“Asal Mula Danau Tes”
Cerita Rakyat Bengkulu
Di Dusun
Kutei Donok, Tanah
Ranah Sekalawi (atau
daerah Lebong sekarang ini), hidup seorang sakti bersama seorang anak
laki-lakinya. Oleh masyarakat
Kutei Donok, orang
sakti itu dipanggil si Lidah
Pahit. Ia dipanggil demikian, karena
lidahnya memiliki kesaktian luar biasa. Apapun yang dikatakannya selalu menjadi
kenyataan. Meski demikian, ia tidak asal mengucapkan sesuatu jika tidak ada
alasan yang mendasarinya. Pada
suatu hari, si
Lidah Pahit berniat
untuk membuka lahan persawahan baru di daerah Baten Kawuk,
yang terletak kurang lebih lima kilometer
dari dusun tempat
tinggalnya. Setelah
menyampaikan niatnya kepada
para tetangganya dan mendapat
izin dari Tuai
Adat Kutei Donok,
ia pun segera menyiapkan segala
peralatan yang akan
dipergunakan untuk membuka lahan
persawahan baru. “Anakku, kamu di
rumah saja! Ayah
hendak pergi ke
daerah Baten Kawuk
untuk membuka lahan persawahan baru,” ujar si Lidah Pahit
kepada anaknya.
“Baik, Ayah!” jawab anaknya.Setelah
berpamitan kepada anaknya, si Lidah Pahit pun berangkat dengan membawa kapak,
parang, dan cangkul. Sesampainya di
daerah Baten Kawuk,
ia pun mulai
menggarap sebuah lahan
kosong yang terletak tidak jauh
dari Sungai Air
Ketahun. Si Lidah
Pahit memulai pekerjaannya
dengan menebangi pohon-pohon besar
dengan kapak dan
membabat semak belukar
dengan parang. Setelah
itu, ia pun segera mencangkul lahan kosong itu.
Tanah-tanah cangkulannya ia buang ke Sungai Air Ketahun.Setelah dua hari
bekerja, si Lidah Pahit telah membuka lahan persawahan seluas kurang lebih
setengah hektar. Bagi masyarakat
Kutei Donok waktu
itu, termasuk si
Lidah Pahit, untuk
membuka lahan persawahan seluas
satu hektar dapat diselesaikan dalam waktu paling lama satu minggu, karena
ratarata mereka berbadan besar dan berotot. Alangkah senang hati si Lidah Pahit
melihat hasil pekerjaannya itu.
Pada
hari ketiga, si
Lidah Pahit kembali
ke Baten Kawuk
untuk melanjutkan pekerjaannya.
Ia bekerja dengan penuh
semangat. Ia tidak
memikirkan hal-hal lain,
kecuali menyelesaikan pekerjaannya
agar dapat dengan segera menanam padi di lahan persawahannya yang baru
itu. Namun, tanpa disadari
oleh si Lidah
Pahit, para ketua
adat dan pemuka
masyarakat di kampungnya sedang membicarakan
dirinya. Mereka membicarakan
tentang pekerjaannya yang
selalu membuang tanah cangkulannya
ke Sungai Air
Ketahun, sehingga menyebabkan
aliran air sungai
itu tidak lancar. Kekhawatiran masyarakat
Kutei Donok yang
paling besar adalah
jika si Lidah
Pahit terus membuang tanah cangkulannya ke Sungai Air
Ketahun akan menyumbat air sungai dan mengakibatkan air meluap, sehingga desa
Kutei Donok akan tenggelam. Melihat
kondisi itu, ketua
adat bersama tokoh-tokoh
masyarakat Kutei Donok
lainnya segera bermusyawarah
untuk mencari alasan agar pekerjaan si
Lidah Pahit dapat dihentikan.
Setelah beberapa jam bermusyawarah, mereka
pun menemukan sebuah
alasan yang dapat
menghentikan pekerjaan si Lidah
Pahit. Maka diutuslah
beberapa orang untuk
menyampaikan alasan itu
kepada si Lidah
Pahit. Sesampainya di tempat
si Lidah Pahit
bekerja, mereka pun segera menghampiri
si Lidah Pahit
yang sedang asyik mencangkul.“Maaf, Lidah Pahit! Kedatangan kami kemari
untuk menyampaikan berita duka,” kata seorang utusan.“Berita duka apa yang
kalian bawa untukku?” tanya si Lidah Pahit. “Pulanglah, Lidah Pahit! Anakmu
meninggal dunia. Kepalanya pecah terbentur di batu saat ia terjatuh dari atas
pohon,” jelas seorang utusan lainnya.“Ah, saya tidak percaya. Tidak mungkin
anakku mati,” jawab si Lidah Pahit dengan penuh keyakinan.Beberapa kali
para utusan tersebut
berusaha untuk meyakinkannya, namun
si Lidah Pahit
tetap saja tidak percaya.
Akhirnya, mereka pun kembali ke Dusun Kutei Donok tanpa membawa hasil. “Maaf,
Tuan! Kami tidak berhasil membujuk si Lidah Pahit untuk kembali ke kam pung
ini,” lapor seorang utusan kepada ketua adat. “Iya, Tuan! Ia sama sekali tidak
percaya dengan laporan kami,” tambah seorang utusan lainnya.
Mendengar keterangan
itu, ketua adat
segera menunjuk tokoh
masyarakat lainnya untuk menyampaikan berita duka itu kepada si
Lidah Pahit. Namun, lagi-lagi si Lidah Pahit tidak percaya jika anaknya telah
mati. Ia terus
saja mencangkul dan
membuang tanah cangkulannya
ke Sungai Air Ketahun. Melihat keadaan itu, akhirnya
ketua adat bersama beberapa pemuka adat lainnya memutuskan untuk menyampaikan langsung alasan itu kepada si
Lidah Pahit. Maka berangkatlah mereka untuk menemui si Lidah Pahit di tempat
kerjanya.“Wahai si Lidah
Pahit! Percayalah kepada
kami! Anakmu benar-benar
telah meninggal dunia,”
kata ketua adat kepada si Lidah Pahit.
Oleh
karena sangat menghormati
ketua adat dan
pemuka adat lainnya,
si Lidah Pahit
pun percaya kepada mereka.
Baiklah! Karena Tuan-Tuan
terhormat yang datang
menyampaikan berita ini,
maka saya sekarang percaya kalau anak saya telah
meninggal dunia,” kata si Lidah Pahit dengan suara pelan. “Kalau begitu,
berhentilah bekerja dan kembalilah ke kampung melihat anakmu!” ujar ketua adat.
“Iya, Tuan! Saya akan menyelesaikan pekerjaan saya yang tinggal beberapa
cangkul ini,” jawab si Lidah Pahit. Mendengar jawaban itu, ketua adat beserta
rombongannya berpamitan untuk kembali ke Dusun Kutei Donok. Setelah rombongan itu pergi, si Lidah
Pahit baru menyadari akan ucapannya tadi. Dalam hati, ia yakin betul
bahwa anaknya yang
sebenarnya tidak meninggal
kemudian menjadi meninggal
akibat ucapannya sendiri. Maka dengan ucapan saktinya itu, anaknya pun
benar-benar telah meninggal dunia. Namun, apa hendak dibuat, nasi sudah menjadi
bubur.
Ucapan si Lidah Pahit tersebut tidak
dapat ditarik kembali. Dengan perasaan
kesal, ia pun melampiaskan kemarahannya pada tanah garapannya. Berkalikali ia
menghentakkan cangkulnya ke tanah, lalu membuang tanah cangkulannya ke Sungai Air
Ketahun. Setelah itu,
ia pun bergegas
kembali ke Dusun
Kutei Donok hendak
melihat anaknya yang
telah meninggal dunia. Sesampainya di rumah, ia mendapati anaknya
benar-benar sudah tidak bernyawa lagi. Konon, tanah-tanah yang dibuang si Lidah
Pahit itu membendung aliran Sungai Air Ketahun dan akhirnya membentuk sebuah
danau besar yang diberi nama Danau Tes.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment