Wednesday 25 November 2015

Cerita Rakyat Bangka Belitung


“Putri Pinang Gading”
Cerita Rakyat Bangka Belitung



Di  sebuah  Kubok  yang  bernama  Kelekak  Nangak  yang terdapat  di  Kecamatan  Membalong,  hiduplah  sepasang suami-istri  yang  miskin  dan  tidak  mempunyai  anak.  Sang Suami bernama Pak Inda, sedangkan sang Istri bernama Bu Tumina.  Mereka  tinggal  di  sebuah  rumah  kecil  yang beratap  nangak  dan  berlantai  kayu  gelegar  berlapik tuntong.  Untuk  memenuhi  kebutuhan  hidup  sehari-hari, mereka  menanam  padi  di  ladang  dan  menangkap  ikan dengan  cara  memasang sero  di tepi  laut. Ketika air  surut, ikan-ikan akan terperangkap dalam sero itu.Pada  suatu  hari,  musim  panen  padi  bertepatan  dengan waktu air laut surut. Pak Inda betare (berpamitan) kepada istrinya untuk melihat sero yang dipasang di tepi laut. “Dik! Hari ini Abang akan pergi memeriksa sero di tepi laut. Bagaimana kalau Adik sendiri saja yang berangkat ke ladang memanen padi?” tanya sang Suami.“Baik, Bang! Kebetulan juga hari ini kita tidak mempunyai lauk untuk makan siang,” jawab sang Istri.
Dengan membawa ambong,  berangkatlah Pak Inda ke  laut. Ketika akan mendekati seronya, tiba-tiba ia tersandung sepotong bambu. Ia pun mengambil bambu itu dan melemparkannya ke laut, agar hanyut terbawa oleh air laut yang sedang surut. Namun, ketika akan menangkap ikan di seronya, ia tersandung  lagi dengan sepotong bambu. “Kenapa banyak sekali bambu yang hanyut di tempat ini?” gumam Pak Inda sambil mengamati bambu itu.“Aneh! Sepertinya bambu ini yang sudah aku lemparkan tadi,” gumam Pak Inda heran.Oleh  karena  sudah  tidak  sabar  ingin  melihat  seronya,  Pak  Inda  segera  membuang  kembali  bambu  itu agak jauh ke tengah laut agar tidak menghalanginya lagi. Setelah itu, ia pun menangkap ikan di dalam seronya.  Pak  Inda  sangat  gembira,  karena  mendapatkan  banyak  ikan.  Sebagian  ikan  tersebut  ia masukkan  ke  dalam  ambongnya, dan  sebagian pula diikat dengan  tali  rotan,  karena  ambongnya  tidak dapat menampung semua ikan tersebut. Setelah itu, ia pun bergegas pulang ke rumahnya.
Namun, pada saat akan meninggalkan pantai, tiba-tiba ia kembali tersandung pada sepotong bambu. Ia pun mengambil bambu itu lalu mengamatinya secara seksama. “Wah, tidak salah lagi, ini bambu yang aku buang ke laut tadi. Tapi, kenapa bambu ini bisa sampai ke sini, padahal air laut sedang surut?” tanya Pak Inda dalam hati. “Benar-benar  aneh!  Bambu  ini  dapat  melawan  arus  air  laut.  Ini  bukanlah  bambu  sembarangan,” tambahnya sambil mengamati bambu itu. Setelah beberapa saat berpikir, Pak Inda mengambil bambu itu dan menggunakannya sebagai pemikul ikan.  Sesampainya  di  rumah,  Pak  Inda  menceritakan  peris tiwa  yang  dialami  kepada  istrinya.  Oleh istrinya, bambu itu digunakan sebagai penindih jemuran padi agar tidak diterbangkan angin. Pada  suatu  hari,  saat  sedang  duduk  bersantai  di  rumah,  Pak  Inda  dan  istrinya  dikejutkan  oleh  suara letusan yang sangat keras. Keduanya pun segera menuju ke sumber suara letusan itu. Rupanya, sumber letusan  itu  berasal  dari  sepotong  bambu  yang digunakan  oleh  sang  Istri  menindih  jemuran  padi  yang berada  di  depan  rumah  mereka.  Alangkah  terkejutnya  mereka  saat  melihat  seorang  bayi  perempuan disertai dengan pancaran cahaya yang menyilaukan keluar dari bambu itu. “Bang, lihat itu! Ada seorang bayi perempuan yang tergeletak di tanah,” seru sang Istri. “Bayi itu menangis! Cepat tolong dia, Dik!” seru Pak Inda kepada istrinya.
Tanpa  berpikir  panjang,  Bu  Tumina  segera  mengambil  dan  memandikan  bayi  itu.  Setelah  bersih,  ia menggendong bayi itu sambil bernyanyi:
Anakku sayang, anak kandungku. Anak kandung sibiran tulang, Obah jerih... pelerai demam.Bu Tumina terus bernyanyi hingga si bayi tidak menangis lagi dan tertidur. Kedua suami-istri itu sangat senang,  karena  telah  mendapatkan  seorang  anak  yang  sudah  lama  mereka  dambakan.  Mereka  pun merawat dan membesarkan bayi itu dengan penuh kasih sayang seperti anak kandung mereka sendiri. Mereka memberinya nama Putri Pinang Gading.Waktu berjalan begitu cepat, Putri Pinang Gading sudah berumur lima belas tahun tahun. Setiap hari ia pergi  berburu  binatang  di  hutan  yang  ada  di  sekitar  rumahnya.  Banyak  sudah  binatang  buruan  yang pernah dipanahnya, karena memang sejak kecil ia sangat suka bermain panahan dan sering dilatih oleh ayahnya  cara  memanah  yang  baik.  Semenjak  kehadiran  Putri  Pinang  Gading,  rezeki  Pak  Inda  selalu bertambah, sehingga kehidupan mereka pun semakin sejahtera.
Pada suatu hari,  terdengar kabar bahwa di Kampung Kelekak Remban terjadi bencana yang ditimbulkan oleh serangan burung yang besar. Oleh masyarakat Kelekak Remban, burung itu disebut Burung Gerude yang tinggal di sebelah timur daerah Ranau. Burung Gerude itu sangat ganas dan buas. Ia mengobrakabrik  permukiman  penduduk  Kelekak  Remban,  dan  bahkan  telah  menelan  seorang  warga.  Seluruh penduduk  Kelekak  Remban  jadi  panik.  Untuk  berlindung  dari  serangan  Burung  Gerude,  para  warga membuat remban. Tidak seorang pun warga yang berani keluar rumah.Peristiwa yang mengerikan itu terdengar oleh Putri Pinang Gading yang kini sudah berusia 21 tahun. Ia bertekad  hendak  pergi  ke  Kampung  Kelekak  Remban  untuk  menolong  warga  yang  sedang  dilanda ketakutan.“Ayah, Ibu! Izinkanlah Putri pergi untuk mengusir binatang buas itu!” pinta Putri Pinang Gading.“Apakah  kamu  sanggup  mengalahkan  burung  besar  itu,  Nak?”  tanya  Pak  Inda  khawatir  terhadap putrinya.“Ayah  tidak  perlu  khawatir.  Putri  akan  membinasakan  burung  itu  dengan  panahku  yang  beracun  ini,” jawab Putri Pinang Gading dengan penuh keyakinan.“Baiklah,  kalau  begitu!  Tapi,  kamu  harus  lebih  berhati-hati,  Nak!  Kami  takut  kehilanganmu,”  ujar  Pak Inda.“Benar, Nak! Kamu adalah putri kami satu-satunya,” sahut Bu Tumina. “Baik,  Ayah,  Ibu!  Putri  akan  jaga  diri,”  kata  Putri  Pinang  Gading  seraya  berpamitan  kepada  ayah  dan ibunya.Setelah menyiapkan beberapa anak panah yang sudah dibubuhi racun, Putri Pinang Gading berangkat menuju  Kampung  Kelekak  Remban.
 Sesampainya  di  sana,  kampung  itu  tampak  sepi.  Semua  warga sedang bersembunyi di dalam rumah mereka. Putri Pinang Gading juga tidak melihat Burung Gerude itu.“Ke mana Burung Gerude itu? Aku sudah tidak sabar lagi ingin membinasakannya,” gumam Putri Pinang Gading yang sudah siap dengan anak panah di tangannya.Baru saja selesai bergumam, tiba-tiba ia mendengar suara burung yang sangat keras. Suara itu tidak lain adalah suara Burung Gerude. Burung itu terbang ke sana ke mari di atas rumah-rumah penduduk sedang mencari mangsa. Sesekali iamengobrak-abrik rumah penduduk. Namun, burung itu tidak menyadari jika Putri Pinang Gading sedang memperhatikan gelagaknya dari balik sebuah pohon besar.Putri Pinang Gading yang sudah siap dengan anak panah di tangannya tinggal menunggu saat yang tepat untuk meluncurkan anak panahnya. Pada saat Burung Gerude itu lengah, dengan cepat ia melepaskan anak  panahnya.  Anak  panah  itu  meluncur  ke  arah  Burung  Gerude  itu  dan  tepat  mengenai  dadanya. Burung Gerude itu pun jatuh ke bumi dan tewas seketika.
Para  warga  yang  menyaksikan  peristiwa  itu  melalui  cela-cela  rumah,  keluar  dari  rumah  mereka  dan segera  mengerumuni  Burung  Gerude  yang  sudah  mati  itu.  Mereka  sangat  kagum  melihat  keberanian Putri  Pinang  Gading.  Akhirnya,  kampung  itu  terbebas  dari  ancaman  bahaya  serangan  Burung Gerude. Untuk merayakan keberhasilan itu, para warga mengadakan pesta besar-besaran dengan mengundang Putri Pinang Gading.Konon, tempat jatuhnya Burung Geruda itu berubah menjadi tujuh buah anak sungai. Sementera anak panah Putri Pinang Gading yang mengenai dada Burung Gerude itu tumbuh menjadi serumpun bambu. Suatu  hari,  ada  seorang  nelayan  memotong  bambu  itu  untuk  dijadikan  joran  pancing.  Pada  saat memotong  sebatang  pohon  bambu  itu,  tiba-tiba  tangan  nelayan  itu  tersayat  dan  langsung  meninggal karena bambu itu masih beracun. Oleh masyarakat setempat, bambu itu disebut dengan bulo berantu (bambu beracun). Kemudian kampung itu mereka beri nama Belantu, dari kata buloantu. Namun, dalam perkembangannya, nama Belantu berubah menjadi Membalong yang kini menjadi nama kecamatan di Pulau Belitung.

Terima kasih sudah membaca.

“TAMAT”





No comments:

Post a Comment