“Keramat
Riak Cerita”
Cerita Rakyat Bengkulu
Suatu siang yang
terik, tampak seorang kakek misterius berjalan terseok-seok sambil menggendong
sebuah jala di depan paseba (pendapa) istana Keramat Riak. Kakek itu tampak
begitu lelah. Rupanya, ia baru saja pulang dari sungai mencari ikan. Ia pun
memutuskan untuk duduk beristirahat di depan paseba yang selalu dijaga ketat
oleh dua orang prajurit. Jalanya yang memakai pemberat dari rantai emas
diletakkan begitu saja di tanah. Rantai jala itu berkilau diterpa sinar matahari
sehingga menarik perhatian kedua prajurit itu. Akhirnya, kedua prajurit itu
menghampiri dan menyapa si kakek dengan ramah. “Wah, jala Kakek bagus sekali,”
sapa salah seorang prajurit dengan perasaan kagum. “Iya, Tuan! Jala ini warisan
nenek moyang Kakek. Setiap hari Kakek menggunakannya sebagai alat mata
pencaharian Kakek,” jawab kakek itu. “O ya, Tuan! Bolehkah saya menumpang
shalat dhuhur di paseba ini,” pinta kakek itu.
“Boleh… boleh…
Silakan Kek!” jawab kedua prajurit itu serentak. Kakek itu pun masuk ke dalam
paseba. Jalanya dibiarkan tergeletak di luar paseba. Saat kakek itu sedang
shalat, kedua prajurit yang sejak tadi merasa penasaran segera mendekati jala
itu. Setelah dicermati secara seksama, ternyata benar bahwa rantai jala itu
terbuat dari emas. Namun, betapa terkejutnya mereka saat hendak mengangkat jala
itu yang ternyata sangat berat dan seolah-olah menempel di tanah. “Aneh, kenapa
rantai jala ini berat sekali?” gumam salah seorang prajurit yang mencoba
mengangkat jala itu. “Ayo kawan, bantu aku mengangkat jala ini!” serunya. Kedua
prajurit tersebut berusaha mengangkat jala milik si kakek secara bersama-sama.
Apa yang terjadi? Jangankan terangkat, jala itu tidak bergeser sedikit pun.
Melihat keanehan itu, salah seorang dari prajurit tersebut bergegas melaporkan
kejadian aneh itu kepada Raja Riak Bakau di istana. Raja Riak Bakau dikenal
sebagai raja yang kejam. Ia tidak segan-segan menghukum bagi siapa saja yang
menentangnya.
Mendengar
laporan dari prajurit itu, Raja Riak Bakau yang diiringi beberapa pengawalnya
segera menemui si pemilik jala itu. Setibanya di depan paseba, kakek itu telah
selesai shalat dhuhur dan bersiap-siap untuk pulang. “Tunggu, Kek!” cegah Raja
Riak Bakau. Menyadari bahwa orang yang menegurnya itu adalah sang Raja, kakek itu
segera memberi hormat seraya menjawab: “Ampun, Baginda! Izinkanlah hamba
pergi!” pinta kakek itu. “Jangan pergi dulu, Kek! Aku ada perlu dengan Kakek,”
kata Raja Riak Bakau. “Ampun, Baginda! Ada yang bisa hamba bantu?” tanya kakek
itu. “Hai, Kakek yang budiman. Bolehkah aku memiliki jala rantai emasmu itu?”
pinta Raja Riak Bakau. “Maafkan hamba Baginda! Bukannya hamba bermaksud
mengecewakan hati Baginda. Hamba belum bisa memenuhi permintaan Baginda. Jala
ini satu-satunya harta warisan hamba,” ungkap kakek itu. Mendengar jawaban itu,
Raja Riak Bakau mulai kesal karena baru kali ada orang di negeri itu yang
berani menolak permintaannya. “Hai, Kakek! Ketahuilah, akulah penguasa di
negeri ini. Siapa pun yang memijak tanah negeri ini harus tunduk padaku. Jika tidak,
maka tahu sendirilah akibatnya,” ancam Raja Riak Bakau. Kakek itu tidak takut
terhadap ancaman itu. Ia tetap pada pendiriannya untuk tidak menyerahkan jala
emasnya kepada Raja Riak Bakau.
Sikap
kakek itu membuat Raja Riak Bakau bertambah kesal. “Hai, Kakek! Serahkan jalamu
itu sekarang juga atau aku sendiri yang akan mengambilnya!” seru Raja Riak
Bakau. “Silakan, jika Baginda sanggup mengangkatnya,” kata kakek itu. Raja Riak
Bakau yang merasa diremehkan oleh kakek itu segera mengangkat jala rantai emas
dengan segenap kekuatannya. Namun, jala itu tidak bergerak sedikit pun.
Meskipun ia telah memerintahkan beberapa prajuritnya untuk mengangkatnya, jala
itu tetap saja tidak bisa diangkat. Akhirnya, Raja Riak Bakau mengakui
kesaktian kakek itu. Namun, Raja Riak Bakau tidak kehabisan akal. “Baiklah,
Kek! Aku mengakui kesaktianmu. Tapi, bagaimana kalau kita mengadu ayam saja.
Jika ayamku kalah, kamu boleh memiliki semua harta dan kekuasaanku. Tapi, jika
ayammu kalah, jala rantai emas itu menjadi milikku,” tantang Raja Riak Bakau.
Semula kakek itu menolak, namun karena terus didesak oleh Raja Riak Bakau
akhirnya ia pun menerima tantangan itu. Akhirnya disepakati bahwa pertandingan
sabung ayam akan dilaksanakan di depan istana tiga hari kemudian.
Kabar
tentang pertandingan sabung ayam itu tersebar hingga ke seluruh pelosok negeri.
Pada hari yang telah ditentukan, pertandingan sabung ayam segera dimulai dan
disaksikan oleh seluruh rakyat Negeri Keramat Riak. Kakek misterius itu membawa
seekor ayam aduan bertubuh kurus, sedangkan ayam aduan milik Raja Riak Bakau
bertubuh besar dan gagah. Melihat ayam aduan kakek itu, Raja Riak Bakau merasa
yakin akan memenangkan pertandingan tersebut. Begitu gong dibunyikan sebagai
tanda pertandingan sabung ayam dimulai, Raja Riak Bakau dan kakek itu segera
melepaskan ayam aduan mereka di arena pertarungan. Kedua ayam aduan itu pun
langsung berhadap-hadapan dan selanjutnya bertarung. Ayam aduan Raja Riak Bakau
langsung menyerang secara bertubi-tubi sehingga ayam aduan kakek itu harus
melompat ke sana-kemari untuk menghindar dan sesekali jatuh terkena tendangan
kaki ayam aduan Raja Riak Bakau.
Setelah
beberapa lama pertarungan itu berlangsung, ayam aduan Raja Riak Bakau mulai
kelelahan. Kini, giliran ayam aduan kakek itu yang menyerang. Hanya sekali
tendang, ayam aduan Raja Riak Bakau langsung jatuh dan tidak bisa melanjutkan
pertarungan. Walaupun ayam aduannya kalah, Raja Riak Bakau tidak terima atas
kekalahan itu karena tidak ingin kehilangan seluruh harta dan kekuasaannya.
Akhirnya, ia menantang kakek itu untuk bertarung. Namun, kakek itu kembali
menolak tantangan tersebut. “Ampun, Baginda! Hamba tidak ingin bertarung karena
itu tidak ada manfaatnya. Bagaimana kalau hasil pertandingan tadi kita anggap
impas. Hamba tidak akan menuntut apapun dari Baginda, tapi izinkanlah hamba
pergi membawa jala rantai emas hamba ini,” pinta kakek itu dengan kata-kata
bijaksana. Raja Riak Bakau pun mengambulkan permintaan kakek itu. Sebelum
pergi, kakek itu mampir shalat di paseba dan jalanya diletakkan di depan
paseba. Rupanya, Raja Riak Bakau bersama pengawalnya membuntuti kakek itu
secara diam-diam karena masih berninat untuk memiliki jala rantai emas itu.
Ketika melihat kakek itu sedang khusyuk shalat, Raja Riak Bakau segera
menghunus keris yang terselip di pinggangnya lalu menusuk tubuh kakek itu dari
belakang. Sungguh ajaib, walaupun dalam keadaan terluka parah, kakek itu masih
dapat menyelesaikan shalatnya. Usai mengucapkan salam, kakek misterius itu
segera mengambil lidi lalu ditancapkan di empat sudut paseban dan kemudian
pergi meninggalkan negeri itu. Begitu kakek itu berlalu, beberapa prajurit
berusaha mencabut lidi itu, namun tak seorang pun yang berhasil. Akhirnya,
terpaksa Raja Riak Bakau sendiri yang mencabutnya. Begitu lidi-lidi tersebut
tercabut, air menyembur keluar dengan derasnya.
Makin
lama semburan air semakin deras sehingga dalam waktu sekejap air menggenangi
seluruh negeri itu. Seluruh penduduk berusaha menyelamatkan diri. Ada yang
berlari ke gunung, sedangkan Raja Riak Bakau beserta pengikutnya berusaha
memanjat pohon yang tinggi agar tidak terkena luapan air yang hampir
menenggelamkan seluruh negeri itu. Raja Riak Bakau beserta pengikutnya yang
berada di atas pohon masih selamat. Namun, Tuhan terlanjur murka kepada mereka.
Tiba-tiba, langit menjadi gelap. Beberapa saat kemudian, hujan deras turun
disertai angin kencang. Raja Riak Bakau yang berada di atas pohon beserta
pengikutnya terombang-ambing diterpa angin kencang. Pada saat itulah terdengar
suara menggema dari balik awan.
“Wahai, Raja
Riak Bakau dan seluruh rakyat Keramat Biak! Kalian itu bergelantungan seperti
kera saja!” demikian pesan dari suara misterius itu. Begitu suara itu hilang,
tiba-tiba Raja Riak Bakau dan seluruh warganya yang selamat menjelma menjadi
kera. Setelah itu, hujan deras kembali reda dan cuaca kembali cerah. Air pun
mulai surut sehingga yang terlihat hanya kera-kera yang bergelantungan di atas
pohon. Lama-kelamaan negeri itu menjadi hutan rimba dan dihuni oleh kawanan
kera. Sementara itu, kakek yang misterius itu menghilang entah ke mana.
Beberapa tahun kemudian, beberapa awak kapal dari Cina mendarat di hutan lebat
itu. Konon, mereka itu adalah pedagang yang pernah ditolong oleh si kakek
misterius. Mereka datang untuk memenuhi pesan sang kakek agar dibuatkan makam
di Keramat Riak. Mereka pun membuat sebuah makam yang cukup megah di daerah
itu. Pada nisan makam itu tertulis Syekh Abdullatif, yaitu nama dari kakek
misterius itu. Selanjutnya, makam itu dinamakan makam Keramat Riak.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment