mempunyai ternak kerbau sebesar ini!”
ungkap seorang warga lainnya. Akhirnya mereka pun berhasil mendapatkan kelima
kerbau itu. “Untuk mengenang penemuan ini, maka aku namakan daerah ini dengan
nama kenegerian Koto Nan Gadang, tempat ditemukannya kerbau yang terbesar.
Semoga kenegerian ini akan berkembang maju dan rakyatnya mampu menjadi
pembesar-pembesar negeri,” kata penetua sambil mengelus-elus kepala kerbau
besar itu. Alangkah senang hati mereka atas hasil yang mereka peroleh. Rasa
lelah yang mereka rasakan pun tiba-tiba hilang. Dengan penuh semangat, mereka
menggiring kelima kerbau besar itu menuju istana. Sesampainya di istana,
rombongan penetua itu disambut gembira dan disalami satu per satu oleh Baginda
Mulia. Sesuai dengan janjinya, Baginda Mulia pun memberikan hadiah kepada
penetua bersama rombongannya, masing-masing satu hektar tanah. Kecuali penetua
mendapat dua hektar tanah, karena ia berhasil memimpin rombongannya mendapatkan
lima ekor sapi tersebut untuk disembelih dalam acara pembukaan gelanggang. Pada
hari yang telah ditentukan, acara pembukan gelanggang pun dimulai. Tamu yang
hadir datang dari berbagai penjuru negeri untuk mengikuti acara tersebut.
Mereka disuguhkan berbagai macam makanan enak dan lezat serta pementasan
tari-tarian. Usai pembukaan, acara dilanjutkan dengan acara inti, yaitu acara
gelanggang. Satu per satu peserta gelanggang menunjukkan kemampuan dan
kesaktiannya. Setelah seluruh peserta tampil, ditetapkanlah seorang pemenang
dan dinikahkan dengan putri sulung Baginda Mulia Nan Arif Bijaksana.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment