“Pak Udak
dan Gergasi”
Cerita
Rakyat Bangka Belitung
Dahulu,
di daerah Bangka
Belitung, ada seorang
lelaki bernama Pak Udak.
Oleh warga, ia
dianggap sebagai anak dewa
karena kerap mendapat
pertolongan jika tertimpa musibah.
Di suatu pagi,
Pak Udah sedang duduk
bersantai di depan
rumahnya. Datanglah seorang tetangganya yang bernama Pak
Senjaring. “Sedang apa, Pak
Udak?” sapa Pak
Senjaring sambil menepuk pundak
Pak Udak. “Sedang duduk-duduk saja,” jawab Pak Udak, “Ada apa gerangan? Kok pagi-pagi
begini sudah bertamu? Ada yang bisa saya bantu?” Pak Senjaring hanya tersenyum,
lalu menjawab. “Begini, Pak Udak. Dari
pada tidak ada
kerjaan, bagaimana kalau kita
pergi ke kebun
milik Kakek dan Nenek Gergasi untuk mengambil buah duku?”
ajak Pak Senjaring. “Tidak, Ah. Saya takut,” tolak Pak Udak, “Mereka itu
raksasa yang suka memangsa manusia!” “Iya, Pak Udak. Tapi, aku yakin tidak akan
terjadi sesuatu pada kita. Bukankah Pak Udak selalu dilindungi oleh dewa? Dewa
pasti akan melindungi kita,” bujuk Pak Senjaring.
Pak
Udak akhirnya tergoda
oleh bujukan Pak
Senjaring. Mereka pun
segera menyiapkan bekal perjalanan, termasuk
sarau, yaitu keranjang
bertali yang disangkutkan
di punggung. Setelah
dua hari menempuh perjalanan,
mereka pun tiba
di kebun yang
ditumbuhi puluhan pohon
duku yang sedang
berbuah
lebat. Mereka tiba di sana pada hari sudah gelap. Sementara bulan sedang tidak
tampak. Pak Udak mulai sedikit takut. “Apa
yang harus kita lakukan PakSenjaring?” tanya Pak Udah, ‘”Suasana kebun ini
gelap sekali, kita tidak bisa memetik buah duku.” “Kalau begitu, sebaiknya kita
tunggu sampai hampir pagi,” ujar Pak Senjaring. “Tapi, kita harus bangun
sebelum Nenek Gergasi dan suaminya terbangun,” kata Pak Udak. Akhirnya malam
itu, mereka memutuskan untuk beristirahat. Kakek dan Nenek Gergasi sedang terlelap. Suara dengkuran
dua raksasa itu
mirip dengkuran harimau.
Pak Udak dan
Pak Senjaring pun
sulit memejamkan mata.
Saat
pagi mulai menjelang,
Pak Udak dan
Pak Senjaring segera
menuju ke ladang.
Setelah memilih pohon duku yang
berbuah lebat, mereka pun mulai memanjat. “Hati-hati, Pak Udak. Jangan
menimbulkan suara berisik,” bisik Pak Senjaring. “Baik,” jawab Pak Udak. Pak Udak
dan Pak Senjaring
pun mulai memetik
buah duku. Sebentar
saja, sarau Pak
Senjaring telah penuh. Sementara
sarau Pak Udak
baru separuhnya. Rupanya,
duku yang telah
dipetik Pak Udak sebagian besar langsung dimakan.“Pak
Udak, ayo cepat turun! Kita tinggalkan tempat ini!” seru Pak Senjaring.Pak Udak
tidak menghiraukan seruan
Pak Senjaring. Ia
masih terus memakan
buah duku. Karena matahari sudah
mulai terbit, Pak Senjaring segera
bersembunyi ke dalam
semak belukar di pinggir kebun. Ketika bangun
tidur, kedua raksasa
pemilik ladang itu
terkejut melihat banyak
kulit duku yang berserakan di bawah pohon. “Siapa yang
telah mengambil buah duku kita?” tanya Kakek Gergasi. “Lihat di atas pohon
itu!” seru Nenek Gergasi, “Dialah pelakunya.” “Hai, manusia. Cepat turun!”
teriak Kakek Gergasi. Pak Udak yang
berada di atas
pohon menjadi ketakutan.
Seluruh tubuhnya gemetar.
Ia
tidak berani turun, meskipun
Kakek Gergasi sudah berkali-kali menyuruhnya.
Kakek Gergasi yang murka
kemudian mengguncang-guncang
pohon itu hingga
pegangan Pak Udak
terlepas dan tubuhnya
jatuh ke tanah. Kedua raksasa itu segera menghampiri Pak Udak
yang tidak sadarkan diri. Pak Senjaring yang menyaksikan peristiwa tersebut
segera meninggalkan tempat itu dengan berlinang air mata. Ia yakin bahwa
pastilah Pak Udak akan dimangsa oleh kedua raksasa itu. Di kebun duku, kedua
raksasa itu terlihat sedang mengamati Pak Udak yang masih pingsan. “Apa yang
akan kita lakukan pada anak manusia ini?” tanyak Nenek Gergasi.
“Sebaiknya manusia ini kita
pelihara dulu. Nanti setelah
gemuk barulah kita sembelih
untuk dijadikan gulai,” ujar
Kakek Gergasi. Kedua raksasa itu
memasukkan Pak Udak ke dalam kurungan. Setiap hari, Pak Udak diberi
makan yang banyak agar cepat gemuk. Pak
Udak hanya bisa meratapi nasibnya. Ia sering menangis karena teringat pada
anaknya yang akan kehilangan ayahnya. Ketika
Pak Udak sedang
menangis, tiba-tiba anak
pasangan raksasa itu,
si Gerasi, datang menghampirinya. Saat itu, kedua orang
tua si Gerasi sedang tidak ada di rumah mereka.
“Kenapa kamu menangis?” tanya anak
raksasa itu. “Hatiku sedih. Anakku tak lama lagi akan kehilangan ayahnya,”
jawab Pak Udak. Ketika bercerita, Pak
Udak sambil memeragakan
ketika ia menimang-nimang anaknya
sambil menyanyikan lagu-lagu indah. Rupanya, anak raksasa
itu tertarik dan
meminta kepada Pak
Udak agar dirinya ditimang dan
dinyanyikan. “Pak Udak, mau kamu menimang dan menyanyikan tembang-tembang indah
untukku?” pinta Gerasi.
Pak
Udak pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. “Baiklah. Aku menyanggupi
permintaanmu. Tapi, bagaimana aku bisa menimangmu jika aku masih berada di
dalam kurungan ini?” kata Pak Udak. “Tenang, Pak Udak. Aku akan mengeluarkanmu
dari kurungan itu,” kata si Gerasi. Si
Gergasi pun membuka
pintu kurungan itu
dan Pak Udak
pun segera keluar.
Pak Udak kemudian
mencoba
untuk menimang si Gerasi. Meskipun berkali-kali terjerembab karena badan anak
raksasa itu sangat berat, Pak Udak akhirnya berhasil menidurkan Gerasi. Pak
Udak dengan hati-hati memasukkan si Gerasi ke dalam kurungan, lalu segera
meninggalkan tempat itu. Tak lupa ia membawa semua makanan yang tersedia.
Setiba di perkampungan,
Pak Udak disambut
oleh warga dengan
suka cita. Para warga,
terutama Pak Senjaring, amat
heran melihat Pak
Udak mampu meloloskan
diri dari santapan
Nenek dan Kakek Geragasi. “Bagaimana kamu bisa
meloloskan dari diri, Pak Udak?” tanya Pak Senjaring. Pak Udak pun menceritakan
upaya yang telah dilakukannya hingga bisa meloloskan diri. Semua warga
menjadi terharu mendengar
cerita Pak Udak.
Mereka menganggap bahwa
semua itu karena pertolongan dewa.
Mereka pun semakin
semakin percaya bahwa
Pak Udak adalah
anak dewa. Sejak itulah, derajat Pak Udak di mata warga
sekitarnya semakin tinggi dan akhirnya ia pun diangkat menjadi kepala kampung.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment