Wednesday 25 November 2015

Cerita Rakyat Bangka Belitung


“Si Kelingking”
Cerita Rakyat Bangka Belitung


Di  sebuah  desa  di  Pulau  Belitung,  hiduplah  sepasang  suami istri yang miskin. Walaupun hidup miskin, mereka tetap rukun dan bahagia. Namun, kebahagiaan itu terasa belum lengkap, karena  mereka  belum  mempunyai  anak.  Untuk  itu,  setiap malam kedua orang suami-istri itu senantiasa berdoa kepada Tuhan agar dikaruniai seorang anak. “Ya,  Tuhan!  Karuniakanlah  kami  seorang  anak,  walaupun sebesar kelingking!” Rupanya  doa  mereka  dikabulkan  oleh  Tuhan  Yang Mahakuasa.
Tidak beberapa lama kemudian sang Istri hamil.  Sepasang  suami-istri  itu  sangat  senang,  karena  tidak  lama  lagi  akan  mendapatkan  seorang  anak  yang selama ini mereka dambakan. Beberapa  bulan  kemudian,  sang  Istri  pun  melahirkan.  Namun,  mereka  sangat  terkejut  ketika  melihat bayi yang keluar dari rahim sang Istri hanya sebesar kelingking. “Bang! Kenapa anak kita kecil sekali, Bang?” tanya sang Istri sedih. Mendengar pertanyaan istrinya, sang Suami hanya diam. Ia seakan-akan tidak percaya apa yang sedang mereka alami. Akhirnya, sang Suami teringat dengan doa yang sering mereka ucapkan. “Dik! Ingatkah doa kita selama ini? Bukankah kita selalu berdoa agar diberikan  anak walaupun sebesar kelingking?” tanya sang Suami mengingatkan istrinya. “Ooo, iya. Rupanya Tuhan mengabulkan doa kita sesuai dengan permintaan kita,” kata sang Istri.Bayi itu pun mereka pelihara dengan sebaik-baiknya.
Waktu terus berjalan hingga anak itu berusia enam tahun. Namun, badan anak itu tetap sebesar kelingking. Oleh karena itu, mereka memberinya nama Si Kelingking.Mulanya,  sepasang  suami-istri  itu  sayang  kepada  Si  Kelingking.  Tetapi,  ada  suatu  hal  yang  membuat mereka  risau,  yakni  walaupun  badannya kecil, Si  Kelingking banyak  sekali  makannya.  Sekali  makan,  ia dapat menghabiskan secanting[1] nasi, bahkan terkadang masih kurang. Setiap hari suami-istri itu selalu bingung,  karena  penghasilan  yang  mereka  peroleh  hanya  cukup  untuk  dimakan  oleh  Si  Kelingking sendiri.  Oleh  karena  sudah  tidak  kuat  lagi  menghidupi  Si  Kelingking,  kedua  suami -istri  itu  bersepakat hendak menyingkirkannya dari kehidupan mereka.
“Bang! Bagaimana caranya kita menyingkirkan Si Kelingking?” tanya sang Istri bingung.“Abang punya cara,” jawab sang Suami.“Apa itu, Bang?” tanya sang Istri penasaran.“Besok pagi, aku akan mengajaknya ke hutan,” jawab sang Suami.“Ke hutan? Untuk apa, Bang?” tanya sang Istri tambah bingung. “Aku akan membuangnya di tengah hutan,” jawab sang Suami. Sang Istri pun setuju. Keesokan harinya, sang Ayah mengajak Si Kelingking ke hutan untuk mencari kayu.  Setibanya di tengah hutan, sang Ayah segera menebang pohon besar. “Kelingking! Kamu berdiri di situ saja! Ayah akan menebang pohon ini!” seru sang Ayah. “Baik, Ayah!” jawab Si Kelingking menuruti perintah ayahnya. Namun,  tanpa  disadari  oleh  Si  Kelingking,  ayahnya  menebang  pohon  itu  diarahkan  kepadanya.  Sang Ayah sengaja melakukan hal itu, agar pohon itu menimpanya. Beberapa saat kemudian, pohon  besar itu pun roboh menimpa Si Kelingking.
Melihat hal itu, sang Ayah bukannya sedih, melainkan gembira.“Matilah  kau  kerdil!  Ha...  ha...  ha...!”  seru  sang  Ayah  sambil  tertawa  terbahak-bahak,  lalu  mendekati pohon besar itu.Setelah  memastikan  dan  yakin  anaknya  mati,  sang  Ayah  segera  kembali  ke  rumahnya  untuk menceritakan kejadian itu kepada istrinya. Mendengar cerita suaminya, sang Istri pun menjadi senang. “Bang! Mulai hari ini, hidup kita akan jadi tenang,” kata sang Istri kepada suaminya. Namun, menjelang siang hari, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari luar rumah. “Ayah...! Ayah....! Diletakkan di mana kayu ini?” “Bang! Sepertinya itu suara Kelingking. Bukankah anak itu sudah mati?” tanya sang Istri heran. “Ayo, kita keluar melihatnya!” seru sang Suami penasaran.
Kedua  suami-istri  sangat  terkejut  saat  melihat  Si  Kelingking  sedang  memikul  sebuah  pohon  besar  di pundaknya. “Ayah! Diletakkan di mana kayu ini?” tanya Si Kelingking. “Letakkan di situ saja!” perintah ayahnya. Setelah  meletakkan  kayu  itu,  Si  Kelingking  langsung  masuk  ke  dalam  rumah  mencari  makanan.  Oleh karena merasa kelaparan usai memikul pohon besar, ia pun menghabiskan secanting nasi yang sudah dimasak ibunya. Sementara ayah dan ibunya hanya duduk bengong melihat anaknya, dan tidak tahu apa yang harus mereka perbuat. Sejak  Si  Kelingking  kembali  ke  rumah,  kehidupan  mereka  semakin  susah.  Semakin  hari  Si  Kelingking semakin banyak makannya. Tidak cukup jika hanya makan secanting nasi.
Melihat keadaan itu, sepasang suami-istri  itu  kembali  berunding  untuk  mencari  cara  menyingkirkan  Si  Kelingking  dari  kehidupan mereka.“Bang! Apa lagi yang harus kita lakukan?” tanya sang Istri bingung.“Besok  Abang  akan  mengajaknya  pergi  ke  gunung  untuk  mengambil  batu,”  jawab  sang  Suami  sambil tersenyum.“Tenang, Dik! Recanaku ini pasti akan berhasil,” tambah sang Suami dengan penuh keyakinan.Keesokan harinya, sang Ayah mengajak Si Kelingking ke gunung untuk mengambil batu. Sesampainya di kaki gunung, sang ayah berhenti.“Kelingking! Ayah akan naik ke atas gunung hendak mendongkel batu-batu itu. Kamu tunggu di sini saja sambil menghadang dan mengumpulkan batu-batu itu,” perintah sang Ayah.“Baik, Ayah!” jawab Si Kelingking.Setelah  itu,  sang  Ayah  mendaki  gunung  itu  sambil  membawa  sebatang  kayu  untuk  digunakan mendongkel batu.
Pada awalnya, ia hanya mendongkel batu-batu kecil, lalu batu yang agak besar, dan kemudian batu yang lebih besar lagi. Pada saat mendongkel batu besar itu, ia sengaja mengarahkannya kepada Si Kelingking. Batu itu pun menindih  Si Kelingking. Melihat hal itu, sang Ayah segera turun dari gunung dan menghampiri Si Kelingking yang tertindih batu. “Kelingking! Kelingking! Kelingking!” serusang Ayah memanggil anaknya.Beberapa  kali  ia  memanggil  anaknya,  namun  tidak  mendapat  jawaban.  Ia  yakin  bahwa  Si  Kelingking telah mati. Dengan perasaan gembira, ia pun segera kembali ke rumah dan menceritakan kejadian itu kepada istrinya. Namun, sang Istri tidak langsung percaya dengan cerita itu. “Apakah  Abang  yakin  jika  anak  itu  benar-benar  sudah  mati?”  tanya  sang  Istri  dengan  perasaan  raguragu. “Iya, Dik! Abang berhasil menindihnya dengan batu besar,” jawab sang Suami. “Ya, syukurlah kalau begitu. Hidup kita akan benar-benar jadi tenang kembali,” kata sang Istri dengan perasaan lega.Namun, ketika menjelang sore, tanpa mereka duga sebelumnya, tiba-tiba terdengar lagi suara dari luar rumah.  “Ayah...! Ayah...! Diletakkan di mana batu ini?” tanya suara itu. “Letakkan di situ!” jawab Ayah Si Kelingking tanpa sadar. Suami-istri itu tersentak kaget saat keluar dari rumah. Mereka melihat Si Kelingking sedang meletakkan sebuah batu besar.
 Setelah itu, seperti biasanya, Si Kelingking langsung masuk ke rumah untuk mencari makanan, karena kelaparan. Akhirnya, kedua orang  suami-istri  itu  merasa  kasihan  kepada  anak mereka,  Si  Kelingking. Mereka  pun menyadari  bahwa  walau  bagaimana  pun  Si  Kelingking  lahir  karena  permintaan  mereka  sendiri.  Sejak saat  itu,  mereka  tidak  pernah  lagi  berniat  untuk  membunuhnya.  Mereka  telah  menerima  kembali  Si Kelingking sebagai anggota keluarga. Sementara Si Kelingking yang memiliki kekuatan lebih dari orangorang biasa semakin rajin membantu ayahnya bekerja. Bahkan, semua pekerjaan yang berat-berat dia yang  melakukannya,  sehingga  pekerjaan  ayahnya  menjadi  lebih  ringan  dan  kebutuhan  hidup  mereka dapat terpenuhi.

Terima kasih sudah membaca.

“TAMAT”






No comments:

Post a Comment