“Si
Gulap yang Sabar”
Cerita
Rakyat Bengkulu
Dahulu, di daerah Bengkulu, hiduplah
seorang janda bersama tujuh orang anak laki-lakinya. Anak sulungnya bernama
Umar, sedangkan anak bungsunya bernama si Gulap. Sehari-hari keluarga janda itu
bekerja di ladang dengan menanam singkong dan sayur-sayuran. Hasilnya pun hanya
cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena ladang yang mereka miliki
sangat sempit. Keadaan tersebut membuat Umar sering duduk termenung seorang
diri. Hatinya gundah gulana memikirkan nasib ibu dan adik-adiknya. Suatu hari,
sepulang dari ladang, Umar duduk menyendiri di bawah pohon di samping rumah.
“Ya, Tuhan. Apakah hidup kami akan terus kekurangan begini?” keluh Umar. Baru
saja Umar selesai bergumam, tiba-tiba ibunya datang menghampiri. “Umar, anakku.
Ibu lihat akhir-akhir ini kamu sering termenung. Ada apa, Nak?” tanya ibunya.
“Umar sedih melihat Ibu dan adik-adik,” jawab Umar, “Umar ingin mengubah nasib
kita, Bu.” “Lalu, apa rencanamu, Anakku?” tanya ibunya. Umar tidak langsung
menjawab pertanyaan perempuan yang telah melahirkannya itu. Sejenak, ia
menghela nafas panjang. “Umar juga masih bingung, Bu. Tapi, Umar harus mencari
akal untuk bisa memperbaiki nasib keluarga kita,” kata Umar. “Baiklah, Anakku.
Tapi, jangan sampai memikirkan hal itu lalu kamu lupa makan dan istirahat,”
pesan ibunya seraya beranjak dari tempat itu. ‘Iya, Bu,” jawab Umar. Hari sudah
sore, Umar masih saja duduk termenung. Ia masih berpikir bagaimana cara bisa
mensejahterakan keluarganya. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ada sesuatu yang
terlintas di pikirannya.
“Hmmm… Jika aku bisa menikahi putri raja
yang kaya raya itu, nasib keluargaku pasti akan membaik,” gumamnya, “Ya, hanya
itu satu-satu jalan yang dapat kulakukan.” Rupanya, Umar benar-benar berniat
ingin melamar putri sang Raja. Malam harinya, ia pun menyampaikan niat itu
kepada ibunya. “Bu, tolong lamarkan sang Putri untukku,” pinta Umar. Ibunya
yang sedang menganyam tikar tersentak mendengar permintaan Umar. “Sadarkah kamu
dengan perkataanmu itu, Anakku?” tanya ibunya dengan terkejut, “Kita ini orang
miskin, tidak pantas meminang seorang putri.” “Umar menyadari itu, Bu. Tapi,
tidak ada salahnya kalau kita mencobanya dulu,” jawab Umar. Meskipun sang Ibu
berkali-kali menasehatinya, Umar tetap bersikeras ingin melamar putri raja.
Maka dengan berat hati, sang Ibu pun memberanikan diri menghadap sang Raja pada
esok harinya. Setiba di istana, perempuan paruh baya itu memberikan sembah
hormat kepada sang Raja. “Mohon ampun Baginda atas kelancangan hamba. Hamba
datang menghadap untuk menyampaikan lamaran Umar anak hamba,” lapor ibu Umar.
Sang Raja tahu jika Umar yang akan menjadi menantunya itu berasal dari rakyat
biasa. Sebagai seorang raja, tentu ia tidak ingin kewibawaan keluarga kerajaan
tercoreng karena memiliki menantu dari kalangan orang biasa. Untuk itulah, ia
harus memberikan syarat kepada Umar sebelum menerima lamarannya. “Baiklah,
lamaran Umar aku terima tapi dengan satu syarat,” kata sang Raja. “Ampun,
Baginda. Apakah syarat itu?” tanya ibu Umar. “Sebelum pernikahan ini
dilangsungkan, Umar harus tinggal di istana dalam waktu beberapa hari untuk
mengikuti beberapa ujian. Selama tinggal di istana, ia tidak boleh marah sekali
saja dengan tugas apa pun yang kuberikan. Jika ia melanggarnya, maka ia akan
kujual sebagai budak ke negeri lain. Sebaliknya, jika aku yang marah karena
perbuatan Umar, maka akulah yang harus dijual sebagai budak,” jelas sang Raja.
“Baik, Baginda. Syarat ini akan hamba sampaikan kepada anak hamba,” kata ibu
Umar seraya mohon diri. Setiba di rumah, janda itu pun menyampaikan syarat sang
Raja kepada Umar. Maka, hari itu juga Umar berangkat ke istana. Setiba di sana,
sang Raja pun langsung memberinya tugas. “Hai, Umar. Aku perintahkan kamu
membajak sawahku yang luas itu!” titah sang Raja. “Baik, Baginda Raja,” jawab
Umar.
Umar pun mulai membajak sawah sang Raja.
Ketika hari menjelang siang, ia kembali ke istana dengan keadaan haus dan
lapar. Namun, setiba di istana, ia tidak diberi minum dan makan sedikit pun
oleh sang Raja. Rupanya, Umar tidak tahan dengan perlakuan itu sehingga ia pun
menjadi marah. “Ampun, Baginda. Kenapa hamba tidak diberi makan dan minum?
Padahal, hamba sudah bekerja keras membajak sawah Baginda,” kata Umar dengan
perasaan kesal di hadapan sang Raja. “Apakah kamu marah, Umar?” tanya sang
Raja. “Ampun, Baginda. Siapa yang tidak marah jika diperlakukan seperti ini?”
jawab Umar. Mendengar jawab itu, sang Raja pun menyatakan bahwa Umar telah
melanggar janji. Ia pun tidak boleh memperistri putri raja. Sialnya lagi, ia
dijual sebagai budak ke luar negeri. Ibu dan adik-adik Umar yang mengetahui
kabar tersebut menjadi sedih. Namun, hal itu tidak membuat adik-adik Umar
berputus asa. Mereka pun mencoba untuk melamar sang Putri. Ketika anak kedua
janda itu melamar sang Putri, ternyata dia juga gagal melalui ujian sehingga
dijual sebagai budak ke luar negeri. Begitu pula anak ketiga hingga anak keenam
janda itu mengalami nasib yang sama. Kini, tinggal si Gulap yang menemani
ibunya. Ketika ia berniat untuk melamar Putri raja, sang Ibu melarangnya. “Jangan,
Nak! Tinggal kamulah satu-satunya milik Ibu di dunia ini. Ibu tidak ingin kamu
mengalami nasib sama seperti kakak-kakakmu. Lagi pula, Ibu sangat malu kepada
Raja,” ujar sang Ibu. “Tidak, Bu. Gulap tidak akan mengecewakan Ibu. Izinkanlah
Gulap untuk mencobanya,” pinta Gulap. Sang Ibu pun tidak bisa menolak keinginan
putra bungsunya. Maka, ia terpaksa menghadap sang Raja lagi. Sang Raja pun
bersedia menerima lamaran Gulap. Seperti keenam kakaknya, Gulap pun tinggal di
istana. Ketika diperintahkan membajak sawah sang Raja yang luas itu, ia bekerja
dengan tekun tanpa mengenal lelah. Meskipun tidak diberi makanan dan minuman,
Gulap tetap bersabar menahan rasa lapar. Untuk melepas rasa dahaga, sekali-kali
ia meminum air sawah. Akhirnya, pekerjaannya pun selesai saat hari mulai senja.
Dengan rasa capai yang begitu berat, Gulap pulang ke istana. “Hai, Gulap.
Kenapa baru pulang? Apakah kamu tidak merasa haus dan lapar?” tanya sang Raja.
“Ampun, Baginda. Sebenarnya hamba sangat lapar, tapi ada orang yang mengirimi
hamba makanan,” jawab Gulap dengan tenang. “Apakah kamu marah, Gulap?” tanya
sang Raja. “Tidak, Baginda,” jawab Gulap singkat. “Tapi, kenapa wajahmu merah
seperti itu?” tanya sang Raja lagi. “Ampun, Baginda. Wajah hamba merah begini
karena terkena terik matahari,” jawab Gulap.
Sang Raja tersenyum lebar. Ia amat puas
melihat atas keberhasilan Gulap melalui ujian itu. Namun, hal itu bukan berarti
Gulap sudah boleh menikah dengan sang Putri. Masih ada ujian lain yang harus
dilaluinya. Keesokan hari, ia diajak oleh sang Raja ke kebun tebu yang amat
luas miliknya sang Raja. “Gulap, bersihkan dan buanglah daun-daun tebu itu!”
titah sang Raja. “Baik, Baginda,” jawab Gulap. Setelah sang Raja kembali ke
istana, Gulap pun mulai bekerja. Namun, baru beberapa batang pohon tebu ia
bersihkan tiba-tiba sesuatu terlintas di pikirannya. “Wah, kalau begini terus
keadaannya, lama-lama kesabaranku bisa hilang,” gumam Gulap. Gulap pun berpikir
keras bagaimana cara membuat sang Raja marah. Jika hal itu terjadi, tentu sang
Rajalah yang akan dijual sebagai budak ke luar negeri. “Hmmm… aku harus
melakukan sesuatu agar sang Raja marah,” gumamnya. Pemuda cerdik itu pun segera
membuat lubang besar untuk pembuangan daun-daun tebu. Setelah itu, ia
membersihkan daun-daun tebu itu lalu membuangnya ke dalam lubang yang telah
dibuatnya. Setelah selesai, ia kembali ke istana untuk melapor kepada sang
Raja. “Ampun, Baginda. Hamba telah menyelesaikan tugas hamba,” lapor Gulap.
“Bagus, Gulap. Kamu memang pemuda yang tekun dan rajin,” puji sang Raja. Namun,
alangkah murkanya sang Raja ketika memeriksa kebun tebunya. Seluruh tanaman
tebunya telah gundul. “Hai, Gulap. Kenapa kamu menggundul semua tanaman
tebuku?” tanya sang Raja dengan kesal. “Apakah Baginda marah kepada hamba?”
Gulap balik bertanya. “Iya, aku sangat marah. Kamu telah menggundul seluruh
tanaman tebuku, padahal belum saatnya dipanen,” jawab sang Raja dengan muka
merah. “Ampun, Baginda. Masih ingatkah dengan janji yang pernah Baginda
ucapkan?” tanya Gulap. Sang Raja pun terdiam. Ia baru sadar bahwa dirinya telah
melanggar janji. “Iya, kamu benar. Aku pernah berjanji bahwa jika aku marah
karena perbuatanmu, akulah yang akan dijual sebagai budak,” kata sang Raja,
“Tapi, aku mohon jangan jual aku, Gulap! Aku berjanji akan menikahkanmu dengan
putriku.” “Baiklah, Baginda. Tapi, hamba pun mempunyai satu permintaan,” kata
Gulap. “Apa permintaanmu, Gulap?” tanya sang Raja.
“Hamba mohon agar keenam kakak hamba
ditebus dan dibawa ke istana,” pinta Gulap. Sang Raja pun memenuhi permintaan
Gulap. Setelah keenam kakaknya dikembalikan ke istana, pernikahaan Gulap dengan
sang Putri pun dilangsungkan dengan meriah. Keduanya pun hidup berbahagia.
Untuk melengkapi kebahagiaan itu, Gulap memboyong ibu dan saudara-saudaranya
untuk tinggal di istana. Beberapa tahun kemudian, Gulap dinobatkan sebagai raja
menggantikan mertuanya yang sudah tua. Sejak itulah, Gulap memimpin kerajaan
itu dengan adil dan bijaksana. Rakyatnya pun hidup aman, tenteram, dan
sejahtera.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment