“Legenda Panglima Angin”
Cerita Rakyat Bangka
Belitung
Di daerah
Mentok, Bangka Barat,
hiduplah seorang lakilaki
bernama Abang Daud.
Kerjanya setiap hari
hanya membuat kekacauan di
mana-mana, seperti mencuri
dan merampas barang milik orang lain. Pada suatu
hari, Abang Daud
menunggu warga yang membawa
hasil kebunnya untuk
di jual ke
pasar. Setelah beberapa saat
menunggu, tampaklah dari
kejauhan seorang laki-laki setengah baya sedang memikul keranjang berisi
sayur-sayuran dan buah-buahan.“Hmmm...
ini dia yang
kutunggu-tunggu! Aku akan mengambil barang-barang si tua bangka
itu dari belakang. Pasti dia tidak akan tahu!” gumam Abang Daud. Setelah beberapa
jauh orang tua
itu melewati tempat
persembunyiannya, secara diam-diam
Abang Daud membuntutinya sambil
berjingkat-jingkat. Ia hendak
mengambil buah-buahan yang
ada di keranjang belakang
orang tua itu.
Namun tanpa disadarinya,
ternyata orang tua
itu adalah seorang pendekar silat
yang berilmu tinggi, bernama
Long Guan yang
terkenal dengan panggilan
Apek Long Guan. Banyak orang yang
datang berguru kepadanya.Menyadari ada orang yang mengikutinya, Apek Long Guan
langsung membentak:“Hai, jangan main-main!” Alangkah terkejutnya
Abang Daud mendengar
bentakan itu, apalagi
ketika orang tua
itu menoleh kepadanya. Ternyata
orang tua itu adalah Pek Long Guan, guru silat yang cukup disegani di Mentok. “Oh, maaf
Pek Long! Bagaimana
Pek Long dapat
mengetahui kalau saya
ada di belakang
Pek Long? Apakah Pek Long
mempunyai ilmu batin?” tanya Abang Daud. “Tidak... Tidak...! Aku
tidak mempunyai ilmu apa-apa. Aku
hanya menebak-nebak saja, dan
kebetulan tebakanku benar,” jawab Pek Long Guan sambil terus berlalu
tanpa menghiraukan Abang Daud. Namun, Abang Daud terus membuntutinya. “Tidak
usah berbohong Pek Long! Pek Long pasti mempunyai ilmu batin. Saya mohon
ajarkanlah kepada saya Pek Long!” pinta Abang Daud.
Setelah beberapa
kali Abang Daud
memohon barulah Pek
Long Guan mengaku
bahwa dia memang mempunyai ilmu batin. Ia pun bersedia
mengajarkan ilmunya, asalkan Abang Daud mau memenuhi satu syarat. “Baiklah, Abang Daud!
Aku bersedia mengajarimu
asalkan kamu mau
merubah perilakumu yang
suka membuat kekacauan di desa ini,” ujar Pek Long Guan.
“Baiklah, Pek Long! Aku berjanji tidak akan membuat
kekacauan lagi,” kata Abang Daud berjanji.
“Kalau
begitu, datanglah besok
ke rumah!” kata
Pek Long seraya
melanjutkan perjalanan menuju
ke pasar. Keesokan harinya, pagi-pagi
sekali, Abang Daud
pergi ke rumah
Pek Long Guan.
Saat ia memasuki pekarangan rumah
Pek Long Guan,
tampaklah sejumlah murid-murid
Pek Long Guan
sedang berlatih ilmu silat dan
batin. “Wah, ternyata Pek
Long mempunyai banyak
murid. Kenapa tidak
dari dulu aku
berguru kepada Pek Long?” gumamnya dengan perasaan menyesal.
Melihat kedatangan Abang
Daud, Pek Long
Guan segera menyuruhnya
duduk untuk diberikan pengarahan.
Setelah itu, Abang
Daud pun ikut
berlatih bersama murid-murid
Pek Long Guan
lainnya. Sejak itu, ia menjadi murid Pek Long Guan. Ia termasuk murid
yang cerdas dan dapat memahami dan
menguasai jurus-jurus yang
diajarkan kepadanya dengan
sempurna. Tak heran,
jika Pek Long
Guan sangat menyayanginya dan rela memberikan semua ilmu yang
dimilikinya. Setelah menguasai semua
ilmu yang diberikan
oleh Pek Long
Guan, Abang Daud
berpamitan kepada gurunya hendak
merantau ke tanah
Tanah Melayu (Palembang, Sumatra Selatan)
untuk memperbaiki hidupnya. “Terima
kasih, Guru! Ilmu yang guru berikan akan saya gunakan untuk kebaikan,” ucap
Abang Daud. “Aku pun berharap
demikian, Muridku,” kata
Pek Long Guan
seraya berpesan kepada
Abang Daud dengan untaian pantun
dan syair seperti berikut ini:
wahai ananda hamba bermanat,
simak olehmu petuah amanah
peganglah dengan hati yang bulat
semoga Tuhan memberimu berkah
maka seperti kata orang tua-tua:
sebelum melangkah pegang petuah
sebelum berjalan amanah dipadan
untuk bekal anak berjalan
manfaatkan ilmu pada yang terpuji
menjaga diri membela negeri
manfaatkan ilmu pada yang patut,
supaya tak sia-sia anak menuntut
ilmu jangan dipermain-mainkan
pantang sekali dilagak-lagakkan
ilmu jangan disia-siakan,
amalkan olehmu pada kebajikan
berbuat baik engkau kekalkan
tolong menolong engkau utamakan
tiru olehmu ilmu padi,
semakin merunduk semakin berisi
Setelah
berjanji untuk melaksanakan
semua nasehat gurunya,
Abang Daud pun
berlayar ke Tanah Melayu
dengan menumpang kapal
milik Haji Ali
dari Mentok. Selama
di perjalanan, Haji
Ali pun senantiasa memberinya
nasehat. “Wahai, Abang Daud! Sesampainya di TanahMelayu, kamu harus
pandai-pandai menjaga mulut, karena adat penduduk di sana berbeda dengan adat
kita di kampung,” pesan Haji Ali.“Apakah itu, Pak Haji?” tanya Abang Daud
penasaran.
“Jika
kamu mendengar ayam
berkokok tiga kali
berturut-turut bukan pada
waktunya, jangan kamu jawab! Jika kamu menjawabnya, berarti
kamu telah melawan adat Tanah Melayu. Sebagai hukumannya, kamu harus bertarung
melawan Panglima Tanah Melayu,” ujar Haji Ali. “Oh, begitu!” kata Abang Daud
sambil tersenyum. Setelah berhari-hari berlayar mengarungi lautan luas, tibalah
mereka di Tanah Melayu bersamaan waktu magrib. Saat mereka menginjakkan kaki di
pelabuhan, terdengarlah suara ayam jantan berkokok tiga kali berturut-turut.
Tanpa disadarinya, Abang Daud menjawab kokokan ayam
tersebut.“Kokkokokkooo...!!!” demikian suara Abang Daud.
Rupanya, jawaban kokokan ayam
Abang Daud terdengar oleh mata-mata Raja Palembang yang sedang berjaga-jaga di
Pelabuhan. Mata-mata itu pun segera melaporkan hal itu kepada Raja. “Ampun,
Baginda! Hamba mendengar suara ayam jantan
yang baru saja berlabuh di pelabuhan,” lapor mata-mata itu. “Pengawal! Carilah
ayam jantan dari
negeri seberang itu
yang telah berani
menantang adat Tanah Melayu!” perintah sang Raja. Mendengar
perintah tersebut, beberapa pengawal istana segera menuju ke pelabuhan untuk mencari ayam jantan
itu, dan membawanya
ke istana untuk
dihadapkan kepada Raja.
