“Kisah Ular
N’Daung”
Cerita Rakyat Bengkulu
Dahulu, di kaki
sebuah gunung di daerah Bengkulu, hiduplah seorang janda tua dengan tiga anak
gadisnya. Dari ketiga anak gadis tersebut, si Bungsulah yang paling rajin
membantu ibu mereka bekerja di ladang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
mereka. Ia juga yang harus memasak sepulang dari ladang. Sementara itu, kedua
kakaknya hanya bermalas-malasan di rumah. Mereka tidak pernah membantu ibu
mereka bekerja di ladang. Suatu hari, sang Ibu sakit keras, tidak mau makan dan
minum. Melihat kondisi ibunya yang parah itu, cepat-cepatlah si Bungsu
memanggil tabib desa. Sang Tabib pun segera memeriksa keadaan perempuan tua
itu. “Maaf, anak-anakku! Sakit yang diderita ibu kalian sudah sangat parah,”
ungkap tabib itu. “Apakah Ibu kami masih dapat disembuhkan, Tuan Tabib?” tanya
si Bungsu dengan cemas. “Iya, Bungsu. Ibu kalian masih bisa sembuh bila diberi
obat khusus,” jawab tabib itu. “Obat khusus apakah itu, Tuan Tabib?” tanya lagi
si Bungsu,“ Barangkali kami dapat mendapatkannya.” “Ibu kalian hanya bisa
disembuhkan dengan ramuan beberapa daun hutan yang dimasak dengan bara gaib,”
jelas tabib itu, “Tapi maaf, saya tidak dapat membantu kalian untuk mendapatkan
bara gaib itu.” “Kenapa, Tuan Tabib?” tanya si Sulung. “Ketahuilah, bara gaib
itu hanya terdapat di gua yang berada di puncak gunung. Namun, gua itu dijaga
oleh seekor ular raksasa yang menyeramkan bernama Ular N’Daung. Ular itu amat
ganas dan buas. Ia akan memangsa setiap orang yang mendekati gua itu,” jelas
sang Tabib. Mendengar keterangan tabib itu, kedua kakak si Bungsu menjadi
ketakutan. “Iih…, sungguh mengerikan! Aku tidak mau naik ke puncak gunung itu,”
kata si Sulung. “Aku pun tidak berani ke sana. Aku tidak mau mati muda!” sahut
kakak si Bungsu yang kedua. Berbeda dengan kedua kakaknya, si Bungsu justru
bertekad ingin ke puncak gunung itu, walaupun ada rasa takut dalam dirinya. Ia
akan melakukan itu demi mendapatkan bara api gaib agar ibunya dapat segera
sembuh.
“Baiklah,
Kakak-kakakku. Jika kalian tidak mau ikut, biarlah saya sendiri yang pergi,”
kata si Bungsu. Setelah memohon restu kepada sang Ibunda tercinta yang sedang
terbaring lemas, si Bungsu pun berangkat dengan menyusuri jalan setapak. Jalan
menuju ke puncak gunung itu cukup terjal dan berbatu. Meskipun demikian, si
Bungsu tetap semangat dan tak kenal lelah. Setiba di puncak gunung, terlihat
oleh si Bungsu sebuah gua yang hampir tertutupi oleh rimbunan dedaunan. Hati
hadis itu mulai diselimuti rasa takut karena suasana di sekitarnya sepi
mencekam. Namun, karena teringat kepada ibunya yang terbaring lemah, ia pun
memberanikan diri untuk mendekati mulut gua itu. Baru beberapa langkah ia
berjalan, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari dalam gua itu. “Hai, suara apa
itu? Apakah suara Ular N’Daung?” gumam si Bungsu seraya mundur selangkah. Benar
perkiraan si Bungsu. Selang beberapa saat kemudian, Ular N’Daung itu tiba-tiba
muncul di mulut gua. ”Hai, gadis cantik! Siapa kamu dan mau apa kamu kemari?”
tanya Ular N’Daung. Alangkah terkejutnya si Bungsu karena ular raksasa itu
ternyata dapat berbicara layaknya manusia. “Ma . . . maaf, Tuan Ular N’Daung
kalau kedatangan saya mengganggu ketenangan Tuan!.” jawab si Bungsu dengan
gugup, “Saya si Bungsu hendak mencari bara gaib untuk mengobati ibu saya yang
sedang sakit keras.” Ular N’Daung menggeliatkan ekornya lalu berkata kepada si
Bungsu. “Aku akan memberikanmu bara gaib itu, tapi dengan syarat kamu harus
menikah denganku,” ujar Ular N’Daung. Mendengar pernyataan Ular N’Daung itu, si
Bungsu menjadi bingung. Dalam hatinya berkata bahwa dirinya tidak mungkin
menikah dengan seekor ular. Namun, demi kesembuhan sang Ibunda tercinta, maka
ia akhirnya menyanggupi persyaratan tersebut. “Baiklah, Tuan Ular N’Daung. Saya
bersedia menikah dengan Tuan setelah ibu saya sehat kembali,” kata si Bungsu.
Ular N’Daung segera masuk ke dalam gua dengan perasaan gembira. Tak lama
kemudian, ia pun kembali dengan membawa sebutir bara gaib. “Bawalah bara gaib
ini! Semoga penyakit ibumu cepat sembuh,” ujar Ular N’Daung seraya menyerahkan
bara gaib itu kepada si Bungsu. “Terima kasih, Tuan Ular N’Daung,” ucap si
Bungsu seraya berpamitan. Si Bungsu segera membawa pulang bara gaib itu. Setiba
di rumah, ia pun disambut oleh sang Tabib dan kedua kakaknya dengan perasaan
heran bercampur gembira. “Hai, Bungsu! Bagaimana caranya kamu bisa selamat dari
Ular N’Daung itu?” tanya sang Tabib heran. Si Bungsu pun menceritakan semua
peristiwa yang dialaminya di puncak gunung hingga ia mendapatkan bara gaib itu.
Kedua kakaknya yang mendengar cerita itu bukannya prihatin kepada si Bungsu
melainkan menyindirnya.
“Ah,
masa manusia menikah dengan ular?” celetuk si Sulung. “Sudahlah! Mestinya
kalian berterima kasih kepada adikmu yang telah mempertaruhkan dirinya demi
memperoleh bara gaib ini,” ujar sang Tabib. Setelah itu, sang Tabib segera
memasak ramuan daun hutan yang telah disiapkan dengan bara gaib. Alhasil, janda
tua itu sehat kembali setelah meminum ramuan tersebut. Ia merasa amat bahagia
begitu mengetahui bahwa dirinya sembuh berkat pengorbanan si Bungsu. “Terima kasih,
Bungsu! Engkau memang anak yang pandai berbakti kepada orang tua. Engkau telah
mengorbankan segalanya demi kesembuhan Ibu,” puji sang Ibu. “Sudahlah, Bu.
Tidak usahlah memuji seperti itu. Yang penting sekarang Ibu sudah kembali
sehat,” kata si Bungsu merendahkan diri. Keesokan harinya, si Bungsu pun
berpamitan kepada ibu dan kedua kakaknya untuk kembali ke puncak gunung.
Suasana haru pun menyelimuti hati keluarga kecil itu. “Maafkan aku, Bu. Aku
harus kembali ke puncak gunung untuk menepati janji pada Ular N’Daung. Mohon
doa restunya, ya Bu!” pinta si Bungsu. “Iya, Anakku. Ibu merestui. Tapi, Ibu
berharap semoga Ular N’Daung itu berubah pikiran,” harap sang Ibu sambil
meneteskan air mata. “Iya, Bu. Bungsu pun berharap begitu. Tapi, kalau tidak,
barangkali itu memang sudah menjadi nasib Bungsu harus menikah dengan ular,”
kata si Bungsu. Akhirnya, si Bungsu kembali ke puncak gunung untuk menemui Ular
N’Daung dan tinggal di gua itu. Pada malam harinya, si Bungsu dikejutkan oleh
sebuah peristiwa ajaib. Ia menyaksikan Ular N’Daung berubah wujud menjadi
seorang kesatria yang tampan dan gagah perkasa. “Hai, bagaimana hal ini bisa
terjadi?” tanya si Bungsu dengan heran, “Siapa sebenarnya Kanda?” “Maaf, Dinda.
Kanda adalah seorang pangeran dari sebuah kerajaan di negeri ini. Nama saya
Pangeran Abdul Rahman Almsjah,” ungkap Ular N’Daung yang telah berubah wujud
seorang pangeran itu. Pangeran itu kemudian menceritakan bahwa dirinya disihir
menjadi seekor ular oleh pamannya karena menginginkan kedudukannya sebagai calon
raja. Ia juga berjanji baru akan menikahi si Bungsu setelah sihir itu sirna
dari tubuhnya. “Kelak jika sihir ini telah hilang pada diri Kanda, barulah
Kanda akan menikahimu,” kata sang Pangeran, “Kamu tetaplah tinggal bersamaku di
gua ini hingga sihir itu hilang.” “Baik, Kanda,” kata si Bungsu. Sementara itu,
ibu dan kakak-kakak si Bungsu penasaran ingin mengetahui keadaan si Bungsu.
Mereka pun kemudian naik ke puncak gunung dan tiba di sana saat hari sudah
gelap.
Alangkah
terkejutnya mereka saat melihat suami si Bungsu seorang lelaki tampan dan
perkasa. Apalagi ketika mereka mengetahui bahwa suami si Bungsu adalah seorang
pangeran. Mengetahui hal tersebut, maka timbullah perasaan iri hati pada diri
kedua kakak si Bungsu. Mereka pun berniat jahat untuk menfitnah adiknya itu
dengan cara membakar kulit Ular N’Daung. Dengan begitu, pangeran itu akan murka
kepada si Bungsu dan mengusirnya. Saat si Bungsu dan pangeran itu terlelap,
kedua kakak si Bungsu segera menjalankan niat jahat mereka. Keduanya diam-diam mencuri
kulit Ular N’Daung lalu membakarnya. Setelah itu, abu bekas pembakaran itu
mereka letakkan di samping si Bungsu lalu kembali tidur. Ketika hari menjelang
pagi, Pangeran Abdul Rahman Alamsjah pun bangun hendak mengenakan kulit
ularnya. Alangkah senangnya hati pangeran itu saat melihat kulit ularnya
terbakar. Ia pun segera membangunkan si Bungsu. “Dinda, ayo cepat bangun!” seru
sang Pangeran. “Apa yang terjadi, Kanda?” tanya si Bungsu dengan panik.
“Lihatlah, ada orang yang telah membakar kulit ularku,” jawab pangeran itu,
“Apakah Dinda yang melakukannya?” “Bukan, Kanda,” jawab si Bungsu. “Ya,
syukurlah kalau begitu. Berarti Kanda benar-benar terbebas dari sihir itu,”
kata Pangeran Alamsjah dengan gembira, “Jika ada orang yang membakar kulit
ularku secara sukarela, maka sihir yang melekat pada diri Kanda akan sirna,”
ungkap Pangeran. Si Bungsu pun segera menyampaikan berita gembira itu kepada
ibu dan kedua kakaknya. Mendengar kabar tersebut, kedua kakaknya merasa amat
menyesal dan mengakui bahwa merekalah yang melakukan pembakaran kulit ular itu.
Akhirnya, Ular N’Daung yang kini telah kembali menjadi pangeran bermaksud
memboyong si Bungsu dan keluarganya. Namun, kedua kakaknya menolak ikut serta
karena merasa malu dengan perbuatan mereka. Setiba di istana, Pangeran Abdul
Rahman Alamsjah segera mengusir pamannya dari istana. Setelah dinobatkan
menjadi raja, ia pun menikahi si Bungsu dengan pesta yang amat meriah. Mereka
pun hidup berbahagia.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment