“Rambun
Pamenan”
Cerita
Rakyat Sumatra Barat
Alkisah, di
daerah Sumatra Barat, hiduplah seorang janda bernama Lindung Bulan bersama dua
orang anak laki-lakinya. Anaknya yang sulung bernama Rendo Pinang, sedangkan
yang bungsu bernama Rambun Pamenan. Lindung Bulan adalah seorang janda yang
cantik nan rupawan. Kecantikannya terkenal hingga ke berbagai negeri. Sejak
kematian suaminya, banyak pemuda maupun duda yang datang meminangnya, namun tak
satu pun pinangan yang diterimanya. Ia lebih senang menjanda daripada kedua anaknya
berayah tiri. Suatu ketika, berita tentang kecantikan Lindung Bulan terdengar
oleh Raja Angek Garang dari Negeri Terusan Cermin. Sesuai dengan namanya, Raja
tersebut terkenal garang (kejam). Raja kejam itu ingin memperistri Lindung
Bulan. Ia pun memerintahkan beberapa hulubalangnya yang dipimpin oleh Palimo
Tadung untuk menjemput Lindung Bulan. “Palimo Tadung! Jemput dan bawa Lindung
Bulan kemari! Jika dia menolak dibawa dengan baik-baik, kamu culik saja dia!”
perintah Raja Angek Garang. “Daulat, Baginda! Perintah segera dilaksanakan!”
jawab Palimo Tadung. Usai berpamitan kepada Raja, berangkatlah Palimo Tadung
bersama beberapa hulubalang untuk menjemput Lindung Bulan. Sesampainya di rumah
Lindung Bulan, mereka menyampaikan pinangan Raja Angek Garang. Namun, Lindung
Bulan tetap ingin hidup menjanda. Sesuai dengan titah Raja Angek, maka pada
malam harinya, ketika Reno Pinang dan Rambun Pamenan sedang tertidur lelap,
Palimo Tadung menculik Lindung Bulan dan membawanya ke istana Raja Angek Garang
dengan menggunakan burak (semacam kendaraan yang digunakan Nabi Muhammad ketika
isra’ mi’raj). Sesampainya di istana, Raja Angek Garang memaksa Lindung Bulan
agar mau menjadi permaisurinya. Lindung Bulan menolak, dan Raja Angek pun
menjadi kesal dan marah. “Dasar janda keras kepala!” bentak Raja Angek dengan
wajah memerah. “Pengawal! Bawa janda bodoh ini ke penjara bawa tanah!”
titahnya.
Mendengar
perintah itu, beberapa pengawal istana segera menyeret Lindung Bulan ke dalam
penjara. Sebelum dimasukkan ke penjara, para pengawal tersebut mengikat kedua
kaki Lindung Bulan dengan rantai besi. Bertahun-tahun Lindung Bulan dikurung
dalam penjara bawah tanah. Hidupnya sangat menderita dan merana. Ia jarang
diberi makan dan minum, sehingga semakin hari badannya semakin kurus. Wajah
cantiknya pun semakin hari semakin pudar. Sementara itu, sejak ibu mereka
diculik, Reno Pinang dan Rambun Pamenan diasuh dan dibesarkan oleh tetangganya.
Rupanya, sang Tetangga menyaksikan peristiwa ketika Lindung Bulan diculik.
Namun, ia tidak mengetahui akan dibawa ke mana Lindung Bulan oleh para penculik
tersebut. Kini, Reno dan Rambun telah menjadi remaja. Sang Tetangga pun merasa
bahwa tibalah saatnya ia harus menceritakan peristiwa yang telah menimpa ibu
mereka. Reno dan Rambun sangat sedih mendengar cerita itu. Rambun berpikir
bahwa ibunya masih hidup. Maka timbullah pikirannya ingin pergi mencari ibunya.
Namun, ia bingung, karena tidak ada jejak atau pun petunjuk mengenai keberadaan
ibunya. Pada suatu hari, ketika sedang mencari balam (burung tekukur) di hutan,
Rambun bertemu dengan seorang pemburu bernama Alang Bangkeh sedang beristirahat
di bawah sebuah pohon rindang. Setelah berkenalan, Rambun menceritakan
peristiwa yang dialami ibunya hingga ia berniat untuk pergi mencarinya.
Mendengar cerita Rambun, Alang Bangkeh tiba-tiba tersentak kaget. “Benarkah
Lindung Bulan itu ibumu, Rambun?” tanya Alang Bangkeh. “Benar, Paman! Apakah
Paman pernah bertemu dengannya? Tolong katakan di mana sekarang ibuku!” desak
Rambun. “Maaf, Rambun! Paman tidak pernah bertemu dengan ibumu. Paman hanya
pernah mendengar kabar bahwa ibumu, Lindung Bulan, sudah bertahun-tahun ditawan
oleh Raja Angek Garang di Negeri Terusan Cermin,” jelas Alang Bangkeh. “Dari
mana Paman dengar kabar itu?” tanya Rambun penasaran. “Paman sering berkelana
menjelajahi berbagai negeri. Hampir setiap negeri yang Paman singgahi, Paman
sering mendengar pembicaraan penduduk tentang Lindung Bulan yang ditawan di
Negeri Terusan Cermin karena menolak pinangan Raja Angek Garang,” ungkap Alang
Bangkeh. “Apakah Paman tahu letak Negeri Terusan Cermin?” tanya Rambun. “Maaf,
Rimbun! Kebetulan Paman belum pernah ke negeri itu. Tapi, semua orang tahu
bahwa Negeri Terusan Cermin berada di seberang hutan belantara. Hanya saja
tidak ada orang yang tahu persis di seberang hutan belantara yang mana negeri
itu berada, karena di negeri ini banyak sekali hutan belantara,” kata Alang
Bangkeh.
Meski demikian, Rambun tetap
bertekad ingin pergi mencari dan membebaskan ibunya. Sejak itu, ia sangat tekun
belajar bela diri dan menuntut ilmu pengetahuan kepada beberapa guru silat dan
orang pintar.
Melihat tindakan Rambun itu, Reno pun selalu
bertanya-tanya dalam hati. Oleh karena penasaran, ia pun bertanya kepada
adiknya. “Hai, Adikku! Untuk apa kamu lakukan semua itu?” tanya Reno. Rambun
kemudian bercerita kepada kakaknya tentang cerita Alang Bangkeh bahwa ibu
mereka masih hidup dan ia berniat untuk pergi mencarinya. Berkali-kali Reno
Pinang berusaha untuk membujuk adiknya agar mengurungkan niatnya, namun sang
Adik tetap bersikukuh hendak pergi mencari ibunya. Ibu asuhnya pernah berkata
bahwa setiap cita-cita yang luhur, bagaimanapun sulitnya, akan dapat diraih
dengan kerja keras dan sungguh-sungguh. “Memang Adik masih muda, tapi Adik bisa
menjaga diri. Adik telah belajar ilmu silat dan ilmu pengetahuan kepada banyak
guru silat dan orang pintar. Jadi, Kakak tidak usah mencemaskan Adik,” ujar
Rambun. “Baiklah, kalau itu keinginanmu. Doa Kakak menyertai perjalananmu.
Semoga kamu berhasil menemukan ibu,” ucap sang Kakak. Setelah mempersiapkan
segala keperluannya, berangkatlah Rambun untuk pergi mencari Negeri Terusan
Cermin. Ia berjalan seorang diri keluar masuk hutan belantara, menaiki dan
menuruni gunung. Semakin jauh ia berjalan, bekalnya pun semakin berkurang.
Suatu hari, Rambun jatuh sakit di tengah hutan belantara, karena kelaparan dan
kelelahan. Namun, berkat doa sang Kakak, ia pun sembuh. Rupanya, sang Kakak
mengirimkan ramuan penangkal lapar berupa sebungkus nasi dan sebutir telur
melalui mimpi Rambun. Peristiwa ajaib itu berlangsung beberapa kali sampai
Rambun bertemu dengan seorang petani ladang di tepi hutan. Rambun kemudian
menumpang di rumah petani itu untuk memulihkan badannya yang sangat letih
setelah melewati beberapa hutan belantara. Sebagai balas jasa, Rambun membantu
petani itu bekerja di ladang. Ia bekerja sangat rajin dan tekun, sehingga
petani itu sangat kagum kepadanya. Suatu malam, ketika mereka sedang
duduk-duduk di dekat api unggun sambil membakar ubi, petani itu bertanya kepada
Rambun. “Apa gerangan yang membawamu sampai ke daerah ini, Rambun?” tanya si
pemilik ladang. Rambun pun menceritakan asal usul dan tujuannya berkelana.
Mendengar cerita Rambun, pemilik ladang itu memberitahu bahwa Rambun telah
menempuh hutan yang salah. Seharusnya ia melewati hutan sebelah barat.
Akhirnya, Rambun pun memutuskan untuk tinggal beberapa lama untuk membantu si
pemilik ladang. Setelah memanen tanaman ubi dan jagungnya, barulah ia
berpamitan untuk melanjutkan perjalanan. Sebelum Rambun berangkat, pemilik
ladang itu memberinya sebuah tongkat. “Bawalah tongkat ini! Semoga dapat
berguna dalam perjalananmu nanti. Tongkat ini namanya Manau Sungsang,” kata si
pemilik ladang seraya menyerahkan tongkat itu kepada Rambun.
Setelah menerima
tongkat itu, berangkatlah Rambun menelusuri hutan sebelah barat. Ketika
menelusuri hutan itu, tiba-tiba ia melihat seorang perimba (pencari nafkah di
hutan) sedang dililit seekor ular besar. Tanpa berpikir panjang, Rambun segera
memukul kepala ular itu dengan tongkatnya sehingga lilitannya lepas dan ular
itu pun mati seketika. “Terima kasih, Anak Muda! Engkau telah menyelamatkan
nyawaku. Kalau boleh aku tahu, engkau siapa dan dari mana asal usulmu?” tanya
perimba itu. Rambun pun menceritakan kisah perjalanannya dari awal hingga ia
berada di tempat itu. Mendengar cerita tersebut, perimba itu pun mengerti
maksud dan tujuan Rambun berkelana. “Karena engkau telah menolong Paman, maka
Paman akan mengantarmu ke Negeri Terusan Cermin agar engkau cepat sampai di
sana,” ujar perimba itu. “Apa maksud, Paman? Bukankah negeri itu masih sangat
jauh dari tempat sini?” tanya Rambun. Sambil tersenyum, perimba itu menyuruh
Rambun untuk memejamkan mata sejenak. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba Rambun
merasa tubuhnya melayang-layang di udara. Setelah membuka matanya, barulah ia
menyadari bahwa perimba itu menerbangkan dirinya menuju ke Negeri Terusan
Cermin. Perimba itu terbang melesat bagaikan burung garuda. Perjalanan yang
cukup jauh tersebut mereka tempuh dalam waktu yang singkat. Sesampainya di
Negeri Terusan Cermin, sang Perimba menurunkan Rambun di tepi sebuah dusun.
“Maaf, Rambun! Paman hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Carilah ibumu ke
istana Raja Angek Garang!” seru perimba itu seraya kembali terbang menuju ke
hutan belantara. Ketika tiba di dusun itu, Rambun tiba-tiba merasa sangat
lapar. Ia pun mendatangi sebuah lepau (kedai nasi). Lepau itu terlihat sepi.
Yang terlihat hanya seorang wanita, si pemilik lepau, sedang bernyanyi menunggu
pembeli. “Permisi, Bu! Saya sangat lapar, tetapi saya tidak mempunyai uang.
Berilah saya pekerjaan apa saja untuk membayar nasi,” kata Rambun mengiba. Oleh
karena iba, pemilik lepau itu memberikan makanan kepada Rambun dengan
cuma-cuma. Untuk membalas kebaikan wanita itu, Rambun pun bekerja di lepau itu.
Ia menyediakan kayu bakar dan memperbaiki bagian-bagian lepau yang sudah rusak.
Suatu hari, Rambun bercerita kepada wanita itu tentang maksud dan tujuannya
berkelana ke Negeri Terusan Cermin. Si pemilik lepau pun bercerita bahwa
puluhan tahun yang lalu Raja Angek Garang menyekap ibu Rambun, Lindung Bulan,
di penjara istana. Mendengar cerita wanita itu, Rambun semakin tidak sabar
ingin membebaskan ibunya. Ia pun mulai mengatur siasat.
Suatu ketika, Rambun berjalan-jalan
ke kota kerajaan Negeri Terusan Cermin untuk mempelajari seluk beluk dan
keadaan istana. Keesokan harinya, ia pun berpamitan kepada si pemilik lepau.
Sebelum Rambun
berangkat ke istana, si pemilik lepau memberinya pakaian untuk menggantikan
mengganti bajunya yang sudah usang dan robek. Sesampainya di istana, Rambun
melihat tujuh orang hulubalang sedang berjaga-jaga di depan gerbang istana. Ia
pun menghampiri salah seorang hulubalang. “Permisi, Tuan! Bolehkah saya masuk
ke dalam istana?” kata Rambun. “Hai, Anak Kecil! Siapa kamu dan untuk apa
kemari?” tanya salah seorang hulubalang. “Saya ingin membebaskan ibu saya yang
ditawan Raja Angek Garang sejak puluhan tahun yang lalu,” jawab Rambun.
Hulubalang itu tertawa terbahak-bahak, lalu memanggil teman-temannya yang lain.
“Hai, teman-teman! Lihat, anak kecil ini mau membuat masalah!” Keenam
hulubalang yang lainnya itu segera menghampiri Rambun. Tiba-tiba salah seorang
dari mereka mengangkat tubuh Rambun dan menimang-nimangnya. “Ayo, teman-teman!
Kita bermain lempar-tangkap. Tangkaplah anak ini!” seru hulubalang itu seraya
melemparkan tubuh Rambun kepada temannya yang lain. Setelah para hulubalang itu
letih melemparkan tubuh Rambun ke sana kemari, salah seorang dari mereka
kemudian melemparkan tubuh Rambun ke tanah lalu menendanginya secara
bergantian. Rambun pun tidak sabar melihat perlakuan para hulubalang itu
terhadap dirinya. Sambil menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya, Rambun
memukulkan tongkat Manau Sungsangnya ke kepala salah seorang hulubalang.
Hulubalang itu pun langsung tewas seketika. Melihat temanya terkapar tidak
berdaya, keenam hulubalang yang lainnya lari tunggang langgang masuk ke dalam
istana untuk melaporkan peristiwa itu kepada Palimo Tadung. Tidak lama,
datanglah Palimo Tadung bersama beberapa hulubulang. Baru saja ia akan
menghunus pedangnya, Rambun mendahului memukulkan tongkat saktinya ke kepalanya
hingga tewas tak berdaya. Para hulubalang menyaksikan peristiwa itu segera
melapor kepada Raja Angek Garang. Mendengar laporan itu, Raja Angek Garang
langsung naik pitam. “Dasar hulubalang tidak becus! Menghadapi anak kecil saja
kalian tidak sanggup!” bentak sang Raja. “Ampun, Baginda! Anak itu memiliki
tongkat sakti,” sahut seorang hulubalang. Tanpa berkata apa-apa, tiba-tiba saja
Raja Angek Garang menghunus pedangnya lalu menusukkannya ke perut hulubalang itu
hingga tewas. Dengan pedang terhunus, ia segera menemui Rambun yang sudah
berdiri menunggu di depan istana. Raja Angek Garang pun langsung menyabetkan
pedangnya berkali-kali ke arah Rambun. Namun, dengan gesit dan lincah, Rambun
dapat menghindari serangan Raja Angek Garang. Pada saat yang tepat, Rambun
memukulkan tongkatnya ke kepala Raja kejam itu. Tapi, pukulan Rambun masih
dapat ditangkis oleh Raja Angek dengan pedangnya.
“Hai, bocah
tengik! Kamu tidak akan sanggup mengalahkanku. Pedangku lebih sakti daripada
tongkatmu. Ha... ha... ha...!” seru Raja Angek Garang sambil tertawa
terbahak-bahak. Rambun pun mengerti bahwa kesaktian Raja Angek terletak pada
pedangnya. Maka, ketika Raja Angek mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, dengan
secepat kilat, Rambun melompat dan memukul pedang itu. Pedang itu pun terlepas
dari genggaman Raja Angek. Pada saat itulah, Rambun segera memukul kepala Raja
Angek Garang hingga jatuh dan tewas seketika. Orang-orang yang menyaksikan
peristiwa itu bersorak gembira, karena Raja kejam itu telah mati. Setelah itu,
Rambun pun memerintahkan para hulubalang untuk membebaskan semua tawanan. Ia
pun masuk ke dalam penjara mengikuti para hulubalang untuk mencari ibunya. Ia
pun meminta kepada salah seorang penjaga penjara untuk menunjukkan tempat
ibunya disekap. Tak berapa lama, ia pun melihat ibunya dalam keadaan
menyedihkan. Kaki ibunya terikat rantai besi. Badannya sangat kurus dan matanya
cekung. Dengan perasaan haru, Rambun pun segera memeluk ibunya sambil menangis.
“Ibu...! Ini aku Rambun Pamenan, anak Ibu! Anak bungsu Ibu yang Ibu tinggalkan
ketika masih kecil,” kata Rambun. “Anakku! Maafkan Ibu, Nak!” ucap Lindung
Bulan dengan suara serak. Setelah itu, rakyat Negeri Terusan Cermin meminta
kepada Rambun untuk menjadi raja menggantikan Raja Angek Garang yang kejam itu.
Namun, Rambun tidak ingin menjadi raja di negeri asing. Ia pun mengajak ibunya
untuk kembali ke kampung halamannya. Akhirnya, Rambun pun berkumpul kembali
bersama ibu dan kakaknya, Reno Pinang.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment