Wednesday 25 November 2015

Cerita Rakyat Bangka Belitung

“Legenda Panglima Angin”
Cerita Rakyat Bangka Belitung



Di  daerah  Mentok,  Bangka  Barat,  hiduplah  seorang  lakilaki  bernama  Abang  Daud.  Kerjanya  setiap  hari  hanya membuat  kekacauan  di  mana-mana,  seperti  mencuri  dan merampas barang milik orang lain. Pada  suatu  hari,  Abang  Daud  menunggu  warga  yang membawa  hasil  kebunnya  untuk  di  jual  ke  pasar.  Setelah beberapa  saat  menunggu,  tampaklah  dari  kejauhan seorang laki-laki setengah baya sedang memikul keranjang berisi sayur-sayuran dan buah-buahan.“Hmmm...  ini  dia  yang  kutunggu-tunggu!  Aku  akan mengambil barang-barang si tua bangka itu dari belakang. Pasti dia tidak akan tahu!” gumam Abang Daud. Setelah  beberapa  jauh  orang  tua  itu  melewati  tempat  persembunyiannya,  secara  diam-diam  Abang Daud  membuntutinya  sambil  berjingkat-jingkat.  Ia  hendak  mengambil  buah-buahan  yang  ada  di keranjang  belakang  orang  tua  itu.  Namun  tanpa  disadarinya,  ternyata  orang  tua  itu  adalah  seorang pendekar  silat  yang  berilmu  tinggi,  bernama  Long  Guan  yang  terkenal  dengan  panggilan  Apek  Long Guan. Banyak orang yang datang berguru kepadanya.Menyadari ada orang yang mengikutinya, Apek Long Guan langsung membentak:“Hai, jangan main-main!” Alangkah  terkejutnya  Abang  Daud  mendengar  bentakan  itu,  apalagi  ketika  orang  tua  itu  menoleh kepadanya. Ternyata orang tua itu adalah Pek Long Guan, guru silat yang cukup disegani di Mentok. “Oh,  maaf  Pek  Long!  Bagaimana  Pek  Long  dapat  mengetahui  kalau  saya  ada  di  belakang  Pek  Long? Apakah Pek Long mempunyai ilmu batin?” tanya Abang Daud. “Tidak... Tidak...!  Aku  tidak  mempunyai ilmu  apa-apa. Aku  hanya menebak-nebak  saja,  dan  kebetulan tebakanku benar,” jawab Pek Long Guan sambil terus berlalu tanpa menghiraukan Abang Daud. Namun, Abang Daud terus membuntutinya. “Tidak usah berbohong Pek Long! Pek Long pasti mempunyai ilmu batin. Saya mohon ajarkanlah kepada saya Pek Long!” pinta Abang Daud.
Setelah  beberapa  kali  Abang  Daud  memohon  barulah  Pek  Long  Guan  mengaku  bahwa  dia  memang mempunyai ilmu batin. Ia pun bersedia mengajarkan ilmunya, asalkan Abang Daud mau memenuhi satu syarat. “Baiklah,  Abang Daud!  Aku  bersedia  mengajarimu  asalkan  kamu  mau  merubah  perilakumu  yang  suka membuat kekacauan di desa ini,” ujar Pek Long Guan.
“Baiklah, Pek Long! Aku berjanji tidak akan membuat kekacauan lagi,” kata Abang Daud berjanji.
“Kalau  begitu,  datanglah  besok  ke  rumah!”  kata  Pek  Long  seraya  melanjutkan  perjalanan  menuju  ke pasar. Keesokan  harinya,  pagi-pagi  sekali,  Abang  Daud  pergi  ke  rumah  Pek  Long  Guan.  Saat  ia  memasuki pekarangan  rumah  Pek  Long  Guan,  tampaklah  sejumlah  murid-murid  Pek  Long  Guan  sedang  berlatih ilmu silat dan batin. “Wah,  ternyata  Pek  Long  mempunyai  banyak  murid.  Kenapa  tidak  dari  dulu  aku  berguru  kepada  Pek Long?” gumamnya dengan perasaan menyesal. Melihat  kedatangan  Abang  Daud,  Pek  Long  Guan  segera  menyuruhnya  duduk  untuk  diberikan  pengarahan.  Setelah  itu,  Abang  Daud  pun  ikut  berlatih  bersama  murid-murid  Pek  Long  Guan  lainnya. Sejak itu, ia menjadi murid Pek Long Guan. Ia termasuk murid yang cerdas  dan dapat memahami dan menguasai  jurus-jurus  yang  diajarkan  kepadanya  dengan  sempurna.  Tak  heran,  jika  Pek  Long  Guan sangat menyayanginya dan rela memberikan semua ilmu yang dimilikinya. Setelah  menguasai  semua  ilmu  yang  diberikan  oleh  Pek  Long  Guan,  Abang  Daud  berpamitan  kepada  gurunya hendak  merantau  ke  tanah  Tanah  Melayu  (Palembang, Sumatra  Selatan)  untuk  memperbaiki hidupnya. “Terima kasih, Guru! Ilmu yang guru berikan akan saya gunakan untuk kebaikan,” ucap Abang Daud. “Aku  pun  berharap  demikian,  Muridku,”  kata  Pek  Long  Guan  seraya  berpesan  kepada  Abang  Daud dengan untaian pantun dan syair seperti berikut ini:

wahai ananda hamba bermanat,
simak olehmu petuah amanah
peganglah dengan hati yang bulat
semoga Tuhan memberimu berkah
maka seperti kata orang tua-tua:
sebelum melangkah pegang petuah

sebelum berjalan amanah dipadan
untuk bekal anak berjalan
manfaatkan ilmu pada yang terpuji
menjaga diri membela negeri
manfaatkan ilmu pada yang patut,
supaya tak sia-sia anak menuntut
ilmu jangan dipermain-mainkan
pantang sekali dilagak-lagakkan
ilmu jangan disia-siakan,
amalkan olehmu pada kebajikan
berbuat baik engkau kekalkan
tolong menolong engkau utamakan
tiru olehmu ilmu padi,
semakin merunduk semakin berisi

Setelah  berjanji  untuk  melaksanakan  semua  nasehat  gurunya,  Abang  Daud  pun  berlayar  ke  Tanah Melayu  dengan  menumpang  kapal  milik  Haji  Ali  dari  Mentok.  Selama  di  perjalanan,  Haji  Ali  pun senantiasa memberinya nasehat. “Wahai, Abang Daud! Sesampainya di TanahMelayu, kamu harus pandai-pandai menjaga mulut, karena adat penduduk di sana berbeda dengan adat kita di kampung,” pesan Haji Ali.“Apakah itu, Pak Haji?” tanya Abang Daud penasaran.
“Jika  kamu  mendengar  ayam  berkokok  tiga  kali  berturut-turut  bukan  pada  waktunya,  jangan  kamu jawab! Jika kamu menjawabnya, berarti kamu telah melawan adat Tanah Melayu. Sebagai hukumannya, kamu harus bertarung melawan Panglima Tanah Melayu,” ujar Haji Ali. “Oh, begitu!” kata Abang Daud sambil tersenyum. Setelah berhari-hari berlayar mengarungi lautan luas, tibalah mereka di Tanah Melayu bersamaan waktu magrib. Saat mereka menginjakkan kaki di pelabuhan, terdengarlah suara ayam jantan berkokok tiga kali berturut-turut. Tanpa disadarinya, Abang Daud menjawab kokokan ayam tersebut.“Kokkokokkooo...!!!” demikian suara Abang Daud.
Rupanya, jawaban kokokan ayam Abang Daud terdengar oleh mata-mata Raja Palembang yang sedang berjaga-jaga di Pelabuhan. Mata-mata itu pun segera melaporkan hal itu kepada Raja. “Ampun, Baginda! Hamba mendengar suara ayam jantan  yang baru saja berlabuh di pelabuhan,” lapor  mata-mata itu. “Pengawal!  Carilah  ayam  jantan  dari  negeri  seberang  itu  yang  telah  berani  menantang  adat  Tanah Melayu!” perintah sang Raja. Mendengar perintah tersebut, beberapa pengawal istana segera menuju ke  pelabuhan untuk mencari ayam  jantan  itu,  dan  membawanya  ke  istana  untuk  dihadapkan  kepada  Raja.  Tak  berapa  lama
kemudian, para pengawal itu pun kembali bersama Abang Daud. “Hai, orang asing! Siapa kamu ini, berani-beraninya menentang adat negeri ini?” tanya Raja Palembang dengan nada membentak.“Ampun,  Baginda!  Hamba  seorang  perantau  dari  Mentok.  Orang-orang  memanggilku  Abang  Daud.  Mohon  ampun  jika  hamba  telah  melanggar  adat  negeri  ini!”  Abang  Daud  memohon  kepada  Raja Palembang sambil memberi hormat. “Asal kamu tahu saja, Abang Daud! Siapa pun yang melanggar adat negeri ini, maka ia harus menerima hukuman, yaitu bertarung melawan Panglima Tanah Melayu,” ujar Raja Palembang. “Ampun, Baginda! Hamba bersedia menerima hukuman ini. Tapi, berilah hamba waktu  tiga hari untuk  memulihkan tenaga terlebih dahulu. Hamba sangat kelelahan setelah berhari-hari berlayar terombangambing di tengah laut,” pinta Abang Daud. Setelah  berunding  dengan  panglimanya,  sang  Raja  pun  memenuhi  permintaan  Abang  Daud.  Sambil menunggu  hari  pertarungan  itu  tiba,  Abang  Daud  tinggal  di  rumah  Haji  Ali.  Agar  Abang  Daud  tidak melarikan diri kembali ke negerinya di Mentok, Raja Palembang mengutus beberapa orang pengawalnya untuk berjaga-jaga di sekitar rumah Haji Ali. Pada malam harinya, usai makan malam, juragan kapal itu berbincang-bincang dengan Abang Daud. “Hai,  Abang Daud!  Aku sudah  berkali-kali  menasehatimu, tapi  kamu tetap  saja melanggar  adat negeri ini. Akhirnya, kamu terima sendiri akibatnya,” ujar Haji Ali. “Tidak usah khawatir, Pak Haji! Semoga saja saya bisa mengatasi masalah ini sendiri. Saya mohon maaf jika telah merepotkan Pak Haji,” kata Abang Daud dengan tenangnya. Pada  hari  yang telah  ditentukan,  Abang  Daud  datang  menghadap  sang Raja  untuk  menepati  janjinya. Tak  ketinggalan  pula  Haji  Ali  bersama  warga  Mentok  lainnya ikut  serta ke  istana  Kerajaan  Palembang untuk  menyaksikan  pertarungan  tersebut.  Sebagai  sesama  orang  Mentok, mereka  senantiasa memberikan semangat dan dukungan kepada Abang Daud agar selamat dari kematian.
Saat  rombongan  Abang  Daud  memasuki  halaman  istana,  tampak  seluruh  keluarga  istana  dan  para pengawal Raja telah memadati sekitar arena pertarungan yang telah disiapkan. Sesekali terdengar suara  ejekan dari para penonton yang meremehkan kemampuan Abang Daud. “Ah,  orang  itu  kemari  hanya  untuk  mengantarkan  nyawa.  Dia  pasti  akan  mati  terkapar  di  atas  arena melawan Panglima Tanah Melayu,” ucap seorang pengawal. Sementara  itu,  saat  melihat  kedatangan  Abang  Daud,  Raja  Palembang  segera  memerintahkan
hulubalangnya untuk menyediakan berbagai jenis senjata dan menyuruh Abang Daud memilih senjata yang dikehendakinya. Namun, Abang Daud menolak tawaran itu. “Ampun, Baginda! Hamba tidak terbiasa menggunakan senjata dalam bertarung, kecuali taji ayam ini,” kata Abang Daud sambil menunjukkan taji ayamnya.“Baiklah, kalau itu pilahanmu. Pertarungan akan segera dimulai. Apakah kamu sudah siap, wahai Abang Daud?” tanya Raja Palembang meyakinkan Abang Daud. “Hamba siap, Baginda!” jawab Abang Daud seraya berjalan menuju  ke arena yang telah disediakan di halaman istana. Ketika kedua petarung itu berada di atas arena, Raja Haji bersama rombongannya dari Mentok semakin cemas  akan  menyaksikan  pertarungan  itu.  Lain  halnya  dengan  seluruh  masyarakat  Tanah  Melayu, mereka  bersorak  gembira  sambil  terus  merendahkan  Abang  Daud.  Mereka  yakin  bahwa  panglima merekalah yang akan memenangkan pertarungan itu. “Hai, Abang Daud! Berdoalah sebelum nyawamu melayang!” celetuk salah seorang penonton dari Tanah Melayu. “Iya,  Abang  Daud!  Berpesanlah  kepada orang-orang  Mentok  sebelum  kamu  mati  sia-sia  di  tangan Panglima kami!” tambah seorang penonton lainnya dari Tanah Melayu.
Abang  Daud  hanya  tersenyum  mendengar  ejekan-ejekan  yang  dilontarkan  kepadanya.  Beberapa  saat kemudian,  pertarungan  pun  dimulai.  Panglima  Tanah  Melayu  mengawali  pertarungan  itu  dengan terlebih dahulu menyerang, sedangkan Abang Daud hanya menangkis dan menghindar dari serangan serangan yang datang secara bertubi-tubi. Berkali-kali Panglima Tanah Melayu melancarkan serangan, berkali-kali pula Abang Daud dapat berkelit dan menghindarinya. Ketika melihat Panglima Tanah Melayu mulai  kelelahan,  Abang  Daud  berbalik  menyerang.  Hanya  dengan  beberapa  jurus  saja,  Abang  Daud berhasil menusukkan taji ayamnya tepat pada lambung kiri Panglima Tanah Melayu. Seketika itu pula, Panglima kebanggaan Tanah Melayu itu jatuh terkapar tak sadarkan diri. Seluruh  masyarakat  Tanah  Melayu  yang  menyaksikan  pertarungan  itu  terkejut,  terutama  Raja Palembang.  Sang  Raja  benar-benar  tidak  pernah  mengira  sebelumnya  bahwa  Abang  Daud  adalah pendekar  yang  sangat  tangguh  dan  sakti.  Sedangkan  masyarakat  Mentok  yang  semula  hanya  terdiam diselimuti  perasaan  cemas,  tiba-tiba  berteriak  kegirangan  menyaksikan  kemenangan  pendekar  yang berasal  dari  tanah  kelahiran  mereka.  Sebagai  Raja  yang  arif  dan  bijaksana,  Raja  Palembang  pun mengangkat Abang Daud menjadi Panglima Tanah Melayu dengan gelar Panglima Angin. Sejak itu,  Panglima  Tanah  Melayu  dari  Mentok  tersebut  tinggal di  istana Kerajaan  Palembang dengan kehidupan serba mewah. Namanya pun semakin terkenal hingga ke berbagai negeri. Ia sangat disegani oleh  masyarakat  Tanah Melayu.  Rupanya, pangkat,  jabatan, dan  ketenaran  itu  membuatnya lupa  diri, penyakitnya mulai kambuh lagi. Ia selalu membuat kekecauan di mana-mana. Raja Palembang pun tidak bisa berbuat apa-apa. Pada suatu ketika, Abang Daud yang bergelar Panglima Angin itu kembali ke kampung halamannya.
Di kampungnya,  perilaku  Panglima  Angin  semakin  menjadi-jadi,  sehingga  masyarakat  Mentok  menjadi resah.  Mendengar  berita  tersebut,  Tumenggung  Mentok  pun  segera  memerintahkan  warga  untuk menangkapnya. Namun, tak satu pun warga yang mampu mengalahkan kesaktiannya. “Apa  yang  harus  kita  lakukan  Tumenggung?”  tanya  seorang  warga  dengan  risau  dalam  sebuah pertemuan desa. “Hmmm...  aku  kira  satu-satunya  orang  yang  dapat  menangkap  Abang  Daud  adalah  gurunya  sendiri. Apakah kalian mengetahui siapa guru Abang Daud?” Tumenggung Mentok balik bertanya kepada warga. “Hai, bukankah dia dulu pernah berguru pada Pek Long Guan?” sahut seorang warga.“Benar, Tumenggung! Dia adalah teman seperguruan saya dulu,” tambah seorang warga lainnya. Akhirnya, beberapa warga segera memanggil Pek Long Guan. Tak berapa lama, guru Abang Daud itu pun datang ke pertemuan desa tersebut. “Maaf,  para  hadirin!  Sebenarnya  saya  ragu  untuk  bisa  menangkap  Abang  Daud,  karena  saya  telah memberikan seluruh ilmuku kepadanya,” ungkap Pek Long Guan. Setelah  didesak  oleh  para  warga,  Pek  Long  Guan  pun  bersedia  membantu  dan  segera  mencari  akal untuk  dapat  mengalahkan  kesaktian  muridnya  itu.  Saat  itu  pula,  ia  tiba-tiba  teringat  dengan  satu kelemahan Abang Daud. Dulu, Abang Daud pernah bercerita kepadanya bahwa dia tidak bisa berenang.
Oleh karena itu, ia akan membujuknya untuk menemaninya mengambil air di sungai. Pada saat itulah, ia akan mendorong Abang Daud masuk ke dalam sungai.
Keesokan harinya, Pek Long Guan pergi menemui Abang Daud. Namun, sebelum mengajak ke sungai, ia berusaha membujuk dan menasehati kembali murid kesayangannya itu.

wahai ananda dengarlah amanah,
kalau hidup peganglah wakil
kalau mati peganglah manat
pegang petuah dengan amanah
7
pegang tunjuk dengan ajarnya
wahai anak dengarlah amanah,
ingat-ingat engkau berjalan
jangan dengar bujukan setan
hawa nafsu jangan turutkan
pertolongan Allah engku mohonkan
hati hati engkau berjalan
petuah amanah jangan lupakan
tunjuk ajar jangan abaikan
ilmu di dada peganglah teguh

Mendapat  nasehat  dari  gurunya,  Abang  Daud  bukannya  berterima  kasih,  tetapi  justru  memaki-maki gurunya. “Hentikan semua omong kosongmu itu Pak  Tua! Aku sudah muak dengan semua nasehatmu!” bentak Abang Daud. “Baiklah,  Muridku!  Tidak  apa-apa  jika  kamu  memang  tidak  mau  mendengar  nasehatku  lagi. 
Tapi,  aku ada  satu  permintaan  terakhir  darimu.  Bersediakah  kamu  membantuku  mengambil  air  di  sungai? Persediaan air untuk memasak dan mandi di rumahku sudah habis,” pinta Pek Long Guan. Rupanya, Abang Daud mengetahui tipu muslihat Pek Long Guan. Ia pun mencari cara untuk membunuh
gurunya itu. “Aku bersedia membantumu, Pak Tua! Tapi, kamu harus berjalan di depanku,” kata Abang Daud. Akhirnya,  mereka  pun  berangkat  bersama  ke  sungai.  Pek  Long  Guan  berjalan  di  depan,  sendangkan Abang  Daud  mengikutinya  dari  belakang.  Sesampainya  di  tepi  sungai,  Pek  Long  sedikit  lengah.  Abang Daud pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia pun menendang bokong orang tua itu hingga terpental  dan  berguling-guling  di  tanah.  Karena  memiliki  kesaktian  tinggi,  Pek  Long  Guan  belum  mati.  Ia  pun berusaha bangkit sambil menahan rasa sakit. ”Dasar  murid  durhaka!  Sampai  hatinya  kau  berbuat  begitu  kepada  gurumu  ini,”  kata  Pek  Long  Guan dengan perasaan kesal. Dengan  sisa  tenaga  yang  dimilikinya,  Apek  Long  Guan  berusaha  melakukan  perlawanan.  Ia mengeluarkan  seluruh  kemampuan  silatnya.  Pada  saat  Abang  Daud  lengah,  ia  melayangkan  sebuah tendangan keras dan tepat mengenai tengkuk muridnya itu. Abang Daud pun terpental masuk ke dalam sungai dan tenggelam. Akhirnya, murid durhaka itu pun menemui ajalnya.

Terima kasih sudah membaca.

“TAMAT”







No comments:

Post a Comment