Tak berapa lama
kemudian, para pengawal itu pun kembali bersama
Abang Daud. “Hai, orang asing! Siapa kamu ini, berani-beraninya menentang adat
negeri ini?” tanya Raja Palembang dengan nada membentak.“Ampun, Baginda!
Hamba seorang perantau
dari Mentok. Orang-orang
memanggilku Abang Daud. Mohon ampun
jika hamba telah
melanggar adat negeri
ini!” Abang Daud
memohon kepada Raja Palembang sambil memberi hormat. “Asal
kamu tahu saja, Abang Daud! Siapa pun yang melanggar adat negeri ini, maka ia
harus menerima hukuman, yaitu bertarung melawan Panglima Tanah Melayu,” ujar
Raja Palembang. “Ampun, Baginda! Hamba bersedia menerima hukuman ini. Tapi,
berilah hamba waktu tiga hari untuk memulihkan tenaga terlebih dahulu. Hamba
sangat kelelahan setelah berhari-hari berlayar terombangambing di tengah laut,”
pinta Abang Daud. Setelah berunding dengan
panglimanya, sang Raja
pun memenuhi permintaan
Abang Daud. Sambil menunggu hari
pertarungan itu tiba,
Abang Daud tinggal
di rumah Haji
Ali. Agar Abang
Daud tidak melarikan diri kembali
ke negerinya di Mentok, Raja Palembang mengutus beberapa orang pengawalnya
untuk berjaga-jaga di sekitar rumah Haji Ali. Pada malam harinya, usai makan
malam, juragan kapal itu berbincang-bincang dengan Abang Daud. “Hai, Abang Daud!
Aku sudah berkali-kali menasehatimu, tapi kamu tetap
saja melanggar adat negeri ini.
Akhirnya, kamu terima sendiri akibatnya,” ujar Haji Ali. “Tidak usah khawatir,
Pak Haji! Semoga saja saya bisa mengatasi masalah ini sendiri. Saya mohon maaf
jika telah merepotkan Pak Haji,” kata Abang Daud dengan tenangnya. Pada hari
yang telah ditentukan, Abang
Daud datang menghadap
sang Raja untuk menepati
janjinya. Tak ketinggalan pula
Haji Ali bersama
warga Mentok lainnya ikut
serta ke istana Kerajaan
Palembang untuk menyaksikan pertarungan
tersebut. Sebagai sesama
orang Mentok, mereka senantiasa memberikan semangat dan dukungan
kepada Abang Daud agar selamat dari kematian.
Saat rombongan
Abang Daud memasuki
halaman istana, tampak
seluruh keluarga istana
dan para pengawal Raja telah
memadati sekitar arena pertarungan yang telah disiapkan. Sesekali terdengar
suara ejekan dari para penonton yang
meremehkan kemampuan Abang Daud. “Ah,
orang itu kemari
hanya untuk mengantarkan
nyawa. Dia pasti
akan mati terkapar
di atas arena melawan Panglima Tanah Melayu,” ucap
seorang pengawal. Sementara itu, saat
melihat kedatangan Abang
Daud, Raja Palembang
segera memerintahkan
hulubalangnya untuk menyediakan berbagai jenis
senjata dan menyuruh Abang Daud memilih senjata yang dikehendakinya. Namun,
Abang Daud menolak tawaran itu. “Ampun, Baginda! Hamba tidak terbiasa
menggunakan senjata dalam bertarung, kecuali taji ayam ini,” kata Abang Daud
sambil menunjukkan taji ayamnya.“Baiklah, kalau itu pilahanmu. Pertarungan akan
segera dimulai. Apakah kamu sudah siap, wahai Abang Daud?” tanya Raja Palembang
meyakinkan Abang Daud. “Hamba siap, Baginda!” jawab Abang Daud seraya berjalan
menuju ke arena yang telah disediakan di
halaman istana. Ketika kedua petarung itu berada di atas arena, Raja Haji
bersama rombongannya dari Mentok semakin cemas
akan menyaksikan pertarungan
itu. Lain halnya
dengan seluruh masyarakat
Tanah Melayu, mereka bersorak
gembira sambil terus
merendahkan Abang Daud.
