“Asal
Usul Suku Melayu Timur di Kuala Tungkal”
Cerita
Rakyat Jambi
Ratusan tahun
silam, di Negeri Melabang, Mindanau (kini menjadi sebuah wilayah di Filipina),
berdiri sebuah kerajaan yang diperintah oleh seorang raja bernama Sultan
Iskandar Bananai. Sang Raja memiliki dua orang putra yang bernama Patukan
(sulung) dan Mata Empat (bungsu). Kedua pangeran itu memiki tabiat yang
bertolak belakang. Pangeran Patukan adalah seorang pemuda tampan yang baik
hati, berbudi luhur, dan suka menolong. Sedangkan, Pangeran Mata Empat memiliki
sifat yang sangat buruk, kasar, tidak sopan, dan sifat-sifat yang tidak terpuji
lainnya. Raja sudah menasehati anak bungsunya itu, tapi kelakuan Pangeran Mata
Empat justru semakin menjadi-jadi. Sang Raja sangat malu dengan sifat dan
kelakuan putranya itu. Suatu hari, Sultan Iskandar Bananai memanggil seluruh
panglima dan penasehatnya untuk bermusyawarah di ruang sidang istana. “Wahai,
para panglima dan penasehat kerajaan! Kalian pasti sudah tahu dengan sifat dan
perilaku putraku, Mata Empat. Aku mengumpulkan kalian untuk membicarakan
masalah ini,” kata sang Raja, “Terus terang, aku sudah tidak sanggup lagi
mengatasi kelakuannya. Apakah kalian mempunyai pandangan mengenai hal ini?”
Mendengar pertanyaan sang Raja, para panglima dan penasehat kerajaan tertunduk
diam. Mereka semua berpikir keras untuk mencari jalan keluar dari permasalahan
tersebut. Beberapa saat kemudian, salah seorang penasehat kerajaan angkat
bicara. “Ampun, Baginda. Izinkanlah hamba menyampaikan saran untuk mengatasi
kelakuan putra Baginda,” kata penasehat kerajaan itu. “Apakah saranmu itu?
Katakanlah!” jawab sang Raja dengan tidak sabar. “Ampun, Baginda. Jika hamba
boleh menyarankan, alangkah baiknya jika Pangeran Mata Empat diasingkan dari
negeri ini,” ungkap penasehat kerajaan itu. “Apa maksudmu diasingkan?” tanya
sang Raja bingung.
“Ampun Baginda
jika kata-kata hamba terlalu kasar. Maksud hamba, barangkali akan lebih baik
jika Pangeran Mata Empat diperintahkan untuk pergi merantau mencari
pengalaman,” jelas penasehat itu. “Hmmm... saran yang bagus,” sahut sang Raja,
“Aku setuju saran itu.” “Bagaimana dengan pendapat yang lain? Apakah kalian
setuju saran ini?” tanyanya seraya memandangi para peserta sidang lainnya.
“Setuju, Baginda,” jawab para peserta sidang dengan serentak. “Baiklah kalau
begitu. Tolong panggilkan Pangeran Mata Empat untuk menghadapku sekarang,”
titah sang Raja. Salah seorang panglima bergegas memanggil sang Pangeran. Tidak
lama kemudian, panglima itu pun kembali bersama Pangeran Mata Empat. Saat tiba
di ruang sidang, sang Pangeran terlihat kebingungan melihat semua pembesar
kerajaan sedang berkumpul menghadap ayahandanya. “Ada apa Ayah memanggilku?”
tanya Pangeran Mata Empat. Dengan halus, Sultan Iskandar Bananai pun
menyampaikan hasil keputusan rapat itu kepada putranya. Mendengar keputusan
itu, Pangeran Mata Empat sangat marah. “Ayah, keputusan ini tidak adil. Kenapa
aku saja yang disuruh merantau, sementara Abangku tidak?” tanya Pangeran Mata
Empat dengan kesal. “Maafkan Ayah, Putraku! Ini sudah keputusan bersama dalam
sidang,” jawab sang Raja. Pangeran Mata Empat tetap saja merasa keberatan. Ia
tidak ingin kalau hanya dirinya saja yang disuruh pergi merantau. “Ayah, demi
keadilan, Abang Patukan juga harus pergi merantau. Tidak hanya aku,” pinta
Pangeran Mata Empat. Mendengar permintaan itu, Sultan Iskandar Bananai justru
yang keberatan. Ia amat sayang kepada Patukan. Ia adalah tumpuan harapannya
yang kelak akan menggantikan kedudukannya sebagai raja. Setelah lama berpikir,
akhirnya sang Raja memenuhi permintaan itu. “Baiklah, Putraku. Demi keadilan,
Ayah memenuhi permintaanmu. Abangmu pun akan Ayah perintahkan untuk pergi
merantau,” ujar sang Raja. Pangeran Patukan adalah pemuda yang penurut. Maka,
ketika sang Ayah memintanya pergi merantau, ia tidak menolak. Bahkan, ia
menyambutnya dengan senang hati. Keesokan harinya, kedua pangeran itu
bersiap-siap untuk berlayar. Pangeran Patukan diberi sebuah kapal layar yang
dilengkapi perbekalan makanan serta beberapa pengawal dan dayang-dayang.
Sementara itu, Pangeran Mata Empat diberi sebuah rakit yang juga dilengkapi
dengan perbekalan, pengawal, dan dayang-dayang.
Ketika keduanya hendak
berangkat, Sultan Iskandar Bananai bersama permaisuri dan segenap rakyat
berbondong-bondong menuju pelabuhan untuk melepas kepergian dua pangeran itu.
“Semoga kalian berhasil, wahai putra-putraku,” ucap sang Raja melepas kedua
putranya dengan doa. “Terima kasih, Ayahanda! Nanda pun berharap agar Ayah dan
Ibunda tetap menjaga kesehatan,” kata Pangeran Patukan seraya mencium tangan
kedua orang tuanya. Sementara itu, Pangeran Mata Empat sudah berada di atas
rakit tanpa menyalami ayah dan ibundanya. Bahkan, ketika rakit itu mulai
meninggalkan pelabuhan, ia berkacak pinggang, tanpa melambaikan tangan sebagai
tanda perpisahan. Rupanya, ia masih kesal dengan keputusan ayahnya yang
mengharuskan dirinya pergi meninggalkan istana. Lain halnya dengan Pangeran
Patukan, ia terus melambaikan tangan kepada orang-orang yang melepasnya di
pelabuhan hingga kapal layarnya hilang dari pandangan mata. Kedua pangeran itu
berlayar terpisah tanpa tentu arah untuk mencari keberuntungan masing-masing.
Setelah berhari-hari berlayar, kedua putra raja itu terombang-ambing di tengah
laut. Suatu ketika, rakit Pangeran Empat Mata terhempas badai hingga hancur
berkeping-keping. Seluruh penumpangnya jatuh ke laut dan terbawa arus
gelombang. Untung ia berhasil meraih salah satu potongan rakitnya. Ia pun
terapung-apung di atas potongan rakit itu hingga akhirnya terdampar di Tanah
Merah (kini dekat Palembang). Konon, Pangeran Empat Mata menetap di daerah itu
hingga akhir hayatnya. Sementara itu, Pangeran Patukan juga mengalami nasib
sama. Kapal layarnya dihempas badai dan gelombang besar hingga hancur. Seluruh
pengawal dan dayang-dayangnya tenggelam di tengah laut. Sang Pangeran pun dapat
menyelamatkan diri hingga terdampar di Pulau Lingga. Untung nasib baik berpihak
kepadanya karena ia berhasil ditemukan oleh Raja Lingga dan kemudian dibawa ke
istana. “Hai, anak muda siapa kamu dan dari mana asalmu?” tanya Raja Lingga.
“Ampun, Baginda. Hamba Pangeran Patukan, putra sulung Sultan Iskandar Bananai
dari Negeri Mindanau,” jawab sang Pangeran. Pangeran Patukan kemudian
menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga terdampar di Pulau Lingga.
Mendengar cerita itu, Raja Lingga merasa amat gembira. “Oh, kebetulan sekali,
Pangeran. Sudah bertahun-tahun kami menikah, tapi sampai sekarang Tuhan belum
juga mengaruniai kami seorang putra,” ungkap Raja Lingga, “Jika Pangeran
berkenan, aku ingin mengangkat Pangeran sebagai putraku. Setelah aku wafat
kelak, engkaulah yang akan menggantikanku sebagai raja di negeri ini.” Mulanya,
Pangeran Patukan bingung atas permintaan Raja Lingga itu. Di negerinya, ia juga
diharapkan untuk menjadi pengganti ayahandanya sebagai raja. Namun, setelah
mempertimbangkan bahwa Raja Lingga telah menyelamatkannya, maka ia pun menerima
permintaan tersebut.
Sejak itulah,
Pangeran Patukan tinggal di istana dan menjadi anak angkat Raja Lingga.
Beberapa tahun kemudian, Raja Lingga wafat. Pangeran Patukan pun dinobatkan
sebagai Raja Lingga yang baru. Ia memerintah dengan adil dan bijaksana sehingga
dalam waktu singkat negeri itu menjadi makmur dan sejahtera. Ia pun amat
dicintai oleh rakyatnya. Suatu hari, berita tentang Pangeran Patukan menjadi
Raja Lingga sampai juga ke Negeri Mindanau. Seluruh rakyat Mindanau menyambut
gembira kabar tersebut, terutama Sultan Iskandar Bananai dan permaisurinya.
Banyak di antara rakyat Mindanau yang ingin pindah ke Pulau Lingga untuk
mengabdi kepada Pangeran Patukan. Maka, dengan izin Sultan Iskandar Bananai, penduduk
Mindanau pun mulai berangsur-angsur pindah ke Negeri Lingga. Semasa perpindahan
penduduk Mindanau ke Pulau Lingga, sebagian di antara mereka ada yang tersesat
sampai ke Kuala Tungkal akibat tidak tahu arah. Salah satunya adalah adalah
Datuk Kedanding bersama keluarganya. Konon, Datuk Kedanding inilah yang
dipercaya sebagai nenek moyang orang-orang Suku Melayu Timur yang bermukim di
daerah Kuala Tungkal.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment