“Raja Jambi Penakluk Hantu Pirau”
Cerita Rakyat Jambi
Di Negeri Jambi, ada seorang raja yang
terkenal sakti mandraguna. Ia adalah Raja Jambi Pertama yang berasal dari
Negeri Keling. Selain sakti mandraguna, ia juga terkenal arif dan bijaksana. Ia
senantiasa memikirkan nasib dan mengutamakan kepentingan rakyatnya. Keadaan ini
membuat rakyat tenang dalam melakukan pekerjaan sehari-hari mencari nafkah.
Itulah sebabnya, ia sangat disegani oleh seluruh rakyatnya. Pada suatu ketika,
suasana tenang tersebut tiba-tiba terusik oleh kedatangan Hantu Pirau. Ia
selalu datang menakut-nakuti anak-anak kecil yang sedang bermain dan mengganggu
bayi-bayi yang sedang tidur. Jika melihat bayi ataupun anak-anak kecil, Hantu
Pirau suka tertawa terkekeh-kekeh kegirangan, sehingga anak-anak menjadi
ketakutan dan bayi-bayi pun menangis. Namun, jika para orangtua menjaga
anak-anak mereka, hantu itu tidak berani datang mengganggu. Oleh karenanya,
para orangtua setiap saat harus selalu menjaga anak-anak mereka baik ketika
sedang bermain maupun tidur di buaian. Keadaan tersebut membuat warga menjadi
resah, karena mereka tidak bisa keluar rumah untuk pergi mencari nafkah.
Melihat keadaan itu, para pemimpin masyarakat dari Tujuh Koto, Sembilan Koto,
dan Batin Duo Belas atau yang lazim disebut Dubalang Tujuh, Dubalang Sembilan,
dan Dubalang Duo Belas, mencoba mengusir hantu tersebut dengan membacakan
segala macam mantra yang mereka kuasai. Namun, semuanya sia-sia. Bahkan,
kelakuan hantu itu semakin menjadi-jadi. Hampir setiap saat, baik siang maupun
malam, ia selalu datang mengganggu anak-anak hingga menangis dan menjerit-jerit
ketakutan. “Segala cara sudah kita lakukan, tapi Hantu Pirau itu tetap saja
tidak mau enyah dari negeri ini. Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya
Dubalang Tujuh bingung. “Bagaimana kalau kejadian ini kita sampaikan kepada
raja?” usul Dubalang Sembilan. “Aku setuju. Bukankah beliau seorang raja yang
sakti mandraguna?” sahut Dubalang Duo Belas. “Baiklah kalau begitu! Ayo kita
bersama-sama pergi menghadap kepada raja,” kata Dubalang Tujuh. Setelah
mendapat kata mufakat, akhirnya ketiga dubalang tersebut segera menghadap Raja
Negeri Jambi. Sesampainya di istana, mereka pun segera melaporkan semua
peristiwa yang sedang menimpa negeri mereka.
“Ampun, Baginda! Kami ingin melaporkan
sesuatu kepada Baginda,” kata Dubalang Dua Belas. “Katakanlah! Apakah gerangan
yang terjadi di negeri ini, wahai Dubalang?” tanya Raja Jambi ingin tahu.
“Ampun Baginda! Beberapa hari ini, Hantu Pirau selalu datang mengganggu
anak-anak kami. Mula-mula mereka merasa geli dan tertawa, tapi lama-kelamaan
mereka menangis dan menjerit ketakutan,” jawab Dubalang Duo Belas. “Ampun,
Baginda! Kami sudah melakukan berbagai cara, namun Hantu Pirau itu selalu saja
datang mengganggu mereka,” tambah Dubalang Sembilan. “Bagaimana bentuk dan rupa
Hantu Pirau itu? Apakah kalian pernah melihatnya?” tanya Raja Jambi. “Belum
Baginda! Kami hanya sering mendengar suara gelak tawanya kegirangan ketika
anak-anak itu menangis dan menjerit-jerit,” jawab Dubalang Duo Belas. Mendengar
laporan para dubalang tersebut, Raja Jambi tersenyum sambil mengelus-elus
jenggotnya yang lebat dan sudah mulai memutih. Ia kemudian beranjak dari
singgasananya lalu berjalan mondar-mandir. “Baiklah kalau begitu. Pulanglah ke
negeri kalian dan sampaikan kepada seluruh warga yang pandai membuat lukah agar
masing-masing orang membuat sebuah lukah!” titah Raja Negeri Jambi. “Ampun,
Baginda! Untuk apa lukah itu? Bukankah sekarang belum musim berkarang (mencari
ikan)?” tanya Duabalang Duo Belas dengan penuh keheranan. “Sudahlah, laksanakan
saja apa yang aku perintahkan tadi! Jangan lupa, setelah lukah-lukah tersebut
selesai, segeralah memasangnya di atas bukit dengan mengikatkannya pada
tonggak-tonggak yang kuat. Setelah itu, setiap pagi dan sore kalian bergiliran
ke atas bukit untuk melihat lukah-lukah tersebut!” perintah sang Raja.
Mendengar penjelasan sang Raja, ketiga dubalang itu langsung mohon diri untuk
melaksanakan perintah. Tak satu pun dari mereka yang berani kembali bertanya
kepada raja. Dalam perjalanan pulang, mereka terus bertanya-tanya dalam hati
tentang perintah sang Raja. Sesampainya di negeri masing-masing, ketiga
dulabang itu langsung menyampaikan perintah raja kepada seluruh warganya. Para
warga hanya terheran-heran ketika menerima perintah itu. Ketika bertanya kepada
ketiga dubalang, mereka tidak mendapat jawaban yang pasti. Sebab ketiga
dubalang itu juga tidak mengetahui maksud sang Raja. Namun karena itu adalah
perintah raja, para warga pun segera membuat lukah, meskipun dalam hati mereka
selalu bertanya-tanya. Lukah-lukah tersebut kemudian mereka pasang di atas
bukit yang tak jauh dari permukiman penduduk. Setiap pagi dan sore ketiga
dubalang itu secara bergiliran naik ke atas bukit untuk melihat dan memeriksa
lukah-lukah tersebut. Pada hari pertama, kedua, ketiga hingga hari keenam,
belum menunjukkan adanya tanda-tanda yang mencurigakan.
Pada hari ketujuh di pagi hari, Dubalang
Duo Belas mendapat giliran naik ke atas bukit untuk memeriksa lukah-lukah
tersebut. Alangkah terkejutnya saat ia berada di atas bukit. Ia melihat sesuatu
menggelepar-gelepar di dalam sebuah lukah. Bentuknya menyerupai manusia, tetapi
kecil. Makhluk itu juga dapat berbicara seperti manusia. Ketika Dubalang Duo
Belas mendekat, makhluk aneh itu mengeluarkan suara yang sudah tidak asing lagi
di telinganya. “Hei, sepertinya aku sering mendengar suara itu. Bukankah itu
suara Hantu Pirau yang sering mengganggu anak-anak kecil?” tanya Dubalang Duo
Belas dalam hati. Setelah memastikan bahwa suara itu benar-benar Hantu Pirau,
maka yakinlah ia bahwa makhluk yang terperangkap dalam lukah itu pastilah Hantu
Pirau. Ia pun segera melaporkan hal itu kepada Raja Negeri Jambi. “Ampun,
Baginda! Hamba baru saja dari bukit itu. Hamba menemukan seekor makhluk yang
terperangkap ke dalam lukah. Apakah dia itu Hantu Pirau?” tanya Dubalang Duo
Belas. “Benar, dubalang! Bawalah Hantu Pirau itu kemari!” titah sang Raja.
“Baik, Baginda! Hamba laksanakan!” ucap Dubalang Duo Belas seraya berpamitan.
Sebelum menuju ke atas bukit, ia mengajak Dubalang Sembilan dan Dubalang Tujuh
untuk bersama-sama mengambil lukah tersebut. Setelah membuka tali pengikat
lukah dari tonggak, ketiga dubalang tersebut membawa lukah yang berisi Hantu
Pirau itu ke hadapan sang Raja. “Sudah tahukah kalian, wahai dubalang! Makhluk
inilah yang bernama Hantu Pirau yang sering menganggu anak-anak kecil,” ungkap
sang Raja. “Mengerti Baginda!” jawab ketiga dubalang itu serentak. “Pengawal!
Siapkan pedang yang tajam! Aku akan memotong-motong tubuh hantu ini,” perintah
sang Raja kepada seorang pengawal. Mendengar ancaman tersebut, Hantu Pirau itu
pun langsung memohon ampun kepada Raja Negeri Jambi. “Ampun, Tuan! Janganlah
bunuh hamba! Jika Tuan sudi melepaskan hamba dari lukah ini, hamba akan
memenuhi segala permintaan Tuan. Bukankah Tuan adalah Raja yang arif dan
bijaksana?” “Baiklah, kalau begitu! Aku hanya ada dua permitaan. Pertama,
setelah keluar dari lukah ini, tinggalkan negeri ini dan jangan pernah kembali
mengganggu wargaku lagi, terutama anak-anak kecil. Kedua, serahkan cincin
pinto-pinto (pinta-pinta, yakni cincin sakti, apo yang kuminta harus ado) itu
kepadaku!” kata sang Raja. Hantu Pirau pun langsung menyanggupi permintaan Raja
Jambi. Setelah dikeluarkan dari lukah, ia pun segera menyerahkan cincin
pinto-pinto nya kepada sang Raja, lalu pergi meninggalkan Negeri Jambi.
Sejak itu, Negeri Jambi tidak pernah
lagi diganggu oleh Hantu Pirau. Keadaan negeri kembali aman, damai dan tenang.
Seluruh penduduk kembali melakukan pekerjaan mereka sehari-hari dengan perasaan
aman dan tenang. Beberapa tahun setelah peristiwa Hantu Pirau itu, Raja Negeri
Jambi tiba-tiba berpikir ingin membuktikan kesaktian cincin pinto-pinto
pemberian Hantu Pirau. Namun karena keinginannya tidak ingin diketahui oleh
rakyat Negeri Jambi, maka ia pun menyampaikan kepada rakyatnya bahwa dia akan
pulang ke negerinya di Keling (India) dalam waktu beberapa lama. Sesampai di
negerinya, Raja Jambi pun segera menguji kesaktian cincin pinto-pinto itu. “Hei
cincin pinto-pinto! Jadikanlah Kota Bambay ini sebagai kota yang bertahtakan
mutiara, batu permata, dan intan berlian!” pinta Raja Jambi. Dalam waktu
sekejap, suasana Kota Bombay tiba-tiba berubah menjadi gemerlap. Seluruh sudut
kota dipenuhi dengan mutiara, batu permata dan intan berlian. Alangkah senang
hati sang Raja melihat pemandangan yang indah dan menggiurkan itu. Ia pun
enggan untuk kembali ke Negeri Jambi. Namun sebagai raja yang arif dan
bijaksana, beberapa tahun kemudian ia mengutus salah seorang putranya yang
bernama Sultan Baring untuk menggantikannya sebagai Raja Jambi. Mendapat
perintah itu, Sultan Baring pun segera berangkat ke Negeri Jambi bersama dengan
beberapa orang pengawalnya. Sesampainya di Negeri Jambi, ia pun segera
menyampaikan amanah ayahnya kepada seluruh rakyat Jambi bahwa sang Ayah tidak
dapat lagi memerintah Negeri Jambi karena sudah tua. Setelah itu, ia membacakan
surat pengangkatannya sebagai Raja Jambi Kedua setelah ayahnya. Rakyat Jambi
pun menyambutnya dengan gembira, karena ia juga seorang Raja yang arif dan
bijaksana seperti ayahnya. Konon, Sultan Baring inilah yang menurunkan
raja-raja, sultan-sultan maupun raden-raden berikutnya, seperti Sultan Taha
Saifuddin dan Raden Ino Kartopati.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment