“Si
Kelingking”
Cerita
Rakyat Bangka Belitung
Di
sebuah desa di
Pulau Belitung, hiduplah
sepasang suami istri yang miskin.
Walaupun hidup miskin, mereka tetap rukun dan bahagia. Namun, kebahagiaan itu
terasa belum lengkap, karena mereka belum
mempunyai anak. Untuk
itu, setiap malam kedua orang
suami-istri itu senantiasa berdoa kepada Tuhan agar dikaruniai seorang anak.
“Ya, Tuhan! Karuniakanlah
kami seorang anak,
walaupun sebesar kelingking!” Rupanya
doa mereka dikabulkan
oleh Tuhan Yang Mahakuasa.
Tidak beberapa lama kemudian sang Istri
hamil. Sepasang suami-istri
itu sangat senang,
karena tidak lama
lagi akan mendapatkan
seorang anak yang selama ini mereka dambakan.
Beberapa bulan kemudian,
sang Istri pun
melahirkan. Namun, mereka
sangat terkejut ketika
melihat bayi yang keluar dari rahim sang Istri hanya sebesar kelingking.
“Bang! Kenapa anak kita kecil sekali, Bang?” tanya sang Istri sedih. Mendengar
pertanyaan istrinya, sang Suami hanya diam. Ia seakan-akan tidak percaya apa
yang sedang mereka alami. Akhirnya, sang Suami teringat dengan doa yang sering
mereka ucapkan. “Dik! Ingatkah doa kita selama ini? Bukankah kita selalu berdoa
agar diberikan anak walaupun sebesar
kelingking?” tanya sang Suami mengingatkan istrinya. “Ooo, iya. Rupanya Tuhan
mengabulkan doa kita sesuai dengan permintaan kita,” kata sang Istri.Bayi itu
pun mereka pelihara dengan sebaik-baiknya.
Waktu terus berjalan hingga anak itu
berusia enam tahun. Namun, badan anak itu tetap sebesar kelingking. Oleh karena
itu, mereka memberinya nama Si Kelingking.Mulanya, sepasang
suami-istri itu sayang
kepada Si Kelingking.
Tetapi, ada suatu
hal yang membuat mereka risau,
yakni walaupun badannya kecil, Si Kelingking banyak sekali
makannya. Sekali makan,
ia dapat menghabiskan secanting[1] nasi, bahkan terkadang masih kurang.
Setiap hari suami-istri itu selalu bingung,
karena penghasilan yang
mereka peroleh hanya
cukup untuk dimakan
oleh Si Kelingking sendiri. Oleh
karena sudah tidak
kuat lagi menghidupi
Si Kelingking, kedua
suami -istri itu bersepakat hendak menyingkirkannya dari
kehidupan mereka.
“Bang! Bagaimana caranya kita
menyingkirkan Si Kelingking?” tanya sang Istri bingung.“Abang punya cara,”
jawab sang Suami.“Apa itu, Bang?” tanya sang Istri penasaran.“Besok pagi, aku
akan mengajaknya ke hutan,” jawab sang Suami.“Ke hutan? Untuk apa, Bang?” tanya
sang Istri tambah bingung. “Aku akan membuangnya di tengah hutan,” jawab sang
Suami. Sang Istri pun setuju. Keesokan harinya, sang Ayah mengajak Si
Kelingking ke hutan untuk mencari kayu.
Setibanya di tengah hutan, sang Ayah segera menebang pohon besar.
“Kelingking! Kamu berdiri di situ saja! Ayah akan menebang pohon ini!” seru
sang Ayah. “Baik, Ayah!” jawab Si Kelingking menuruti perintah ayahnya.
Namun, tanpa disadari
oleh Si Kelingking,
ayahnya menebang pohon
itu diarahkan kepadanya.
Sang Ayah sengaja melakukan hal itu, agar pohon itu menimpanya. Beberapa
saat kemudian, pohon besar itu pun roboh
menimpa Si Kelingking.
Melihat hal itu, sang Ayah bukannya
sedih, melainkan gembira.“Matilah
kau kerdil! Ha...
ha... ha...!” seru
sang Ayah sambil
tertawa terbahak-bahak, lalu
mendekati pohon besar itu.Setelah
memastikan dan yakin
anaknya mati, sang
Ayah segera kembali
ke rumahnya untuk menceritakan kejadian itu kepada
istrinya. Mendengar cerita suaminya, sang Istri pun menjadi senang. “Bang!
Mulai hari ini, hidup kita akan jadi tenang,” kata sang Istri kepada suaminya.
Namun, menjelang siang hari, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari luar
rumah. “Ayah...! Ayah....! Diletakkan di mana kayu ini?” “Bang! Sepertinya itu
suara Kelingking. Bukankah anak itu sudah mati?” tanya sang Istri heran. “Ayo,
kita keluar melihatnya!” seru sang Suami penasaran.
Kedua
suami-istri sangat terkejut
saat melihat Si
Kelingking sedang memikul
sebuah pohon besar
di pundaknya. “Ayah! Diletakkan di mana kayu ini?” tanya Si Kelingking.
“Letakkan di situ saja!” perintah ayahnya. Setelah meletakkan
kayu itu, Si
Kelingking langsung masuk
ke dalam rumah
mencari makanan. Oleh karena merasa kelaparan usai memikul
pohon besar, ia pun menghabiskan secanting nasi yang sudah dimasak ibunya.
Sementara ayah dan ibunya hanya duduk bengong melihat anaknya, dan tidak tahu
apa yang harus mereka perbuat. Sejak
Si Kelingking kembali
ke rumah, kehidupan
mereka semakin susah.
Semakin hari Si
Kelingking semakin banyak makannya. Tidak cukup jika hanya makan
secanting nasi.
Melihat keadaan itu, sepasang
suami-istri itu kembali
berunding untuk mencari
cara menyingkirkan Si
Kelingking dari kehidupan mereka.“Bang! Apa lagi yang harus
kita lakukan?” tanya sang Istri bingung.“Besok
Abang akan mengajaknya
pergi ke gunung
untuk mengambil batu,”
jawab sang Suami
sambil tersenyum.“Tenang, Dik! Recanaku ini pasti akan berhasil,” tambah
sang Suami dengan penuh keyakinan.Keesokan harinya, sang Ayah mengajak Si
Kelingking ke gunung untuk mengambil batu. Sesampainya di kaki gunung, sang
ayah berhenti.“Kelingking! Ayah akan naik ke atas gunung hendak mendongkel
batu-batu itu. Kamu tunggu di sini saja sambil menghadang dan mengumpulkan
batu-batu itu,” perintah sang Ayah.“Baik, Ayah!” jawab Si Kelingking.Setelah itu,
sang Ayah mendaki
gunung itu sambil
membawa sebatang kayu
untuk digunakan mendongkel batu.
Pada awalnya, ia hanya mendongkel
batu-batu kecil, lalu batu yang agak besar, dan kemudian batu yang lebih besar
lagi. Pada saat mendongkel batu besar itu, ia sengaja mengarahkannya kepada Si
Kelingking. Batu itu pun menindih Si
Kelingking. Melihat hal itu, sang Ayah segera turun dari gunung dan menghampiri
Si Kelingking yang tertindih batu. “Kelingking! Kelingking! Kelingking!” serusang
Ayah memanggil anaknya.Beberapa kali ia
memanggil anaknya, namun
tidak mendapat jawaban.
Ia yakin bahwa
Si Kelingking telah mati. Dengan
perasaan gembira, ia pun segera kembali ke rumah dan menceritakan kejadian itu
kepada istrinya. Namun, sang Istri tidak langsung percaya dengan cerita itu.
“Apakah Abang yakin
jika anak itu
benar-benar sudah mati?”
tanya sang Istri
dengan perasaan raguragu. “Iya, Dik! Abang berhasil
menindihnya dengan batu besar,” jawab sang Suami. “Ya, syukurlah kalau begitu.
Hidup kita akan benar-benar jadi tenang kembali,” kata sang Istri dengan
perasaan lega.Namun, ketika menjelang sore, tanpa mereka duga sebelumnya,
tiba-tiba terdengar lagi suara dari luar rumah.
“Ayah...! Ayah...! Diletakkan di mana batu ini?” tanya suara itu.
“Letakkan di situ!” jawab Ayah Si Kelingking tanpa sadar. Suami-istri itu
tersentak kaget saat keluar dari rumah. Mereka melihat Si Kelingking sedang
meletakkan sebuah batu besar.
Setelah itu, seperti biasanya, Si Kelingking
langsung masuk ke rumah untuk mencari makanan, karena kelaparan. Akhirnya,
kedua orang suami-istri itu
merasa kasihan kepada
anak mereka, Si Kelingking. Mereka pun menyadari
bahwa walau bagaimana
pun Si Kelingking
lahir karena permintaan
mereka sendiri. Sejak saat
itu, mereka tidak
pernah lagi berniat
untuk membunuhnya. Mereka
telah menerima kembali
Si Kelingking sebagai anggota keluarga. Sementara Si Kelingking yang
memiliki kekuatan lebih dari orangorang biasa semakin rajin membantu ayahnya
bekerja. Bahkan, semua pekerjaan yang berat-berat dia yang melakukannya,
sehingga pekerjaan ayahnya
menjadi lebih ringan
dan kebutuhan hidup
mereka dapat terpenuhi.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment