“Sinatung
Natak”
Cerita
Rakyat Bengkulu
Di sebuah negeri di daerah Bengkulu, ada
seorang raja yang bernama Serik Seri Nato. Ia mempunyai seorang putri yang
cantik jelita bernama Cerlik Cerilang. Berita tentang kecantikan sang Putri
telah tersebar sampai ke berbagai negeri. Banyak pangeran dan pemuda yang
penasaran ingin melihat kecantikannya dan bermaksud menyuntingnya.
Berita tentang kecantikan Putri Cerlik
Cerilang juga sampai di dusun Kutei Donok (sekarang bernama Desa Kota Donok,
Kecamatan Lebong Selatan). Di dusun ini, ada seorang Batara Guru bernama Guru
Tuo yang memiliki tujuh orang putra. Batara Guru Tuo sangat pandai dan sakti.
Putra bungsunya bernama Sinatung Natak yang punya penyakit panu di sekujur
tubuhnya. Meski demikian, ia sangat dimanja oleh orangtuanya karena sifatnya
yang suka menolong terhadap sesama. Mendengar kabar kecantikan Putri Cerlik
Cerilang, Sinatung Natak selalu termenung dan membayangkan kecantikan wajah
sang Putri. “Alangkah bahagianya aku jika mempunyai istri yang cantik. Tapi, mungkinkah
sang Putri mau menikah denganku dengan kondisi tubuhku yang penuh dengan panu
ini?” tanya Sinatung Natak dalam hati. “Ah, aku tidak boleh menyerah sebelum
mencoba,” tambahnya dengan penuh semangat. Pada malam harinya, Sinatung Natak
pun memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya itu kepada orangtuanya
dalam sebuah pertemuan keluarga. “Maaf, Ayah! Natak ingin menyampaikan sesuatu
kepada Ayah,” ungkap Natak, mengawali pembicaraannya. “Ada apa, Anakku?” tanya
sang Ayah. “Maafkan Natak jika apa yang Natak sampaikan nanti tidak berkenan di
hati Ayah,” katanya lebih lanjut. “Apa yang ingin kau sampaikan, Anakku?
Katakanlah!” desak Ayahnya penasaran. “Natak ingin pergi jauh, Ayah,” jawab
Natak.
Keenam kakaknya dan anggota keluarga
lainnya yang ada pada saat itu kaget mendengar perkataan Sinatung Natak. Mereka
tahu bahwa Natak tidak pernah bepergian jauh selama hidupnya. “Hendak pergi
kemanakah engkau, Anakku?” tanya sang Ayah ingin tahu. “Negeri Serik Seri Nato,
Ayah,” jawab Natak singkat sambil menundukkan kepala. “Apakah Adik ingin
menemui Putri Cerlik Cerilang yang terkenal cantik itu?” tanya kakaknya yang
sulung. “Benar, Bang! Adik bermaksud meminangnya,” jawab Natak. Mendengar
jawaban Natak, Ayahnya terdiam sejenak. Beberapa saat kemudian, ia kembali
bertanya kepadanya. “Apa mungkin Putri Cerlik Cerilang akan menerima pinanganmu
dengan kondisi tubuhmu yang penuh dengan panu itu, Anakku?” “Tidak hanya itu,
Anakku! Bukankah Negeri Serik Seri Nato itu sangat jauh dari sini?” tambah
Ibunya. “Iya, Natak menyadari akan semua hal itu. Tapi, Natak ingin sekali
menemui putri itu, Bu!” jawab Natak dengan tekad bulat. Oleh karena tekadnya
begitu besar, akhirnya Batara Guru Tuo mengizinkan Natak pergi. “Baiklah kalau
itu keinginanmu, Anakku! Ayah merestui engkau menemui Putri Cerlik Cerilang.
Tapi sebelum berangkat, Ayah akan menambah kesaktianmu untuk berjaga-jaga dari
segala kemungkinan yang terjadi di sana,” ungkap Batara Guru Tuo. Mendengar
persetujuan Batara Guru Tuo, seluruh anggota keluarga lainnya pun ikut merestui
kepergian Sinatung Natak. Setelah tiga hari tiga malam mendapat tambahan ilmu
kesaktian dari ayahnya, berangkatlah Sinatung Natak menuju ke Negeri Serik Seri
Nato untuk menemui Putri Cerlik Cerilang. Berhari-hari, bahkan berminggu-minggu
ia berjalan menuju ke arah matahari terbenam dengan menyusuri hutan belantara,
menyeberangi sungai, naik dan turun gunung, dan melewati banyak dusun. Ia
terkadang bermalam di tengah hutan seorang diri. Kepada setiap orang yang
ditemuinya, ia selalu bertanya tentang di mana Negeri Serik Seri Nato, namun
tak seorang pun yang mau memberi tahunya. Pada suatu hari, ketika menyusuri
sebuah hutan, Sinatung Natak bertemu dengan seorang Sebei (nenek) sedang
berjalan menggunakan tongkat sambil membawa bronang[1]. Sebei itu baru saja
pulang dari ladangnya. Sinatung Natak pun segera menghampirinya. “Maaf, kalau
saya mengganggu perjalanan Bei,” sapa Natak. “Siapa kamu ini anak muda?” tanya
Sebei itu. “Natak, Bei!” jawab Natak.
“O ya, Bei! Kalau tidak keberatan,
sudilah Sebei tunjukkan jalan menuju Serik Seri Nato,” pinta Natak kepada sebei
itu. “Apakah kamu bermaksud menemui Putri Cerik Cerilang yang cantik itu?”
tanya sebei itu. “Benar, Bei! Apakah Sebei mengenalnya?” Natak balik bertanya.
Mendengar pertanyaan Natak, Sebei itu hanya tersenyum sambil memandang Natak
yang tampak penasaran. “Iya. Sebei banyak tahu tentang sang Putri. Tapi,
sebaiknya kamu mampir dulu digubukku. Nanti Sebei ceritakan semua,” ajak Sebei
itu. “Terima kasih, Bei!” jawab Natak Akhirnya, keduanya pun berjalan menuju ke
gubuk wanita tua itu. Natak membantu membawakan bronang sang Sebei. Pada malam
harinya, Sebei itu pun menceritakan semua hal tentang Putri Cerlik Cerilang
kepada Natak. “Ketahuilah, Natak! Putri Cerlik Cerilang itu sudah mempunyai
tunangan. Namanya Sinatung Bakas. Ia sangat kejam. Siapa pun yang berani
mendekati sang Putri pasti akan dibunuhnya,” cerita sang Sebei. “Tapi, Bei!
Natak ingin sekali melihat sang Putri dan meminangnya,” kata Natak bersikukuh
ingin menemui sang Putri. “Oh, jangan, Natak! Itu sangat berbahaya! Nanti kamu
akan dibunuh oleh tunangan sang Putri. Ia mempunyai puluhan orang algojo
berbadan besar,” cegah Sebei itu. “Tenang, Bei! Natak bisa jaga diri,” ucap
Natak. Melihat tekad kuat Sinatung Natak tersebut, Sebei itu pun tidak mampu
memberi alasan lagi untuk menghalanginya pergi. Keesokan harinya, Sinatung
Natak pun berpamitan kepada Sebei sambil menyalaminya. Sinatung Natak
melanjutkan perjalanan menuju ke Negeri Serik Seri Nato dengan menyusuri jalan
sesuai petunjuk yang diberikan oleh Sebei itu. Setelah berjalan selama sehari
semalam, sampailah Natak di sebuah negeri yang ramai. Banyak bangunan yang
berdiri megah dan bagus. Para penduduknya sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Ia pun menghampiri seorang pedagang yang sedang sibuk menjajakan barang
dagangannya. “Permisi, Tuan! Benarkah ini Negeri Serik Seri Nato?” tanya
Sinatung Natak dengan sopan. “Benar, anak muda! Kamu pasti akan menemui Putri
Cerlik Cerilang,” jawab pedagang itu. “Bagaimana Tuan bisa tahu?” tanya Natak
dengan penuh keheranan.
“Setiap pemuda yang datang dari luar
negeri ini pasti akan mencari sang Putri,” jawab pedagang itu. Usai berkata
begitu, pedagang itu menunjukkan istana tempat kediaman sang Putri kepada
Sinatung Natak. Maka dengan semangatnya, Sinatung Natak segera menuju ke istana
itu. Ketika sampai di istana, ia melihat seorang gadis cantik sedang duduk
sendirian di sebuah bangku bundar di tengah taman. Ia yakin gadis itu adalah
Putri Cerlik Cerilang. Jantungnya pun mulai berdebar kencang. Perlahan-lahan ia
melangkah menghampiri sang gadis. “Maaf, Putri! Benarkah Putri adalah Cerlik
Cerilang,” tanya Sinatung Natak dengan gugup. “Benar. Aku Cerlik Cerilang,”
jawab sang Putri dengan sopan. Setelah itu, Sinatung Natak pun memperkenalkan
diri dan menyampaikan maksud kedatangannya. Baru beberapa saat mereka
berkenalan, keduanya pun sudah tampak akrab. Oleh karena keasyikan
berbincang-bincang, keduanya tidak menyadari kalau ada seseorang yang sedang
memerhatikan mereka. Rupanya, orang itu adalah mata-mata Sinatung Bakas yang
sengaja ditugaskan untuk mengawasi setiap pemuda yang mendekati Putri Cerlik
Cerilang. Melihat keadaan itu, ia pun segera melapor kepada Sinatung Bakas.
“Gawat, Tuan! Ada seorang pemuda yang tak dikenal sedang menemui sang Putri di
taman istana,” lapor orang suruhan Bakas itu. Mendengar laporan itu, Sinatung
Bakas pun langsung naik pitam. Wajahnya tiba-tiba merah membara bagai terbakar
api. “Siapa pemuda itu, berani sekali ia mendekati calon istriku!” ucap Bakas
dengan geram. Bersama beberapa orang algojonya, Bakas langsung menuju ke taman
istana tempat di mana Putri Cerlik Cerilang dan Sinatung Natak sedang asyik
berbincang. Sesampainya di sana, tanpa berpikir panjang, ia langsung menusuk
tubuh Sinatung Natak dari arah belakang dengan pedangnya. Sinatung Natak yang
tidak mengetahui hal itu tidak dapat berbuat apa-apa. Maka, ia pun tewas
seketika. Melihat kejadian itu, sang Putri segera berlari menuju ke istana
untuk melapor kepada ayahandanya. Mulanya, sang Raja hendak menceritakan kejadian
itu kepada warganya. Namun karena melihat Sinatung Bakas datang ke istana,
akhirnya sang Raja pun membatalkan niatnya tersebut. Agar rahasianya tidak
terbongkar, sang Raja pun memerintahkan pengawalnya untuk mengubur mayat
Sinatung Natak di bawah bangku tempat sang Putri dan Sinatung Natak berbincang.
Sementara itu, di rumah Sinatung Natak, seluruh keluarganya sedang
bermusyawarah guna mengambil tindakan terkait dengan kejadian yang menimpa
Sinatung Natak. Mereka mengetahui kejadian itu berkat kepandaian dan kesaktian
Batara Guru Tuo. Hasil musyawarah itu memutuskan, Batara Guru Tuo bersama
keenam saudara Sinatung Natak berangkat menuju Negeri Serik Seri Nato. Setelah
menempuh perjalanan cukup jauh dan melelahkan, akhirnya sampailah mereka di
negeri itu. Mereka pun langsung menghadap Baginda Raja Negeri Serik Seri Nato.
“Ampun, Baginda Raja! Maafkan hamba jika
kedatangan hamba bersama putra-putra hamba tidak berkenan di hati Baginda!”
kata Batara Guru Tuo sambil memberi hormat. “Hai, siapa kalian ini dan apa
maksud kedatangan kalian kemari?” tanya Raja. “Ampun, Baginda! Hamba adalah
ayah Sinatung Natak. Kedatangan hamba kemari ingin mengambil putra hamba yang
telah dibunuh oleh calon menantu, Baginda,” jawab Batara Guru Tuo. Alangkah
terkejutnya sang Raja mendengar jawaban itu. Dalam hatinya bertanya-tanya,
pasti ada orang yang telah membocorkan rahasia mereka. “Hei, Pak Tua! Kamu
jangan mengada-ada! Bagaimana kamu tahu kalau calon menantukulah yang telah
membunuh putramu?” tanya Raja penasaran. “Ampun, Baginda Raja! Ayah kami adalah
orang yang pandai dan sakti. Ia memiliki indra keenam dan mampu mengetahui
hal-hal yang ghaib,” sahut putra sulung Batara Guru Tuo. “Diam kau, anak muda!”
bentak sang Raja. “Ampun beribu ampun, Baginda! Jika Baginda tidak percaya,
tanyalah ayah kami. Pasti beliau tau tempat di mana Sinatung Natak dibunuh!”
tambah putra kedua Batara Guru Tuo. Baginda Raja pun menanyakan hal itu kepada
Batara Guru Tuo. Ternyata benar, Batara Guru Tuo mengetahui jika Sinatung Natak
dikuburkan di bawah bangku di taman istana. Ia pun meminta izin kepada Baginda
Raja untuk membongkar tempat itu. “Ampun, Baginda! Izinkanlah hamba untuk
membongkar tanah di bawah bangku itu!” pinta Batara Guru Tuo. Baginda Raja
semakin tidak bisa mengelak. Ia pun memenuhi permintaan tersebut. Keenam putra
Batara Guru Tuo segera menggali tanah itu. Tidak berapa lama, mereka pun
menemukan jasad Sinatung Natak yang sudah terbujur kaku. Namun, ada yang aneh
pada jasad Sinatung Natak. Meskipun sudah berminggu-minggu di dalam tanah,
tubuh dan kulitnya tidak berubah. Maka berkatalah Batara Guru Tuo: “Rupo idak
berubah, panau-panau masih ado,” (wajah belum berubah, panu masih ada). Melihat
kenyataan itu, Baginda Raja bersama beberapa pengawalnya hanya terdiam malu.
Akhirnya, mereka mengaku telah berbuat salah dan meminta maaf kepada keluarga
Batara Guru Tuo. Untuk menebus kesalahannya, Baginda Raja pun berjanji kepada
Batara Guru Tuo. “Apapun yang kamu minta, akan aku berikan.” “Ampun, Baginda!
Hamba tidak akan menuntut banyak, Baginda!” jawab Batara Guru Tuo.
“Katakanlah! Berapa banyak uang kamu
minta?” tanya Baginda Raja. “Ampun, Baginda! Hamba hanya menginginkan sejumlah
uang sesuai dengan jumlah panu yang ada pada tubuh Natak,” jawab Batara Guru
Ruo. “Baiklah, kalau begitu. Permintaanmu aku kabulkan,” kata Baginda Raja.
Setelah dihitung, jumlah panu yang ada di tubuh Sinatung Natak berjumlah
delapan puluh buah panu. Satu panu diganti dengan uang satu rial. Namun, pada
saat perhitungan panu dilakukan terjadi suatu peristiwa gaib. Setiap panu yang
sudah dihitung tiba-tiba hilang satu per satu dari tubuh Natak tanpa
meninggalkan bekas sama sekali. Dan, ajaibnya lagi, ketika sampai pada hitungan
kedelepan puluh, dengan izin Tuhan Yang Mahakuasa, tiba-tiba Sinatung Natak
hidup kembali. Alangkah terkejutnya Baginda Raja menyaksikan peristiwa ajaib
itu. Begitu pula Sinatung Natak, ia terkejut saat melihat panu yang memenuhi
tubuhnya hilang semua.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment