Wednesday, 25 November 2015

Cerita Rakyat Bangka Belitung


“Pak Udak dan Gergasi”
Cerita Rakyat Bangka Belitung


Dahulu,  di  daerah  Bangka  Belitung,  ada  seorang  lelaki bernama  Pak  Udak.  Oleh  warga,  ia  dianggap  sebagai anak  dewa  karena  kerap  mendapat  pertolongan  jika tertimpa  musibah.  Di  suatu  pagi,  Pak  Udah  sedang duduk  bersantai  di  depan  rumahnya.  Datanglah  seorang tetangganya yang bernama Pak Senjaring. “Sedang  apa,  Pak  Udak?”  sapa  Pak  Senjaring  sambil menepuk pundak Pak Udak. “Sedang duduk-duduk saja,” jawab Pak Udak, “Ada apa gerangan? Kok pagi-pagi begini sudah bertamu? Ada yang bisa saya bantu?” Pak Senjaring hanya tersenyum, lalu menjawab. “Begini,  Pak  Udak. Dari  pada  tidak  ada  kerjaan, bagaimana  kalau  kita  pergi  ke  kebun  milik  Kakek  dan Nenek Gergasi untuk mengambil buah duku?” ajak Pak Senjaring. “Tidak, Ah. Saya takut,” tolak Pak Udak, “Mereka itu raksasa yang suka memangsa manusia!” “Iya, Pak Udak. Tapi, aku yakin tidak akan terjadi sesuatu pada kita. Bukankah Pak Udak selalu dilindungi oleh dewa? Dewa pasti akan melindungi kita,” bujuk Pak Senjaring.
Pak  Udak  akhirnya  tergoda  oleh  bujukan  Pak  Senjaring.  Mereka  pun  segera  menyiapkan  bekal perjalanan,  termasuk  sarau,  yaitu  keranjang  bertali  yang  disangkutkan  di  punggung.  Setelah  dua  hari menempuh  perjalanan,  mereka  pun  tiba  di  kebun  yang  ditumbuhi  puluhan  pohon  duku  yang  sedang
berbuah lebat. Mereka tiba di sana pada hari sudah gelap. Sementara bulan sedang tidak tampak. Pak Udak mulai sedikit takut.  “Apa yang harus kita lakukan PakSenjaring?” tanya Pak Udah, ‘”Suasana kebun ini gelap sekali, kita tidak bisa memetik buah duku.” “Kalau begitu, sebaiknya kita tunggu sampai hampir pagi,” ujar Pak Senjaring. “Tapi, kita harus bangun sebelum Nenek Gergasi dan suaminya terbangun,” kata Pak Udak. Akhirnya malam itu, mereka memutuskan untuk beristirahat. Kakek dan Nenek Gergasi  sedang terlelap. Suara  dengkuran  dua  raksasa  itu  mirip  dengkuran  harimau.  Pak  Udak  dan  Pak  Senjaring  pun  sulit memejamkan mata.
Saat  pagi  mulai  menjelang,  Pak  Udak  dan  Pak  Senjaring  segera  menuju  ke  ladang.  Setelah  memilih pohon duku yang berbuah lebat, mereka pun mulai memanjat. “Hati-hati, Pak Udak. Jangan menimbulkan suara berisik,” bisik Pak Senjaring. “Baik,” jawab Pak Udak. Pak  Udak  dan  Pak  Senjaring  pun  mulai  memetik  buah  duku.  Sebentar  saja,  sarau  Pak  Senjaring  telah penuh.  Sementara  sarau  Pak  Udak  baru  separuhnya.  Rupanya,  duku  yang  telah  dipetik  Pak  Udak sebagian besar langsung dimakan.“Pak Udak, ayo cepat turun! Kita tinggalkan tempat ini!” seru Pak Senjaring.Pak  Udak  tidak  menghiraukan  seruan  Pak  Senjaring.  Ia  masih  terus  memakan  buah  duku.  Karena matahari  sudah  mulai  terbit, Pak Senjaring  segera  bersembunyi  ke  dalam  semak  belukar  di  pinggir kebun. Ketika  bangun  tidur,  kedua  raksasa  pemilik  ladang  itu  terkejut  melihat  banyak  kulit  duku  yang berserakan di bawah pohon. “Siapa yang telah mengambil buah duku kita?” tanya Kakek Gergasi. “Lihat di atas pohon itu!” seru Nenek Gergasi, “Dialah pelakunya.” “Hai, manusia. Cepat turun!” teriak Kakek Gergasi. Pak  Udak  yang  berada  di  atas  pohon  menjadi  ketakutan.  Seluruh  tubuhnya  gemetar. 
Ia  tidak  berani turun,  meskipun  Kakek Gergasi  sudah  berkali-kali  menyuruhnya.  Kakek  Gergasi  yang murka  kemudian mengguncang-guncang  pohon  itu  hingga  pegangan  Pak  Udak  terlepas  dan  tubuhnya  jatuh  ke  tanah.  Kedua raksasa itu segera menghampiri Pak Udak yang tidak sadarkan diri. Pak Senjaring yang menyaksikan peristiwa tersebut segera meninggalkan tempat itu dengan berlinang air mata. Ia yakin bahwa pastilah Pak Udak akan dimangsa oleh kedua raksasa itu. Di kebun duku, kedua raksasa itu terlihat sedang mengamati Pak Udak yang masih pingsan. “Apa yang akan kita lakukan pada anak manusia ini?” tanyak Nenek Gergasi.
“Sebaiknya manusia  ini kita  pelihara  dulu. Nanti  setelah  gemuk  barulah kita  sembelih  untuk  dijadikan gulai,” ujar Kakek Gergasi. Kedua raksasa itu  memasukkan Pak Udak ke dalam kurungan. Setiap hari, Pak Udak diberi makan yang  banyak agar cepat gemuk. Pak Udak hanya bisa meratapi nasibnya. Ia sering menangis karena teringat pada anaknya yang akan kehilangan ayahnya. Ketika  Pak  Udak  sedang  menangis,  tiba-tiba  anak  pasangan  raksasa  itu,  si  Gerasi,  datang menghampirinya. Saat itu, kedua orang tua si Gerasi sedang tidak ada di rumah mereka.
“Kenapa kamu menangis?” tanya anak raksasa itu. “Hatiku sedih. Anakku tak lama lagi akan kehilangan ayahnya,” jawab Pak Udak. Ketika  bercerita,  Pak  Udak  sambil  memeragakan  ketika  ia  menimang-nimang  anaknya  sambil menyanyikan  lagu-lagu  indah. Rupanya, anak  raksasa  itu  tertarik  dan  meminta  kepada  Pak  Udak  agar dirinya ditimang dan dinyanyikan. “Pak Udak, mau kamu menimang dan menyanyikan tembang-tembang indah untukku?” pinta Gerasi.
Pak Udak pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. “Baiklah. Aku menyanggupi permintaanmu. Tapi, bagaimana aku bisa menimangmu jika aku masih berada di dalam kurungan ini?” kata Pak Udak. “Tenang, Pak Udak. Aku akan mengeluarkanmu dari kurungan itu,” kata si Gerasi. Si  Gergasi  pun  membuka  pintu  kurungan  itu  dan  Pak  Udak  pun  segera  keluar.  Pak  Udak  kemudian
mencoba untuk menimang si Gerasi. Meskipun berkali-kali terjerembab karena badan anak raksasa itu sangat berat, Pak Udak akhirnya berhasil menidurkan Gerasi. Pak Udak dengan hati-hati memasukkan si Gerasi ke dalam kurungan, lalu segera meninggalkan tempat itu. Tak lupa ia membawa semua makanan yang tersedia.
Setiba di  perkampungan,  Pak  Udak  disambut  oleh  warga  dengan  suka  cita. Para  warga,  terutama  Pak Senjaring,  amat  heran  melihat  Pak  Udak  mampu  meloloskan  diri  dari  santapan  Nenek  dan  Kakek Geragasi. “Bagaimana kamu bisa meloloskan dari diri, Pak Udak?” tanya Pak Senjaring. Pak Udak pun menceritakan upaya yang telah dilakukannya hingga bisa meloloskan diri. Semua warga menjadi  terharu  mendengar  cerita  Pak  Udak.  Mereka  menganggap  bahwa  semua  itu  karena pertolongan  dewa.  Mereka  pun  semakin  semakin  percaya  bahwa  Pak  Udak  adalah  anak  dewa.  Sejak itulah, derajat Pak Udak di mata warga sekitarnya semakin tinggi dan akhirnya ia pun diangkat menjadi kepala kampung.

Terima kasih sudah membaca.

“TAMAT”





No comments:

Post a Comment