“Semesat
dan Semesit”
Cerita
Rakyat Sumatra Selatan
Di daerah
Sumatra Selatan tersebutlah seorang raja yang sudah beberapa tahun menduda.
Permaisurinya meninggal tidak lama setelah melahirkan kedua putra mereka yang
kembar. Kini, kedua putranya yang diberi nama Semesat dan Semesit tersebut
telah beranjak remaja. Setiap hari kedua putra raja itu kerjanya hanya bermain
bola. Saking gemarnya bermain bola, mereka terkadang lupa makan dan tidak
mempedulikan keadaan di sekelilingnya. Sang Raja sangat sedih melihat perilaku
kedua putra kesayangannya itu. Ia ingin sekali mendidik mereka, namun ia tidak
mempunyai waktu karena sibuk mengurus tugas-tugas kerajaan. Oleh karena itu, ia
menikah lagi dengan harapan ada orang yang bisa merawat dan mendidik kedua
putranya. Namun, harapan sang Raja hanya tinggal harapan. Permaisurinya yang
baru itu bersedia menikah dengan dirinya karena hanya menginginkan harta dan
kedudukan. Ia tidak senang terhadap Semesat dan Semesit yang kerjanya hanya
bermain bola. Akan tetapi, sikap ketidaksenangannya terhadap kedua anak tirinya
itu tidak diperlihatkan kepada sang Raja. Suatu pagi, sang Raja akan mengadakan
rapat di Balai Panjang. Sebelum berangkat, ia berpesan kepada permaisurinya,
“Wahai, permasuriku! Tolong siapkan jamuan makan siang untuk para peserta
rapat!” “Baiklah Kanda, Dinda akan menyiapkan makan siang secukupnya!” jawab
permaisuri Raja. Setelah sang Raja berangkat, permaisuri bukannya menyiapkan
jamuan makan siang, melainkan mengambil cabe merah lalu mengoleskannya pada
wajahnya. Dalam sekejap, seluruh wajahnya menjadi bengkak dan memerah. Begitu
hari menjelang siang, rombongan peserta rapat pun datang hendak makan siang.
Alangkah kecewa dan malunya sang Raja karena tak sedikit pun hidangan makan
siang yang tersedia. Sang Raja pun menjadi murka dan marah kepada
permaisurinya. “Dinda, apakah Dinda tidak mendengar pesan Kanda tadi pagi?
Kenapa Dinda tidak menyediakan hidangan makan siang?” tanya sang Raja dengan
wajah merah. “Ampun, Kanda! Kanda jangan marah dulu. Coba lihatlah wajah Dinda
ini!” jawab permaisurinya sambil menunjukkan wajahnya kepada sang Raja.
“Hai, apa
terjadi dengan wajahmu? Kenapa bisa bengkak dan merah seperti itu?” tanya sang
Raja dengan heran. “Ampun, Kanda! Semua ini terjadi akibat dari ulah Semesat
dan Semesit,” jawab permaisuri dengan nada mengadu. “Apa yang mereka lakukan
terhadap Dinda?” tanya sang Raja penasaran. “Begini, Kanda! Ketika mereka
sedang asyik bermain bola, tiba-tiba bola mereka melesat dengan kencang dan
mengenai wajah Dinda,” ungkap permaisuri. “Sekarang Kanda boleh menentukan
pilihan, mau memilih Dinda atau kedua putra Kanda. Jika Kanda masih sayang
kepada Dinda, maka buanglah mereka ke tengah hutan. Sebaliknya, jika Kanda
masih menyayangi mereka, Dinda pun siap untuk dibuang,” hasut permaisuri.
Rupanya, sang raja termakan oleh hasutan itu sehingga ia percaya begitu saja
pada ucapan permaisurinya tanpa terlebih dahulu mencari tahu kenyataan yang
sebenarnya. “Baiklah, Kanda lebih memilih Dinda. Semesat dan Semesit harus
diberi pelajaran. Mereka harus kita asingkan ke tengah hutan,” tegas sang Raja.
Keesokan harinya, Semesat dan Semesit pun diasingkan ke hutan. Betapa senangnya
hati permaisuri terhadap keputusan yang diambil sang Raja. Dalam hatinya ia
berkata bahwa tidak ada lagi orang yang akan menghalanginya untuk menguasai
seluruh harta kerajaan karena kedua pewarisnya telah pergi. Sementara itu,
Semesat dan Semesit terus berkelana keluar masuk hutan. Mereka berjalan tanpa
arah dan tujuan dengan menyeberangi sungai, menaiki dan menuruni lembah-lembah.
Suatu hari, sampailah mereka di sebuah hutan yang di dalamnya terdapat berbagai
jenis pepohonan yang tumbuh dengan subur dan burung-burung yang berkicauan.
Kedua putra raja yang malang itu memutuskan untuk beristirahat di bawah pohon
besar dan rindang. Mereka duduk seraya menyandarkan tubuh pada batang pohon
itu. Semesit pun langsung tertidur lelap karena kelelahan setelah berhari-hari
menempuh perjalanan jauh. Sementara Semesat masih tetap terjaga. Walaupun
badannya terasa lelah, ia sulit untuk memejamkan matanya karena memikirkan
nasib mereka. “Sungguh malang nasib kami ini. Kenapa ayahanda lebih percaya
kepada permaisurinya dari pada putranya? Oh Tuhan, berilah kami petunjuk-Mu!”
keluh Semesat dalam hati. Selang beberapa waktu setelah Semesat berucap begitu,
tiba-tiba seekor burung datang bertengger di atas pohon tempat mereka berteduh.
Ajaibnya, burung itu dapat berbicara seperti manusia dan berpesan kepada
Semesat. “Siapa yang memakan dagingku ini, maka dia akan menjadi kaya
mendadak,” ucap burung itu.
Tanpa berpikir
panjang lagi, Semesat langsung mengambil batu lalu melempar burung itu hingga
terjatuh dari atas pohon. Ketika ia akan mengambil burung itu, tiba-tiba datang
lagi seekor burung bertengger di atas pohon itu dan berpesan kepada Semesat.
“Barang siapa yang memakan dagingku, entaklah lemak nanggung kuda (menderita
dulu baru kemudian mendapat bahagia),” ucap burung itu. Semesat pun kembali
mengambil dan melempar burung itu hingga terjatuh dari atas pohon. Setelah
mengambil kedua burung tersebut, ia segera membangunkan adiknya seraya
menceritakan perihal kedua burung yang diperolehnya itu. Semesat kemudian
menyerahkan salah satu dari burung itu kepada adiknya. “Wahai, Adikku! Ambillah
burung yang pertama ini agar Adik cepat menjadi orang kaya! Biarlah Abang
memilih burung yang kedua ini. Tidak apa-apa Abang menderita dulu baru
bahagia,” ujar Semesat. Setelah memamakan burung tersebut, mereka pun
melanjutkan perjalanan. Mereka terus menyusuri hutan belantara hingga akhirnya
tiba di sebuah negeri. Menurut cerita, raja di negeri itu baru saja wafat dan
belum ada penggatinya dan penduduk negeri mengangkat Semesit menjadi raja.
Sementara Semesat melanjutkan perjalanan hingga tiba di daerah paling ujung
negeri adiknya. Di sanalah ia tinggal menetap dengan keadaan hidup miskin.
Untuk bertahan hidup, ia memakan hasil-hasil hutan yang tersedia di sekitarnya.
Suatu hari, Semesat secara tidak sengaja mengambil buah dari hasil kebun
penduduk di sekitarnya karena mengira pohon itu tidak ada pemilikinya.
Akhirnya, ia pun dituduh sebagai pencuri dan dibawa oleh penduduk menghadap
kepada Raja Semesit untuk diadili. Raja Semesit tidak mengetahui bahwa pemuda
itu adalah kakaknya. Ia pun menghukumnya dengan cara menguburnya setengah badan
di dalam sekam yang disebut Bujud Keling. Beberapa hari kemudian, terdengarlah
kabar tentang seorang putri yang cantik jelita di negeri seberang lautan hendak
mengadakan sayembara mencari jodoh. Isi sayembara tersebut adalah barangsiapa
yang dicium oleh kuda milik sang putri maka dialah yang berhak menikah dengan
putri itu. Raja Semesit yang mendengar kabar itu segera memerintahkan
pengawalnya agar menyiapkan kapal untuk berangkat ke negeri itu. Pada saat hari
menjelang siang, berangkatlah Raja Semesit bersama para pengawalnya dengan
membawa berbagai perhiasan dan hasil bumi untuk dipersembahkan kepada sang
putri. Begitu berada di tengah-tengah laut, kapal yang mereka tumpangi
tiba-tiba kandas sehingga mereka tidak dapat melanjutkan perjalanan. “Hai,
Pengawal! Apa yang terjadi dengan kapal ini?” tanya Raja Semesit bingung.
“Ampun, Baginda! Jika Baginda ingin tetap melanjutkan perjalanan, sebaiknya
Baginda membawa Bujud Keling,” kata seorang pengawal.
Raja Semesit pun
segera memerintahkan pengawalnya agar memutar haluan kapal kembali ke istana
untuk mengambil Bujud Keling. Setelah memasukkan Bujud Keling ke dalam karung,
mereka kembali melanjutkan perjalanan dan akhirnya selamat sampai di negeri
seberang. Di sana para raja dan pangeran dari berbagai negeri telah berkumpul
untuk mengikuti sayembara. Sang Putri tampak sedang duduk di depan istana
bersama keluarganya. Di halaman istana tampak pula kuda kesayangan sang putri
sedang ditambatkan di bawah sebuah pohon. Begitu gong dibunyikan sebagai
pertanda acara sayembara dimulai, sang putri segera menunggangi kudanya. Kuda
itu kemudian berjalan di antara para peserta untuk mencarikan jodoh yang cocok
bagi tuannya. Kuda itu sudah hampir melewati seluruh peserta, namun belum satu
pun yang diciumnya. Ketika akan melewati tempat duduk Raja Semesit, kuda itu tiba-tiba
berhenti. Hati sang raja pun mulai berdebar kencang karena mengira dirinyalah
yang akan dicium oleh kuda itu. Namun, apa yang diharapkannya itu tidak
terjadi. Kuda sang putri justru mencium-cium karung yang berisi Bujud Keling
yang ada di belakang kursinya. Melihat hal itu, sang putri pun segera
memerintahkan salah seorang pengawal istana untuk membuka karung itu.
“Pengawal, bukalah karung ini! Jodohku ada di dalamnya,” seru sang putri.
Begitu karung itu terbuka, keluarlah seorang pemuda yang dipenuhi dengan sekam.
Raja Semesit pun tersentak kaget karena tidak mengira jika karung itu berisi
manusia. Rupanya, ketika pengawal Raja Semesit memasukkan Bujud Keling ke dalam
karung, pemuda itu ikut masuk ke dalamnya. Dengan perasaan jengkel, Raja
Semesit pun berkata kepada seluruh orang yang hadir di tempat itu bahwa
dirinyalah yang dicium oleh kuda sang putri, bukan Bujud Keling itu. Ia tidak
rela jika pemuda Bujud Keling itu yang menjadi suami sang putri. “Aku tidak
terima jika Tuan Putri menikah dengan pemuda Bujud Keling itu,” tegas Raja
Semesit, “Pengawal, ayo kita tinggalkan tempat ini dan bawa pemuda itu kembali
ke kapal!” Akhinya, Raja Semesit pulang dengan perasaan kecewa. Di tengah
perjalanan, tiba-tiba timbul niat jahatnya ingin mencelakai pemuda yang tak
lain adalah kakaknya sendiri. Ia memerintahkan pengawalnya agar membuang pemuda
itu ke laut. Tak ayal lagi, pemuda Bujud Keling itu pun menjadi santapan ikan
besar. Namun ajaibnya, justru ikan itu yang mati dan terdampar di sebuah pantai
di negeri sang putri. Ikan itu kemudian ditemukan oleh seorang nelayan.
Alangkah terkejutnya nelayan itu pada saat membelah ikan itu. Ia mendapati
seorang pemuda yang tidak asing lagi baginya. “Hai, Anak Muda! Bukankah engkau
ini si pemuda Bujud Keling yang telah dicium oleh kuda sang putri?” tanya
nelayan itu. “Benar, Tuan! Nama saya Semesat, kakak kandung Raja Semesit,”
ungkap Semesat. “Syukurlah kalau begitu, Tuan. Mari hamba antar untuk menemui
sang putri. Beliau telah menunggumu di taman bunga istana,” ujar nelayan itu.
Akhirnya,
Semesat menikah dengan sang putri. Beberapa hari setelah menikah, Semesat
membuka rahasianya kepada sang istri. Sang putri pun tersentak kaget dan hampir
tidak percaya terhadap hal itu. Setelah itu, Semesat bersama istrinya pergi
menemui Raja Semesit untuk membuka rahasia tersebut. “Ketahuilah Adikku, pemuda
Bujud Keling yang telah kamu buang ke laut beberapa waktu yang lalu adalah
saya, dan saya ini adalah kakak kandungmu, Semesat,” ungkap Semesat. Raja
Semesit tersentak kaget mendengar keterangan kakaknya itu. Ia sangat menyesal
karena tidak mengetahui akan hal itu. Dengan berderai air mata, Raja Semesit
pun langsung merangkul kakaknya. “Maafkan aku, Bang! Adik sangat menyesal
karena telah memperlakukan Abang dengan kasar,” ucap Raja Semesit dalam pelukan
sang abang. “Sudahlah, Adikku! Ini sudah menjadi takdir. Abang memang harus
menderita dulu baru merasakan kebahagiaan sebagaimana yang kurasakan saat ini,”
kata Semesat dengan perasaan haru. Menurut cerita, Raja Semesit mengundurkan diri
dan mengangkat kakaknya sebagai raja. Raja Semesat dengan dibantu Semesit
memerintah negeri itu dengan arif dan bijaksana. Rakyatnya pun hidup damai dan
tenteram.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment