Wednesday 25 November 2015

Cerita Rakyat Bangka Belitung


“Cerita Layang”
Cerita Rakyat Bangka Belitung



Di  Negeri  Tanjung  Pandan,  Provinsi  Bangka-Belitung, Indonesia,  hiduplah  dua  orang  hulubalang  kakak beradik.  Sang  Kakak  bernama  Ratu  Tunggak  Rantau Sawangan  Ramas,  penguasa  Negeri  Tanjung  Pandan.Sementara  sang  Adik  bernama  Cerita  Layang  yangmasih berumur sepuluh tahun, mahir bermain silat dan gemar menolong. Pada suatu hari, entah alasan apa, Cerita Layang pergiberkelana  tanpa  memberitahukan  kakaknya,  Ratu Tunggak. Setelah bertahun-tahun di  perantauan, ia pun tumbuh  menjadi  pemuda  yang  tampan  dan  gagah. Suatu  sore,  ia  sedang  duduk  bersandar  pada  pohon nyiur sambil menikmati semilir angin senja Pantai Ujung Tanjung  di  Pulau  Rencong.  Di  wajahnya  terpancar  sejuta kerinduan ingin pulang ke kampung halamannya. Di saat sedang tenggelam dalam lamunannya, tiba-tiba pandangannya tertuju pada sebuah kapal yang akan menuju ke arah hulu Ketahun. “Hai, bukankah itu kapal milik Pangeran Cilibumi Aceh?” gumamnya. “Wah, orang serakah itu pasti mau pergi menagih hutang lagi.” Setelah yakin bahwa kapal itu milik Pangeran Cili Aceh, Cerita Layang langsung beranjak dari duduknya hendak mencegat laju kapal itu. Ia sangat mengenal watak Pangeran Cili. Konon, Pangeran dari Aceh itu memiliki  sifat  licik,  yaitu  suka  menghabisi  nyawa  orang-orang  yang  tidak  sanggup  membayar  hutang kepadanya  dengan  cara  menaburi  racun  dalam  makanan  mereka.  Mengetahui  gelagat  Pangeran  itu, Cerita Layang pun segera mengayuh perahunya yang ditambatkan di tepi laut untuk mencegat kapal itu. “Hai, Pangeran Cili! Sebaiknya engkau urungkan niat jahatmu itu!” seru Cerita Layang. “Engkau adalah Pangeran  yang  tamak  terhadap  harta  benda.  Sebaiknya  engkau  serahkan  saja  sebagian  hartamu kepadaku!” Mendengar seruan itu, Pangeran Cili langsung naik pitam. Ia tidak terima disebut sebagai orang tamak. Dengan lantangnya, ia berteriak menantang Cerita Layang untuk bertarung.
“Hai,  Cerita  Layang!  Selama  aku  masih  bisa  menghembuskan  nafas,  semua  harta  bendaku  akan kupertahankan.  Tapi,  jika  kamu  berhasil  mengalahkanku  dan  seluruh  anak  buahku,  kamu  boleh mengambil sebagian harta bendaku,” tantang Pangeran Cili. Tanpa  berpikir  panjang,  Cerita  Layang  langsung  menerima  tantangan  itu.  Ia  pun  segera  merapat  dan naik  ke  atas  kapal  Pangeran  Cili.  Melihat  Cerita  Layang  berada  di  atas  kapal,  Pangeran  Cili  segera memerintahkan seluruh anak buahnya untuk mengepung sang Pengelana itu. “Pengawal! Ayo kepung pemuda tolol itu!” seru Pangeran Cili. “Jangan biarkan dia lolos dari tempat ini!” Mendengar perintah tuannya, puluhan anak buah kapal segera mengepung Cerita Layang. Pertempuran sengit pun tak terelakkan lagi. Mereka menyerang Cerita Layang dengan pukulan dan tendangan secara bergantian. Pemuda  gagah  dari  Tanjung Pandan  itu  harus berkelit  ke  sana  kemari  untuk  menghind ari serangan musuh yang datang secara bertubi-tubi. Dengan kesaktiannya, ia dapat mengalahkan seluruh anak  buah  Pangeran  Cili.  Satu  per  satu  mereka  terlempar  ke  laut  dan  tewas  tenggelam.  Kini,  hanya Pengeran Cili yang tersisa.“Hai, Pangeran tamak! Kembalilah ke negerimu!” seru Cerita Layang.“Aku  akui  kamu  hebat,  Cerita  Layang!  Meskipun  kamu  telah  mengalahkan  semua  anak  buahku  yang tidak  becus  itu,  tapi  kamu  takkan  mungkin  mengalahkanku. Majulah  kalau  berani!”  tantang  Pangeran
Cili. Pertarungan sengit pun terjadi. Pertarungan itu tampak seimbang. Rupanya, Pangeran Cili juga sangat mahir  bermain  silat.  Keduanya  silih  berganti  saling  menyerang.  Sudah  empat  belas  hari  empat  belas malam pertempuran itu berlangsung, namun belum satu pun yang terkalahkan. Pada hari kelima belas,
Pangeran  Cili  sudah  mulai  kelelahan,  sedangkan  Cerita  Layang  masih  tampak  segar  bugar.  Pada  saat yang  tepat,  Cerita  Layang  melayangkan  sebuah  tendangan  keras  dan  tepat  mengenai  rahang  kanan Pangeran Cili. Tak ayal lagi, sang Pangeran pun jatuh tersungkur mencium lantai kapal dan tak mampu lagi melanjutkan pertarungan. “Engkau memang sakti, Cerita Layang! Aku mengaku kalah,” kata Pangeran Cili. Setelah itu, Pangeran Cili pun menyerahkan sebagian harta kekayaannya kepada Cerita Layang berupa  tujuh buah  gedung yang berada di  Kolam  Hulu dan Kolam  Hilir,  bermacam -macam  mata uang  ringgit, seperiuk  intan,  serta  dua  puluh  satu  karung  emas  kepada  Cerita  Layang.  Namun,  Cerita  Layang  tidak mengambil  sepersen  pun  dari  harta  benda  tersebut,  melainkan  mengembalikannya  kepada  Pangeran Cili. “Hai,  Pangeran  Cili!  Ambillah  kembali  harta  bendamu  itu  sebagai  tebusan  atas  seluruh  hutang orang orang yang berhutang kepadamu. Tapi, ingat! Kamu tidak boleh lagi kembali menagih hutang, apalagi menghabisi nyawa mereka!” ujar Cerita Layang.
“Baiklah, Cerita Layang! Aku berjanji tidak akan menagih hutang kepada mereka?” ucap Pangeran Cili.
Setelah  itu,  Cerita  Layang  kembali  melanjutkan  perjalanan  untuk  mengelana  dari  satu  pulau  ke  pulau  yang lain. Ketika ia sampai di sebuah ujung pulau, tampak dua buah rejung (kapal) yang hendak menepi. Rupanya, pemilik kedua rejung tersebut adalah rentenir juga. Mereka adalah Malim Kumat dan Malim Pantap.  Alangkah  terkejutnya  Cerita  Layang  setelah  menyelidiki  isi  kedua  kapal  itu.  Ia  melihat  banyak benda-benda berharga milik  Kerajaan  Tanjung Pandan  yang sangat dikenalinya.  Ia  yakin  bahwa  kedua rentenir tersebut baru pulang dari menagih hutang di Negeri Tanjung Pandan. Selain itu, Cerita Layang juga  melihat  dua  remaja  yang  sedang  di  tawan  di  atas  kapal  itu.  Namun,  ia  tidak  mengetahui  bahwa mereka  adalah  keponakannya  sendiri,  yaitu  Sindiran  Dewa  dan  Dewa  Pasindiran,  putra  Ratu  Tunggak atau kakak kandungnya. Sebab, kedua anak tersebut belum lahir ketika ia meninggalkan Negeri Tanjung Pandan. “Wahai, Para Rentenir! Sebaiknya, kembalikan semua harta tersebut ke Kerajaan Tanjung Pandan, dan lepaskan kedua anak itu!” seru Cerita Layang. Kedua  rentenir  tersebut  tidak  menghiraukan  seruan  Cerita  Layang.  Mereka  justru  menantang  Cerita Layang untuk mengadu kekuatan. Akhirnya, pertarungan sengit pun terjadi antara Cerita Layang dengan kedua  rentenir  itu  beserta  anak  buahnya.  Pertarungan  itu  berlangsung  selama  berhari -hari  dan  pada akhirnya dimenangkan oleh Cerita Layang. Sementara  itu,  Sindiran  Dewa  dan  Dewa  Pasindiran  dapat  meloloskan  diri  dan  lari  masuk  ke  dalam hutan  pada  saat  pertempuran  itu  berlangsung.  Di  tengah  hutan,  mereka  bersepakat  berpisah  untuk mengadu nasib sendiri-sendiri. Sindiran Dewa berlari menuju ke arah Muara Bengkulu dan menetap di sana. Menurut  cerita,  ia  diangkat  menjadi  anak dan diajari  ilmu  bela  diri  oleh  seorang hulubang  yang
bernama Hulubalang Anak Dalam Wirodiwongso. Pada suatu hari, Sindiran Dewa mendengar kabar bahwa negerinya, Tanjung Pandan, hancur diserang oleh  Pangeran  Cili.  Rupanya,  pengaren  dari  Aceh  itu  belum  juga  jera  setelah  dikalahkan  oleh  Cerita  Layang. Ia menawan ayah dan kakak perempuan Sindiran Dewa yang bernama Item Manis. Mendengar kabar  tersebut,  Sindiran  Dewa  memohon  izin  kepada  ayah  angkat  sekaligus  gurunya  untuk  pergi menyelamatkan ayahanda dan kakaknya yang di tawan oleh Pangeran Cili di Negeri Aceh. Sindiran Dewa berlayar ke Negeri Aceh dengan menggunakan rejung. Setibanya di sana, ia menyelinap masuk ke kediaman Pangeran Cili untuk melepaskan ayahanda dan kakaknya, dan kemudian membawa mereka ke rejung yang ditambatkan di tepi laut. Begitu ia hendak mengayuh rejungnya meninggalkan Negeri Aceh, tiba-tiba Pangeran Cili muncul dari balik semak-semak bersama dua anak buahnya. “Hai, Anak Muda!  Siapa kamu? Berani sekali kamu membawa lari tawananku. Ayo, kembalikan mereka kepadaku!” seru Pangeran Cili. “Ketahuilah, hai pangeran licik! Aku ini putra Ratu Tunggak dari Kerajaan Tanjung Pandan! Jika kamu ingin  mengambil  tawananmu  ini,  langkahi  dulu  mayatku!”  tantang  Sindiran  Dewa  seraya  melompat turun dari rejungnya.
“Dasar anak ingusan! Berani sekali kamu mengantarkan nyawamu kemari! Ayo majulah kalau berani!” seru Pangeran Cili. Pertarungan  sengit  pun  terjadi.  Sindiran  Dewa  dikeroyok  oleh  Pangeran  Cili  bersama  dua  orang  anak buanya. Baru saja pertarungan itu dimulai, tiba-tiba Dewa Pesindiran muncul membantu kakaknya. Tak berapa  lama  kemudian,  Cerita  Layang  yang  kebetulan  lewat  di  tempat  kejadian  itu  ikut  membantu kedua  putra  Ratu  Tanjung  Pandan  tersebut.  Akhirnya  pertarungan  semakin  seru,  satu  melawan  satu. Sindiran  Dewa  dan  adiknya  melawan  kedua  anak  buah  Pangera  Cili,  sedangkan  Cerita  Layang berhadapan langsung dengan Pangeran Cili. “Oh  kamu  lagi,  hai  Pangeran  Cili!  Rupanya  kamu  telah  lupa  pada  janjimu  dulu  untuk  tidak  menjadi rentenir lagi!” seru Cerita Layang. “Ketahuilah,  hai  Cerita  Layang!  Gara-gara  kamu,  aku  menjadi  bangkrut.  Jadi,  aku  terpaksa  kembali
menjadi rentenir,” kata Pangeran Cili. Cerita Layang merasa bahwa Pangeran Cili tidak bisa diberi ampun lagi. “Dasar orang serakah! Terimalah pukulanku ini!” seru Cerita Layang seraya melepaskan sebuah pukulan keras dan cepat ke dada Pangeran Cili. Pangeran Cili pun tidak mampu lagi menghindar. Ia terpelanting jauh dan jatuh tersungkur di   tanah dan tewas  seketika.  Melihat  pangeran  dari  Aceh  tidak  bergerak  lagi,  Cerita  Layang  segera  membantu Sindiran  Dewa  dan  Dewa  Pesindiran.  Dalam  waktu  singkat,  mereka  pun  berhasil  mengalahkan  kedua anak  buah  Pangeran  Cili  tersebut.  Setelah  itu,  suasana  menjadi  hening.  Cerita  Layang  dan  kedua pangeran dari Tanjung Pandan itu saling berpandangan. Meskipun belum saling mengenal, hati mereka terasa sangat dekat. “Hai, anak muda! Siapa kalian dan berasal dari mana?” tanya Cerita Layang.
“Kami adalah putra Ratu Tunggak dari Kerajaan Tanjung Pandan,” jawab Sindiran Dewa. Cerita  Layang  langsung  tersentak  kaget.  Ia  hampir  tidak  percaya  dengan  apa  yang  dikatakan  Sindiran Dewa. “Apa katamu? Kalian putra Ratu Tunggak?” Cerita Layang kembali bertanya. “Benar, Tuan! Apakah Tuan mengenal ayahanda kami?” sahut Dewa Pesindiran. Tanpa  sepatah  kata  pun  keluar  dari  mulutnya,  Cerita  Layang  langsung  merangkul  Sindiran  Dewa  dan
Dewa  Pesindiran.  Tak  terasa  air  matanya  mengalir  karena  terharu  dapat  bertemu  dengan keponakannya. Sindiran Dewa dan adiknya pun terheran-heran melihat sikap Cerita Layang. “Maaf, Tuan! Kenapa Tuan menangis dan memeluk kami seperti ini?” tanya Sindiran Dewa heran. Mendengar pertanyaan itu, Cerita Layang perlahan-lahan melepaskan pelukannya.
“Ketahuilah, wahai anak-anakku! Aku ini paman kalian. Aku Cerita Layang, adik kandung ayah kalian,” ungkap Cerita Layang. Mendengar  keterangan  itu,  Sindiran  Dewa  dan  adiknya  pun  tak  kuasa  membendung  air  matanya. Mereka ikut terharu dan gembira karena telah bertemu dengan paman mereka yang telah menghilang selama puluhan tahun. “Maafkan kami, Paman! Kami tidak mengerti sama sekali bahwa orang yang selama ini menyelamatkan kami dari perbuatan jahat Pangeran Cili adalah Paman,” ucap Sindiran Dewa. “Tidak  apa-apa,  anak-anakku!  Lupakanlah  semua  kejadian  itu.  Mana  ayahanda  kalian?”  tanya  Cerita Layang. “Ayahanda ada di atas rejung bersama Kak Itam Manis, Paman!” jawab Dewa Pesindiran. Sindiran Dewa dan adiknya pun mengajak sang Paman menemui ayahanda dan kakak mereka. Betapa senangnya  hati  Ratu  Tunggak  bertemu  kembali  dengan  adik  kandungnya,  Cerita  Layang.  Mereka  pun saling berpelukan dalam suasana penuh haru. Akhirnya, Cerita Layang bersama kakak dan ketiga ponakannya kembali ke Negeri Tanjung Pandan. Sejak itu,  Cerita  Layang  memutuskan  tinggal  di  Negeri  Tanjung  Pandan  untuk  membantu  kakaknya  menata kembali  kerajaan  yang telah  diporak-porandakan  oleh Pangeran  Cili. Setelah  suasana  kembali  normal, Pangeran  Sindiran  Dewa  dinobatkan  menjadi  raja  dan  Cerita  Layang  diangkat  menjadi  penasehat kerajaan.  Cerita  Layang  pun  hidup  berbahagia  bersama  kakak  dan  ketiga  keponakannya  di  istana Tanjung Pandan.

Terima kasih sudah membaca.

“TAMAT”






No comments:

Post a Comment