Mereka yakin bahwa
panglima merekalah yang akan memenangkan pertarungan itu. “Hai, Abang
Daud! Berdoalah sebelum nyawamu melayang!” celetuk salah seorang penonton dari
Tanah Melayu. “Iya, Abang Daud!
Berpesanlah kepada orang-orang Mentok
sebelum kamu mati
sia-sia di tangan Panglima kami!” tambah seorang
penonton lainnya dari Tanah Melayu.
Abang
Daud hanya tersenyum
mendengar ejekan-ejekan yang
dilontarkan kepadanya. Beberapa
saat kemudian, pertarungan pun
dimulai. Panglima Tanah
Melayu mengawali pertarungan
itu dengan terlebih dahulu menyerang,
sedangkan Abang Daud hanya menangkis dan menghindar dari serangan serangan yang
datang secara bertubi-tubi. Berkali-kali Panglima Tanah Melayu melancarkan
serangan, berkali-kali pula Abang Daud dapat berkelit dan menghindarinya.
Ketika melihat Panglima Tanah Melayu mulai
kelelahan, Abang Daud
berbalik menyerang. Hanya
dengan beberapa jurus
saja, Abang Daud berhasil menusukkan taji ayamnya tepat
pada lambung kiri Panglima Tanah Melayu. Seketika itu pula, Panglima kebanggaan
Tanah Melayu itu jatuh terkapar tak sadarkan diri. Seluruh masyarakat
Tanah Melayu yang
menyaksikan pertarungan itu
terkejut, terutama Raja Palembang. Sang
Raja benar-benar tidak
pernah mengira sebelumnya
bahwa Abang Daud
adalah pendekar yang sangat
tangguh dan sakti.
Sedangkan masyarakat Mentok
yang semula hanya
terdiam diselimuti perasaan cemas,
tiba-tiba berteriak kegirangan
menyaksikan kemenangan pendekar
yang berasal dari tanah
kelahiran mereka. Sebagai
Raja yang arif
dan bijaksana, Raja
Palembang pun mengangkat Abang
Daud menjadi Panglima Tanah Melayu dengan gelar Panglima Angin. Sejak itu, Panglima
Tanah Melayu dari
Mentok tersebut tinggal di
istana Kerajaan Palembang dengan
kehidupan serba mewah. Namanya pun semakin terkenal hingga ke berbagai negeri.
Ia sangat disegani oleh masyarakat Tanah Melayu.
Rupanya, pangkat, jabatan,
dan ketenaran itu
membuatnya lupa diri, penyakitnya
mulai kambuh lagi. Ia selalu membuat kekecauan di mana-mana. Raja Palembang pun
tidak bisa berbuat apa-apa. Pada suatu ketika, Abang Daud yang bergelar
Panglima Angin itu kembali ke kampung halamannya.
Di kampungnya, perilaku
Panglima Angin semakin
menjadi-jadi, sehingga masyarakat
Mentok menjadi resah. Mendengar
berita tersebut, Tumenggung
Mentok pun segera
memerintahkan warga untuk menangkapnya. Namun, tak satu pun warga
yang mampu mengalahkan kesaktiannya. “Apa
yang harus kita
lakukan Tumenggung?” tanya
seorang warga dengan
risau dalam sebuah pertemuan desa. “Hmmm... aku
kira satu-satunya orang
yang dapat menangkap
Abang Daud adalah
gurunya sendiri. Apakah kalian
mengetahui siapa guru Abang Daud?” Tumenggung Mentok balik bertanya kepada
warga. “Hai, bukankah dia dulu pernah berguru pada Pek Long Guan?” sahut
seorang warga.“Benar, Tumenggung! Dia adalah teman seperguruan saya dulu,”
tambah seorang warga lainnya. Akhirnya, beberapa warga segera memanggil Pek
Long Guan. Tak berapa lama, guru Abang Daud itu pun datang ke pertemuan desa
tersebut. “Maaf, para hadirin!
Sebenarnya saya ragu
untuk bisa menangkap
Abang Daud, karena
saya telah memberikan seluruh
ilmuku kepadanya,” ungkap Pek Long Guan. Setelah didesak
oleh para warga,
Pek Long Guan
pun bersedia membantu
dan segera mencari
akal untuk dapat mengalahkan
kesaktian muridnya itu.
Saat itu pula,
ia tiba-tiba teringat
dengan satu kelemahan Abang Daud.
Dulu, Abang Daud pernah bercerita kepadanya bahwa dia tidak bisa berenang.
Oleh karena itu, ia akan membujuknya untuk
menemaninya mengambil air di sungai. Pada saat itulah, ia akan mendorong Abang
Daud masuk ke dalam sungai.
Keesokan harinya, Pek Long Guan pergi menemui Abang
Daud. Namun, sebelum mengajak ke sungai, ia berusaha membujuk dan menasehati
kembali murid kesayangannya itu.
wahai ananda dengarlah amanah,
kalau hidup peganglah wakil
kalau mati peganglah manat
pegang petuah dengan amanah
7
pegang tunjuk dengan ajarnya
wahai anak dengarlah amanah,
ingat-ingat engkau berjalan
jangan dengar bujukan setan
hawa nafsu jangan turutkan
pertolongan Allah engku mohonkan
hati hati engkau berjalan
petuah amanah jangan lupakan
tunjuk ajar jangan abaikan
ilmu di dada peganglah teguh
Mendapat
nasehat dari gurunya,
Abang Daud bukannya
berterima kasih, tetapi
justru memaki-maki gurunya. “Hentikan
semua omong kosongmu itu Pak Tua! Aku
sudah muak dengan semua nasehatmu!” bentak Abang Daud. “Baiklah, Muridku!
Tidak apa-apa jika
kamu memang tidak
mau mendengar nasehatku
lagi.
Tapi, aku ada
satu permintaan terakhir
darimu. Bersediakah kamu
membantuku mengambil air
di sungai? Persediaan air untuk
memasak dan mandi di rumahku sudah habis,” pinta Pek Long Guan. Rupanya, Abang
Daud mengetahui tipu muslihat Pek Long Guan. Ia pun mencari cara untuk membunuh
gurunya itu. “Aku bersedia membantumu, Pak Tua!
Tapi, kamu harus berjalan di depanku,” kata Abang Daud. Akhirnya, mereka
pun berangkat bersama
ke sungai. Pek
Long Guan berjalan
di depan, sendangkan Abang Daud
mengikutinya dari belakang.
Sesampainya di tepi
sungai, Pek Long
sedikit lengah. Abang Daud pun tidak menyia-nyiakan
kesempatan. Ia pun menendang bokong orang tua itu hingga terpental dan
berguling-guling di tanah.
Karena memiliki kesaktian
tinggi, Pek Long
Guan belum mati.
Ia pun berusaha bangkit sambil
menahan rasa sakit. ”Dasar murid durhaka!
Sampai hatinya kau
berbuat begitu kepada
gurumu ini,” kata
Pek Long Guan dengan perasaan kesal. Dengan sisa
tenaga yang dimilikinya,
Apek Long Guan
berusaha melakukan perlawanan.
Ia mengeluarkan seluruh kemampuan
silatnya. Pada saat
Abang Daud lengah,
ia melayangkan sebuah tendangan keras dan tepat mengenai
tengkuk muridnya itu. Abang Daud pun terpental masuk ke dalam sungai dan
tenggelam. Akhirnya, murid durhaka itu pun menemui ajalnya.
Terima kasih
sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment