“Mak
Isun Kayo”
Cerita
Rakyat Sumatra Barat
Di Negeri Batang
Tabik, Payakumbuh, Sumatra Barat, hiduplah seorang lelaki paruh baya bernama
Mak Isun. Ketika masih muda, ia bekerja sebagai kusir bendi pada orang kaya di
negeri itu. Ia seorang kusir yang rajin dan tekun. Bendinya selalu bersih dan
kudanya terpelihara dengan baik, sehingga ia disukai oleh juragannya dan
orang-orang pun senang menumpang bendinya. Selain rajin dan tekun, Mak Isun
juga hemat dan rajin menabung. Sebagian upah dari hasil menarik bendi ia gunakan
untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari dan selebihnya ditabung. Setelah
berjalan beberapa tahun, uang tabungannya pun cukup banyak. Ketika juragannya
meninggal dunia, ia gunakan tabungannya untuk membeli kuda dan bendi itu dari
keluarga juragannya. Semenjak menjadi pemilik bendi, uang sewa yang biasanya
disetorkan kepada juragannya, ia masukkan ke dalam tabungannya. Dalam waktu dua
tahun, uang tabungannya sudah cukup untuk membeli lagi satu bendi beserta
kudanya. Kemudian bendi tersebut ia sewakan kepada orang lain. Waktu terus
berjalan, Mak Isun tetap giat menabung dan terus membeli kuda beserta bendinya
hingga akhirnya ia memiliki delapan buah bendi berikut kudanya. Bendi yang
pertama kali dibelinya, tetap dia yang mengemudikannya, sedangkan tujuh buah
bendi lainnya ia sewakan kepada orang lain. Semakin hari penghasilan Mak Isun
semakin banyak, sehingga ia pun terkenal sebagai juragan bendi yang kaya. Sejak
itu, namanya dikenal sebagai Mak Isun Kayo. Walaupun sudah menjadi kaya, cara
hidup Mak Isun tetap tidak berubah. Ia tetap hemat dan rajin merawat kuda dan
bendinya. Setiap ada kerusakan segera diperbaiki dan diperbaharui. Ia
senantiasa mengajarkan hal itu kepada semua kusirnya. Ia berpendirian bahwa
kuda yang kuat dan bendi yang bersih akan disukai oleh penumpang. Oleh karena
itu, ia mewajibkan para kusirnya untuk memberi makan dan memandikan kudanya
setiap hari. Demikian pula, mereka harus mencuci dan membersihkan bendi setiap
selesai dipakai. Pada suatu sore, Mak Isun sedang duduk-duduk di teras rumahnya
sambil memerhatikan para kusir bendi sedang memandikan kuda dan membersihkan
bendi. Saat itu, tiba-tiba sesuatu terlintas di dalam pikirannya.
”Aku harus
mencari pekerjaan lain yang dapat menghasilkan uang untuk menambah kekayaanku.
Tapi pekerjaan apa ya?” tanyanya dalam hati. Sesaat kemudian, tiba-tiba seorang
warga yang bernama Pak Sole dengan seekor beruknya melintas di depan rumahnya.
Pak Sole adalah seorang ”tukang beruk”. Ia menerima upah dengan cara
memerintahkan seekor beruk memetik kelapa di kebun kelapa penduduk sekitar.
”Pak Sole...!” teriak Mak Isun memanggil Pak Sole. ”Iya, Tuan!” jawab Pak Sole
sambil menoleh ke arah sumber suara yang memanggilnya. “Kemari sebentar!” seru
Mak Isun. Dengan hati bertanya-tanya, Pak Sole segera menghampiri Mak Isun.
”Ada apa, Tuan!” tanya Pak Sole penasaran. ”Silahkan duduk, Pak Sole!” kata Mak
Isun. ”Terima kasih, Tuan!” jawab Pak Sole sambil memegangi beruknya. ” Pak
Sole, berapa upahmu menjadi tukang beruk?” tanya Mak Isun. ”Tidak tentu, Tuan!
Tergantung jarak kebun kelapa yang akan dipetik buah kelapanya. Jika dekat,
saya mendapat upah tiga butir kelapa, dan jika jauh upahnya lima butir,” jelas
Pak Sole. ”Berapa penghasilanmu sehari?” tanya Mak Isun. ”Jika dirata-rata,
sehari saya memperoleh sekitar dua puluh lima butir kelapa,” jawab Pak Sole.
”Wah, lumayan juga penghasilanmu,” kata Mak Isun. ”Tapi, Tuan!” ”Kenapa, Pak
Sole,” tanya Mak Isun penasaran. ”Saya tidak tahu masih dapat menjadi tukang
beruk atau tidak, karena majikan saya hendak menjual semua beruknya untuk
ongkos naik haji,” jelas Pak Sole. ”Siapa yang akan membelinya?” tanya Mak
Isun. ”Belum tahu, Tuan!” jawab Pak Sole. ”Siapa nama majikanmu?” tanya Mak
Isun. ”Pak Kari, Tuan!” jawab Pak Sole. ‘Kalau begitu, sampaikan kepada Pak
Kari bahwa aku yang akan membeli semua beruknya,” ungkap Mak Isun.
”Baik, Tuan!
Nanti malam saya akan pergi menemuinya,” kata Pak Sole seraya berpamitan. Pada
malam harinya, Pak Sole ke rumah majikannya untuk menyampaikan niat Mak Isun.
Pak Kari pun setuju. Akhirnya, Mak Isun membeli semua beruk Pak Kari dan
kemudian menyewakannya kepada orang lain, termasuk Pak Sole. Selain mendapat
keuntungan sewa beruk, Mak Isun juga mewajibkan kepada semua penyewa beruknya
untuk menjual upah mereka kepadanya dengan harga murah, sehingga ia pun
mendapat keuntungan yang banyak. Untuk memperoleh keuntungan yang berlipat
ganda, Mak Isun tidak menjual kelapa itu, melainkan menjualnya dalam wujud
kopra (daging kelapa yang sudah dikeringkan). Lambat laun, ia tidak hanya
terkenal sebagai juragan bendi dan beruk, tapi sebagai pedagang kopra. Pada
suatu waktu, harga kopra melonjak tinggi. Mengetahui hal itu, Mak Isun berubah
pikiran hendak menaikkan upah sewa beruknya. Ia menyadari bahwa dialah
satu-satunya pemilik beruk di negeri itu yang hampir semua penduduknya memiliki
kebun kelapa. Oleh karena itu, ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas
itu. Ia pun segera mengumpulkan semua tukang beruknya di rumahnya. ”Mulai
besok, upah sewa beruk kita naikkan dua kali lipat. Jika jarak kebunnya dekat,
upahnya menjadi enam butir kelapa, dan jika jaraknya jauh upahnya menjadi
sepuluh butir,” ujar Mak Isun kepada para tukang beruk. ”Maaf, Tuan! Apakah itu
tidak memberatkan penduduk?” tanya Pak Sole. ”Benar, Tuan! Tidak mungkin mereka
mau membayar upah sebesar itu. Upah sewa beruk yang kami berlakukan selama ini
pun masih ada penduduk yang merasa keberatan” tambah seorang tukang beruk yang
lain. ”Kalau mereka tidak mau, biarkan saja kelapa mereka tua di pohon,” jawab
Mak Isun dengan ketus. ”Tapi, Tuan! Kalau tidak memetik kelapa, kami mau makan
apa? Padahal hanya itu harapan hidup kami!” kata seorang tukang beruk beriba.
”Dasar kalian semua orang bodoh! Jika kita menaikkan upah sewa beruk, pasti
semua penduduk akan terpaksa menerimanya. Kalian sudah tahu bahwa tidak seorang
pun penduduk yang pandai memanjat pohon kelapa secepat beruk itu. Lagi pula,
mereka tidak akan rugi karena kebun kelapa itu adalah warisan dari orang tua
mereka,” jelas Mak Isun dengan nada kesal. Para tukang beruknya tidak setuju dengan
keputusan Mak Isun, karena mereka merasa kasihan kepada penduduk. Namun, Mak
Isun tidak mau tahu mengenai masalah itu. Ia tetap teguh pada pendiriannya
hendak menaikkan upah sewa beruk. Para tukang beruk itu pun menjadi kesal
dengan sikap Mak Isun. Dengan perasaan kecewa, seluruh tukang beruk kembali ke
rumah masing-masing. Pada malam harinya, mereka bermusyawarah untuk mencari
cara agar Mak Isun mau membatalkan niatnya itu.
Dalam pertemuan
itu, mereka bersepakat untuk menakut-nakuti Mak Isun dengan cara menyuruh
beruk-beruk itu mengepung rumahnya. Keesokan paginya, saat membuka jendela
rumahnya, Mak Isun dikejutkan dengan seekor beruk yang menyeringainya. Dengan
perasaan panik, ia pun segera membuka pintu depan. Namun, saat pintu terbuka,
ia disambut dengan cibiran dan seringai beruk yang lain. Mak Isun berlari
menuju pintu belakang, namun dua ekor beruk sudah menunggunya. Kemudian berlari
menuju ke jendela yang lain, juga dihadang oleh beruk. Rumah Mak Isun
benar-benar dikepung oleh belasan beruk, sehingga ia tidak bisa keluar.
”Tolong... !!! Tolong... !!! Singkirkan beruk-beruk itu dari rumahku!” teriak
Mak Isun meminta tolong. Mendengar suara teriakan itu, para penduduk berkumpul
di halaman rumahnya hendak menyaksikan peristiwa itu. Namun, tidak seorang pun
penduduk yang berani menolongnya, termasuk para kusir bendinya. Sementara itu,
Mak Isun yang berada di dalam rumah itu semakin panik. “Jika sampai
berhari-hari beruk-beruk itu mengepung rumah ini dan tidak diberi makan, apa
jadinya kelak? Mereka pasti mengobrak-abrik rumahku, atau... jangan-jangan aku
yang menjadi sasaran mangsa mereka, karena kelaparan,” pikir Mak Isun.
Akhirnya, Mak Isun menyadari bahwa ia tidak boleh memaksakan kehendaknya. Ia
pun mengakui kesalahannya dan berjanji untuk tidak menaikkan sewa beruk kepada
penduduk.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment