Wednesday 25 November 2015

Cerita Rakyat Bengkulu

“Asal Mula Danau Tes”
Cerita Rakyat Bengkulu


Di  Dusun  Kutei  Donok,  Tanah  Ranah  Sekalawi  (atau  daerah Lebong sekarang ini), hidup seorang sakti bersama seorang anak laki-lakinya.  Oleh  masyarakat  Kutei  Donok,  orang  sakti  itu dipanggil si Lidah Pahit. Ia  dipanggil demikian, karena lidahnya memiliki kesaktian luar biasa. Apapun yang dikatakannya selalu menjadi kenyataan. Meski demikian, ia tidak asal mengucapkan sesuatu jika tidak ada alasan yang mendasarinya. Pada  suatu  hari,  si  Lidah  Pahit  berniat  untuk  membuka  lahan persawahan baru di daerah Baten Kawuk, yang terletak kurang lebih  lima  kilometer  dari  dusun  tempat  tinggalnya.  Setelah menyampaikan  niatnya  kepada  para  tetangganya  dan mendapat  izin  dari  Tuai  Adat  Kutei  Donok,  ia  pun  segera menyiapkan  segala  peralatan  yang  akan  dipergunakan  untuk membuka lahan persawahan baru. “Anakku,  kamu  di  rumah  saja!  Ayah  hendak  pergi  ke  daerah  Baten  Kawuk  untuk  membuka  lahan persawahan baru,” ujar si Lidah Pahit kepada anaknya.
“Baik, Ayah!” jawab anaknya.Setelah berpamitan kepada anaknya, si Lidah Pahit pun berangkat dengan membawa kapak, parang, dan cangkul.  Sesampainya  di  daerah  Baten  Kawuk,  ia  pun  mulai  menggarap  sebuah  lahan  kosong  yang terletak  tidak  jauh  dari  Sungai  Air  Ketahun.  Si  Lidah  Pahit  memulai  pekerjaannya   dengan  menebangi pohon-pohon  besar  dengan  kapak  dan  membabat  semak  belukar  dengan  parang.  Setelah  itu,  ia  pun segera mencangkul lahan kosong itu. Tanah-tanah cangkulannya ia buang ke Sungai Air Ketahun.Setelah dua hari bekerja, si Lidah Pahit telah membuka lahan persawahan seluas kurang lebih setengah hektar.  Bagi  masyarakat  Kutei  Donok  waktu  itu,  termasuk  si  Lidah  Pahit,  untuk  membuka  lahan persawahan seluas satu hektar dapat diselesaikan dalam waktu paling lama satu minggu, karena ratarata mereka berbadan besar dan berotot. Alangkah senang hati si Lidah Pahit melihat hasil pekerjaannya itu.
Pada  hari  ketiga,  si  Lidah  Pahit  kembali  ke  Baten  Kawuk  untuk  melanjutkan  pekerjaannya.  Ia  bekerja dengan  penuh  semangat.  Ia  tidak  memikirkan  hal-hal  lain,  kecuali  menyelesaikan  pekerjaannya  agar dapat dengan segera menanam padi di lahan persawahannya yang baru itu. Namun,  tanpa  disadari  oleh  si  Lidah  Pahit,  para  ketua  adat  dan  pemuka  masyarakat  di  kampungnya sedang  membicarakan  dirinya.  Mereka  membicarakan  tentang  pekerjaannya   yang  selalu  membuang tanah  cangkulannya  ke  Sungai  Air  Ketahun,  sehingga  menyebabkan  aliran  air  sungai  itu  tidak  lancar. Kekhawatiran  masyarakat  Kutei  Donok  yang  paling  besar  adalah  jika  si  Lidah  Pahit  terus  membuang tanah cangkulannya ke Sungai Air Ketahun akan menyumbat air sungai dan mengakibatkan air meluap, sehingga desa Kutei Donok akan tenggelam. Melihat  kondisi  itu,  ketua  adat  bersama  tokoh-tokoh  masyarakat  Kutei  Donok  lainnya  segera bermusyawarah untuk mencari alasan agar pekerjaan si  Lidah Pahit dapat dihentikan.
Setelah beberapa jam  bermusyawarah,  mereka  pun  menemukan  sebuah  alasan  yang  dapat  menghentikan  pekerjaan  si Lidah  Pahit.  Maka  diutuslah  beberapa  orang  untuk  menyampaikan  alasan  itu  kepada  si  Lidah  Pahit. Sesampainya  di  tempat  si  Lidah  Pahit  bekerja,  mereka  pun  segera  menghampiri  si  Lidah  Pahit  yang sedang asyik mencangkul.“Maaf, Lidah Pahit! Kedatangan kami kemari untuk menyampaikan berita duka,” kata seorang utusan.“Berita duka apa yang kalian bawa untukku?” tanya si Lidah Pahit. “Pulanglah, Lidah Pahit! Anakmu meninggal dunia. Kepalanya pecah terbentur di batu saat ia terjatuh dari atas pohon,” jelas seorang utusan lainnya.“Ah, saya tidak percaya. Tidak mungkin anakku mati,” jawab si Lidah Pahit dengan penuh keyakinan.Beberapa  kali  para  utusan  tersebut  berusaha  untuk  meyakinkannya,  namun  si  Lidah  Pahit  tetap  saja tidak percaya. Akhirnya, mereka pun kembali ke Dusun Kutei Donok tanpa membawa hasil. “Maaf, Tuan! Kami tidak berhasil membujuk si Lidah Pahit untuk kembali ke kam pung ini,” lapor seorang utusan kepada ketua adat. “Iya, Tuan! Ia sama sekali tidak percaya dengan laporan kami,” tambah seorang utusan lainnya.
Mendengar  keterangan  itu,  ketua  adat  segera  menunjuk  tokoh  masyarakat  lainnya  untuk menyampaikan berita duka itu kepada si Lidah Pahit. Namun, lagi-lagi si Lidah Pahit tidak percaya jika anaknya  telah  mati.  Ia  terus  saja  mencangkul  dan  membuang  tanah  cangkulannya  ke  Sungai  Air Ketahun. Melihat keadaan itu, akhirnya ketua adat bersama beberapa pemuka adat lainnya memutuskan untuk  menyampaikan langsung alasan itu kepada si Lidah Pahit. Maka berangkatlah mereka untuk menemui si Lidah Pahit di tempat kerjanya.“Wahai  si  Lidah  Pahit!  Percayalah  kepada  kami!  Anakmu  benar-benar  telah  meninggal  dunia,”  kata ketua adat kepada si Lidah Pahit.
Oleh  karena  sangat  menghormati  ketua  adat  dan  pemuka  adat  lainnya,  si  Lidah  Pahit  pun  percaya kepada mereka. Baiklah!  Karena  Tuan-Tuan  terhormat  yang  datang  menyampaikan  berita  ini,  maka  saya  sekarang percaya kalau anak saya telah meninggal dunia,” kata si Lidah Pahit dengan suara pelan. “Kalau begitu, berhentilah bekerja dan kembalilah ke kampung melihat anakmu!” ujar ketua adat. “Iya, Tuan! Saya akan menyelesaikan pekerjaan saya yang tinggal beberapa cangkul ini,” jawab si Lidah Pahit. Mendengar jawaban itu, ketua adat beserta rombongannya berpamitan untuk kembali ke Dusun Kutei  Donok. Setelah rombongan itu pergi, si Lidah Pahit baru menyadari akan ucapannya tadi. Dalam hati, ia yakin  betul  bahwa  anaknya  yang  sebenarnya  tidak  meninggal  kemudian  menjadi  meninggal  akibat ucapannya sendiri. Maka dengan ucapan saktinya itu, anaknya pun benar-benar telah meninggal dunia. Namun, apa hendak dibuat, nasi sudah menjadi bubur.
Ucapan si Lidah Pahit tersebut tidak dapat ditarik kembali.  Dengan perasaan kesal, ia pun melampiaskan kemarahannya pada tanah garapannya. Berkalikali ia menghentakkan cangkulnya ke tanah, lalu membuang tanah cangkulannya ke Sungai Air Ketahun.  Setelah  itu,  ia  pun  bergegas  kembali  ke  Dusun  Kutei  Donok  hendak  melihat  anaknya  yang  telah meninggal dunia. Sesampainya di rumah, ia mendapati anaknya benar-benar sudah tidak bernyawa lagi. Konon, tanah-tanah yang dibuang si Lidah Pahit itu membendung aliran Sungai Air Ketahun dan akhirnya membentuk sebuah danau besar yang diberi nama Danau Tes.

Terima kasih sudah membaca.

“TAMAT”





No comments:

Post a Comment