“Datuk
Darah Putih”
Cerita
Rakyat Jambi
Di negeri Jambi,
ada sebuah kerajaan yang memiliki seorang hulubalang bernama Datuk Darah Putih.
Diberi nama demikian, karena jika terluka darah yang keluar dari tubuhnya
berwarna putih. Ia seorang hulubalang yang terkenal dengan kejujuran,
kepandaian, keberanian, dan kesakstiannya. Raja negeri itu sangat hormat
kepadanya, berkat kepatuhan dan kemampuannya menyelesaikan segala tugas yang
diembannya. Pada suatu hari, sang Raja memerintahkan Datuk Darah Putih untuk
membentuk pasukan inti kerajaan. “Wahai, Datuk! Kumpulkan beberapa prajurit
pilihan yang memiliki ketangkasan perang yang tinggi, jujur, setia pada raja,
rela berkorban untuk kepentingan negeri, serta pantang menyerah dan
mengeluh.Setelah itu, latihlah mereka agar menjadi prajurit yang tangguh
seperti dirimu!” titah Baginda Raja. “Daulah, Baginda!” jawab Datuk Darah Putih
sambil memberi hormat. Datuk Darah Putih pun segera melaksanakan perintah raja.
Tidak sulit baginya untuk memilih prajurit yang akan dijadikan pasukan inti.
Sebab, sebagai seorang hulubalang, ia sudah mengetahui semua kepribadian dan
kemampuan perang semua prajuritnya. Dalam waktu singkat, Datuk Darah Putih
sudah berhasil mengumpulkan puluhan prajurit pilihan, lalu melatih kemampuan
perang mereka dengan penuh kesungguhan.Setelah hampir setahun berlatih secara
terus-menerus, seluruh anggota pasukan inti tersebut telah menjadi prajurit
yang tangguh, pemberani, dan siap mengorbankan jiwa raganya untuk negeri
mereka. Pada suatu hari, sang Raja mendengar laporan dari seorang mata-mata
bahwa Belanda akan datang menyerang negeri mereka. “Gawat, Baginda!” lapor
seorang mata-mata kerajaan yang datang tergopoh-gopoh. “Ada apa, Prajurit?
Kenapa kamu panik seperti itu? Katakanlah!” desak sang Raja. “Ampun, Baginda!
Pasukan Belanda akan menyerbu negeri kita. Mereka sedang menuju kemari melalui
jalur laut,” lapor mata-mata itu.
Mendengar
laporan itu, sang Raja terdiam, lalu beranjak dari singgasananya. Ia kemudian
mondar-mandir sambil mengelus-elus jenggotnya yang lebat. “Mmm... kedatangan
mereka pasti ingin mengeruk kekayaan negeri ini. Mereka adalah penjajah yang
serakah dan suka mengadu domba penduduk negeri,” kata sang Raja yang sudah
mengerti watak penjajah Belanda. “Apa yang harus kami lakukan, Tuan?” tanya Datuk
Darah Putih. “Karena mereka melalui jalur laut, tentu hanya satu jalan yang
dapat dilalui, yaitu Selat Berhala,” ungkap sang Raja. “Berarti kita harus
menghadang mereka di sekitar Pulau Berhala, Tuanku,” sambung Datuk Darah Putih
yang sudah mengerti maksud perkataan sang Raja. “Benar, Datuk! Besok pagi-pagi
sekali, berangkatlah ke sana. Hadang dan hancurkan mereka di Selat Berhala.
Siapkan seluruh pasukan inti dan beberapa prajurit lainnya!” titah sang Raja.
“Daulah, Baginda! Perintah segera hamba laksanakan,” jawab Datuk Darah Putih
sambil memberi hormat. Hulubalang sakti itu pun segera memerintahkan seluruh
pasukannya untuk menyiapkan segala peralatan perang yang diperlukan seperti
pedang, tombak, dan keris. Mereka juga menyiapkan bekal makanan, karena
diperkirakan masih dua hari lagi kapal pasukan Belanda baru memasuki Selat
Berhala.Mereka harus berangkat lebih awal untuk mempersiapkan benteng
pertahanan di Pulau Berhala. Setelah semua peralatan dan bekal disiapkan,
pasukan kerajaan yang akan berangkat berperang diperintahkan beristirahat lebih
dulu untuk memulihkan tenaga setelah seharian melakukan persiapan. Sementara
prajurit lainnya tetap berjaga-jaga di lingkungan istana dari berbagai
kemungkinan yang akan terjadi. Di kediamannya, Datuk Darah Putih tampak sedang
bercengkerama bersama istrinya yang sedang hamil tua. “Dinda! Bagaimana keadaan
anak kita?” tanya Datuk Darah Putih sambil mengelus-elus perut istrinya yang
buncit. “Baik, Kanda! Semoga kelak anak kita lahir dengan selamat,” jawab sang
Istri. “Dinda! Besok Kanda bersama pasukan kerajaan akan berangkat ke medan
perang untuk bertempur melawan penjajah Belanda. Tolong jaga baik-baik anak
kita yang ada di dalam rahimmu ini!” pinta Datuk Darah Putih kepada istrinya.
“Tentu, Kanda!
Dinda akan selalu merawatnya dengan baik. Jika anak kita laki-laki, Dinda
berharap semoga kelak ia menjadi seorang panglima yang sakti dan pemberani
seperti Kanda,” ucap sang Istri dengan penuh harapan. Keesokan harinya,
pagi-pagi sekali, Datuk Darah Putih bersama pasukannya sudah bersiap-siap untuk
berangkat ke Pulau Berhala dengan menggunakan tiga buah jongkong (perahu atau
tongkang) besar.Para keluarga istana, termasuk istri Datuk Darah Putih, ikut
mengantar pasukan kerajaan tersebut sampai ke pelabuhan. Tidak tampak adanya
rasa sedih sedikit pun pada wajah sang Istri. Sebelum meninggalkan pelabuhan,
hulubalang sakti itu berpamitan kepada istrinya yang sedang berdiri di samping
sang Raja. “Hati-hati, Kanda!Doa Dinda senantiasa menyertai Kanda. Jika sudah
berhasil menumpas para penjajah itu, cepatlah kembali!” pesan sang Istri.
“Baik, Dinda! Kanda akan kembali membawa kemenangan untuk negeri ini,” jawab
Datuk Darah Putih sambil mencium kening dan perut istrinya, lalu bergegas naik
ke atas jongkong. Beberapa saat kemudian, ketiga jongkong tersebut berlayar
menuju ke Pulau Berhala.Tampak dari kejauhan para pasukan kerajaan melambaikan
tangan di atas jongkong.Para pengantar pun membalasnya dengan lambaian tangan
pula.Setelah ketiga jongkong tersebut hilang dari pandangan, barulah para
pengantar meninggalkan pelabuhan. Setelah Datuk Darah Putih dengan pasukannya
sampai di Pulau Berhala, mereka langsung mengatur strategi, membuat
benteng-benteng pertahanan, dan tempat pengintaian.Jongkong-jongkong mereka
tambatkan di balik batu karang besar yang ada di sekitar Pulau Berhala agar
tidak terlihat oleh pasukan Belanda.Sambil menunggu kedatangan musuh, Datuk
Darah Putih kembali menggembleng mental pasukannya. Keesokan harinya, tampak
dari kejauhan iring-iringan kapal pasukan Belanda akan memasuki Selat Berhala.
“Datuk, musuh kita telah datang.Mereka sedang menuju kemari,” lapor seorang
prajurit pengintai. Mendengar laporan itu, Datuk Darah Putih segera menyiapkan
seluruh pasukannya. “Pasukan! Ambil posisi masing-masing! Sekaranglah saatnya
kita membaktikan diri kepada Baginda Raja dan negeri tercinta ini!” seru Datuk
Darah Putih memberi semangat kepada pasukannya.
Mendengar seruan
itu, pasukan kerajaan segera menaiki ketiga jongkong mereka dan menempati
posisi masing-masing.Ketika iring-iringan kapal Belanda memasuki Selat Berhala,
ketiga jongkong pasukan kerajaan langsung meluncur ke arah kapal-kapal Belanda.
Saat jongkong-jongkong tersebut merapat, Datuk Darah Putih beserta pasukannya
segera berlompatan masuk ke dalam kapal-kapal Belanda sambil menebaskan pedang
dan menusukkan keris ke arah musuh. Pasukan Belanda yang mendapat serangan
mendadak itu menjadi panik.Mereka tidak sempat lagi menggunakan bedil
mereka.Untuk mengimbangi
4
serangan dari pasukan kerajaan,
mereka menggunakan pedang panjang.Namun karena dalam keadaan tidak siaga,
mereka pun terdesak dan tidak berdaya.Tidak seorang pun dari pasukan Belanda
yang selamat. Semuanya tewas terkena sabetan pedang dan tusukan keris.
Sementara dari pihak pasukan Datuk Darah Putih hanya ada beberapa prajurit yang
terluka.Sebelum kembali ke benteng pertahanan di Pulau Berhala, mereka
mengambil senjata dan semua perbekalan yang ada, lalu membakar semua kapal
Belanda tersebut. Sesampainya di Pulau Berhala, pasukan Datuk Darah Putih
segera merayakan kemenangan itu dengan gembira. “Datuk!Kita harus segera
kembali ke istana untuk menyampaikan berita gembira ini kepada Baginda Raja,”
ujar seorang prajurit. Datuk Darah Putih hanya tersenyum mendengar laporan itu.
“Ketahuilah, Prajurit! Perjuangan kita belum selesai,” jawab Datuk Darah Putih.
“Apa maksud, Datuk? Bukankah semua pasukan Belanda telah tewas?” tanya prajurit
itu tidak mengerti. “Benar katamu, Prajurit!Tapi, itu hanya sebagian kecil.Jika
Belanda tidak mendengar berita dari pasukannya yang dikirim dan kita kalahkan
itu, tentu mereka akan mengirim pasukan yang lebih besar lagi,” jelas Datuk
Darah Putih. Mendengar penjelasan itu, sang Prajurit hanya bisa
manggut-manggut. Dalam hatinya berkata bahwa Datuk Darah Putih memang seorang
hulubalang yang cerdik dan pandai. “Lalu apa tindakan kita selanjutnya, Datuk?”
tanya prajurit itu. “Iya, Datuk! Apakah kita harus tetap di sini menunggu
kedatangan pasukan Belanda selanjutnya?” sambung seorang prajurit yang lain.
“Benar, Prajurit! Menurut perkiraanku, pasukan Belanda akan tiba di tempat ini
tiga hari lagi. Oleh karenanya, kita harus lebih siap, karena kita akan
menghadapi pasukan Belanda yang jumlahnya lebih besar,” ujar Datuk Darah Putih.
Ternyata benar perkiraan Datuk Darah Putih.Tiga hari kemudian, tampak
iring-iringan tiga kapal besar dengan jumlah serdadu yang lebih banyak sedang
memasuki Selat Berhala.Namun, hal itu tidak membuat Datuk Darah Putih gentar.Ia
pun segera menyiapkan pasukannya untuk menghadang mereka. “Pasukan! Demi negeri
ini..., demi masa depan anak cucu kita..., berperanglah sampai titik darah
penghabisan!” seru Datuk Darah Putih menyemangati pasukannya. “Hidup Datuk!
Hidup Datuk Darah Putih!” terdengar teriakan para prajurit dengan penuh
semangat.
Setelah itu,
pasukan Datuk Darah Putih segera menaiki jongkong-jongkong lalu meluncur dan
merapat ke kapal-kapal Belanda.Kali ini, mereka menghadapi musuh yang lebih
berat.Jumlah pasukan Belanda lebih banyak dibanding pasukan kerajaan, sehingga
pertempuran itu tampak tidak seimbang.Seorang prajurit kerajaan terkadang harus
menghadapi dua sampai tiga orang serdadu Belanda. Di haluan kapal, tampak Datuk
Darah Putih dikeroyok oleh tiga orang serdadu Belanda. Tidak lama, ia pun mulai
terdesak dan tiba-tiba batang lehernya tersabet pedang seorang serdadu Belanda.
Maka keluarlah darah putih dari lehernya itu. Namun, dengan sisa-sisa tenaga
yang ada, ia tetap melakukan perlawanan. “Prajurit!Aku terkena pedang.Bawa aku
mundur dan yang lain tetaplah bertempur sampai titik darah penghabisan!” teriak
Datuk Darah Putih sambil menghindari serangan serdadu Belanda. Mendengar
teriakan itu, beberapa orang prajurit pilihan pun datang membantunya. Dalam
waktu singkat, ketiga serdadu Belanda tersebut tewas. Datuk Darah Putih segera
dibawa ke Pulau Berhala untuk mendapatkan perawatan. Sesampainya di sana, ia
didudukkan di tempat yang aman dan tersembunyi. Para prajurit telah berusaha
menutup luka pimpinannya, namun darah putih tetap saja keluar. “Tolong carikan
aku anak batu sengkalan untuk menutupi luka di leherku ini!” perintah Datuk
Darah Putih. Dengan sigapnya, salah seorang prajurit segera mencari batu
seperti yang dimaksud pimpinannya itu.Tidak berapa lama, prajurit itu pun
kembali membawa sebuah anak batu sengkalan yang tipis, lalu menempelkannya pada
luka di leher Datuk Darah Putih.Darah putih itu pun berhenti dan tidak keluar
lagi. Begitu lukanya tertutup batu sengkalan, Datuk Darah Putih tiba-tiba
bangkit dari duduknya, lalu melompat ke atas jongkong. “Terima kasih,
Prajurit!Ayo kita kembali berperang melawan penjajah!” seru Datuk Darah Putih
dengan penuh semangat. Prajurit yang menolongnya itu pun segera mengikutinya
naik ke atas jongkong.Meskipun masih terluka, Datuk Darah Putih mampu melakukan
perlawanan. Bahkan, ia semakin lincah dan gesit memainkan pedangnya, sehingga
banyak serdadu Belanda yang terkena sabetan pedangnya. Tidak berapa lama,
akhirnya seluruh serdadu Belanda tewas. “Horeee..., horeee... Kita menang!”
terdengar suara gegap gempita pasukan kerajaan menyambut kemenangan itu. Namun,
di balik kegembiraan itu tersimpan rasa duka yang mendalam melihat keadaan
Datuk Darah Putih yang terluka parah.Mereka pun kembali ke benteng pertahanan
di Pulau Berhala sambil memapah Datuk Darah Putih.
Berhubung hari
sudah sore, mereka pun memutuskan untuk beristirahat semalam di Pulau Berhala.
Keesokan harinya, Datuk Darah Putih bersama pasukannya kembali ke istana
kerajaan.Sesampainya di istana, mereka disambut oleh keluarga istana dan rakyat
negeri dengan perasaan duka cita.Banyak orang yang iba melihat kondisi Datuk
Darah Putih yang terluka parah. Mengetahui suaminya datang, dengan perasaan
tenang dan tabah, istri Datuk Darah Putih menaruh bayinya di atas tempat tidur,
lalu segera menyongsong ikut memapah suaminya dan mendekatkannya pada bayi
mereka yang lahir dua hari sebelumnya. “Kanda, Anak kita laki-laki. Lihatlah!
Dia tampan seperti Kanda,” ujar sang Istri menghibur suaminya. Dengan sisa
tenaga yang dimiliki dan dengan dibantu istrinya, Datuk Darah Putih mengangkat
bayinya, kemudian mendekap dan mencium keningnya dengan penuh kasih sayang.
Setelah itu, ia meletakkan bayi itu di pangkuan istrinya. “Maafkan Kanda,
Dinda! Tolong rawatlah anak kita baik-baik!” pinta Datuk Darah Putih dengan
suara pelan. Setelah itu, Datuk Darah Putih duduk di lantai rumahnya, lalu
membaringkan tubuhnya dengan pelan.Pada saat tubuhnya terbaring itulah Datuk
Darah Putih menghembuskan napasnya yang terakhir. Sang Istri hanya bisa pasrah,
karena ia sadar semua itu merupakan kehendak Tuhan Yang Mahakuasa.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment