“Asal Mula Kerang di Nimboran”
Cerita Rakyat Papua
Di Desa
Congwei, di daerah pantai utara Papua, hiduplah seorang pemuda bernama Wei.
Masyarakat sekitar memanggilnya Tangi, yaitu seekor ular jadi-jadian. Jika
siang hari ia berwujud ular besar, dan pada malam harinya berwujud manusia. Ia
dapat berbicara serta makan dan minum layaknya manusia biasa. Menurut cerita,
Wei datang dari langit menuju ke bumi melalui sebuah pohon yang disebut Ganemu,
yaitu sejenis pohon yang buahnya enak dimakan.Ia tinggal di dalam sebuah gua yang
menghadap ke laut dan membelakangi bukit di dekat pohon Ganemu tersebut. Ia
memilih tinggal di gua itu agar mudah mencari ikan dan terlindung dari udara
dingin pada malam hari. Di samping itu, ia juga tidak terganggu oleh orang
lain. Di dalam gua itu, ia tinggal bersama seorang nenek yang senantiasa
membantu mengurus segala keperluan hidupnya. Ketika turun dari langit, Wei
membawa bibit tanaman seperti kelapa, pisang, dan biji sagu untuk
dikembangbiakkkan di bumi. Selain itu, ia juga membawa biji pohon ajaib yang
bernama Rawa Tawa Pisoya, yaitu sejenis pohon yang dapat berbuah kerang
berharga yang nilainya sama dengan uang. Semua bibit tanaman tersebut ia tanam
di sekitar tempat tinggalnya, sedangkan biji pohon ajaib itu ia tanam di dalam
gua. Ketika pohon ajaib itu telah berbuah, Wei memamagari dan menutupinya
dengan tikar agar buahnya tidak dimakan burung. Pada suatu hari, Wei pulang
dari berburu ikan di pantai. Saat itu, ia sedang berwujud ular. Ia sangat
terkejut ketika merayap hendak memeriksa pohon ajaibnya. Ia mendapati beberapa
buah Rawa Tawa Pisoya yang masih muda berserakan di bawah pohon. “Hei, siapa
yang memetik buah pohon ajaibku?” gumamnya. Betapa terkejutnya ia ketika
menoleh ke atas pohon ajaib itu. Ia melihat dua orang gadis sedang asyik memetik
buah yang sudah masak dan makan sepuasnya, dan membuang buah yang masih muda.
Rupanya, kedua gadis itu kakak beradik, yaitu Lermoin (sulung) dan Yarmoin
(bungsu). Wei tidak mau mengusik mereka, karena ia tahu mereka akan turun
sendiri dari pohon itu. “Ah, pasti mereka akan turun jika sudah puas dan
kenyang,” ucap Wei sambil mengawasi mereka dari bawah pohon. Saat sedang asyik
menikmati buah ajaib itu, Yarmoin melihat ke bawah pohon. Ia baru sadar jika
ada seekor ular besar sedang memperhatikan tindak-tanduk mereka. “Kakak,
lihatlah ke bawah!Ada ular besar yang mengawasi kita!” seru Yarmoin.
Ketika Lermoin melihat ke bawah, tiba-tiba
ular besar itu berbicara. “Tenanglah, wahai gadis-gadis cantik!Aku tidak akan
memangsa kalian,” kata Wei. Betapa terkejutnya kedua gadis kakak-beradik
itu.Mereka tidak pernah mengira sebelumnya, jika ular besar itu dapat berbicara
seperti manusia. “Hai, Kak! Rupanya ular itu bisa berbicara seperti
kita.Sepertinya dia baik hati,” kata Yarmoin. Setelah puas makan buah ajaib itu,
Lermoin dan Yarmoin segera turun dari pohon dan menghampiri ular besar itu.
“Aku Yarmoin dan ini kakakku, Lermoin.Kami berasal dari daerah Danau Sentani.
Kamu siapa dan di mana tempat tinggalmu, hai ular besar?” tanya Yarmoin usai
memperkenalkan diri mereka. Wei pun memperkenalkan diri seraya menceritakan
asal-usulnya. Setelah itu, Wei mengajak Lermoin dan Yarmoin ke tempat
tinggalnya. Betapa terkejutnya kedua gadis itu setelah masuk ke dalam gua
tempat tinggal Wei. Mereka melihat ruangan di dalam gua itu cukup lebar dan
penataan ruangnya tidak jauh beda dengan rumah manusia. Di dalamnya terdapat
ruang makan, kamar tidur, dan ruang dapur.Di ruang dapur terlihat banyak
perlengkapan memasak yang ditata secara rapi.Melihat keadaan itu, kedua gadis
tersebut baru menyadari bahwa Wei bukanlah ular biasa. “Hai, Wei! Siapa yang
menata ruangan di dalam gua ini?” tanya Yarmoin. “Aku bersama nenekku,” jawab
Wei.“Jika kalian senang, kalian boleh tinggal di sini.” Lermoin dan Yarmoin pun
menerima ajakan Wei. Sejak itu, kedua gadis tersebut tinggal di dalam gua itu
untuk sementara waktu. Yarmoin merasa senang dan selalu menunjukkan sikap yang
ramah. Lain halnya dengan Lermoin , ia selalu menunjukkan sikap curiga terhadap
Wei. Pada suatu sore, ketika Wei hendak mencari ikan di laut, Lermoin
mengikutinya dari belakang secara diam-diam. Di depan mulut gua, Wei melepas
dan menyimpan kulit ularnya di balik sebuah batu besar, dan seketika itu pula
ia menjelma menjadi seorang pemuda tampan. Betapa terkejutnya Lermoin melihat peristiwa
ajaib itu. Begitu Wei pergi ke laut, Lermoin segera mengambil kulit ular itu,
lalu menyembunyikannya di tempat lain. Saat kembali dari laut, Wei pun
kebingungan mencari pakaian ularnya.Ia sudah berusaha mencari ke mana-mana,
namun tidak juga ditemukannya. Sejak itu, Wei berwujud manusia.Sifat dan
perilakunya pun berubah.Ia menjadi pendiam dan merasa tidak betah lagi tinggal
di dalam gua itu. Akhirnya, ia mengajak Lermoin dan Yarmoin dan neneknya untuk
membangun rumah di dekat pohon Ganemu yang berada di luar gua. Sejak itu pula,
kegemaran Wei juga berubah. Setiap hari ia sibuk mengumpulkan berbagai jenis
serangga untuk dipelihara di dalam sebuah rumah yang disebut karaweri, yaitu
sebuah bangunan khusus sebagai tempat untuk menenangkan hati.
Terkadang
seharian penuh ia berada di dalam karaweri itu tanpa menghiraukan Lermoin dan
Yarmoin. Pada suatu hari, Wei hendak ke hutan untuk mencari serangga. Sebelum
berangkat, ia berpesan kepada neneknya. “Nek!Saya mau ke hutan mencari
serangga.Hari ini saya pulang agak terlambat. Tolong awasi kedua gadis itu!
Jangan biarkan mereka mendekati rumah karaweri!” ujar Wei. “Baik, Wei! Nenek
akan mengawasi mereka,” jawab nenek Wei. Ketika Wei berangkat ke hutan,
timbullah niat Lermoin ingin mengetahui isi rumah karawei itu. Agar tidak
ketahuan, ia menyuruh adiknya untuk membantu nenek Wei memasak di dapur.
Setelah itu, ia berpamitan kepada nenek Wei dengan alasan ingin pergi ke kebun
mengambil sayuran.Tanpa curiga sedikit pun, nenek Wei pun mengizinkannya. Saat
Yarmoin dan nenek Wei sedang asyik memasak, secara diam-diam ia berjalan
mengendap-endap mendekati rumah karawei itu. Kemudian, ia mencoba mengintip ke
dalam rumah itu melalui sebuah lubang kecil. Betapa takjubnya ia ketika
menyaksikan sebuah taman yang dipenuhi oleh berbagai jenis serangga yang
berwarna-warni di dalam rumah itu. Ada beragam jenis kupu-kupu, capung, serta
berbagai jenis serangga lainnya.Semuanya di tempatkan dalam kurungan yang
tersusun sangat rapi. “Wow, indah sekali pemandangan di dalam rumah ini!” ucap
Lermoin dengan takjub. Melihat pemandangan yang menakjubkan itu, Lermoin pun
semakin penasaran ingin mengetahui isi rumah itu lebih jauh. Perlahan-lahan, ia
membuka pintu rumah karawei itu, lalu masuk ke dalamnya. Saat melihat jenis
kupu-kupu yang bersayap tiga warna, ia pun semakin tidak tahan ingin
memegangnya. Dengan hati-hati, ia membuka pintu kurungan kupu-kupu itu. Begitu
kurungan itu terbuka, kupu-kupu tersebut beterbangan dan berhamburan
keluar.Lermoin pun menjadi panik dan ketakutan.Ia berlari keluar dari rumah itu
sambil berteriak meminta tolong. “Tolong... tolong... tolong... Kupu-kupunya
kabur semua!” teriak Lermoin . Mendengar teriakan itu, Yarmoin dan nenek Wei
pun segera datang untuk menolongnya.Namun, mereka tidak dapat berbuat apa-apa,
karena kupu-kupu tersebut telah terbang jauh.Bahkan banyak di antaranya yang
mati karena tertabrak dan lalu terinjak kaki Lermoin.Lermoin hanya bisa
menangis dan menyesali perbuatannya. Sementara itu di tempat lain, Wei yang
sedang asyik mencari serangga di hutan merasakan firasat buruk. Wadah
serangganya tiba-tiba penuh dengan bangkai kupu-kupu. “Waduh, pasti gadis itu
telah masuk ke dalam rumah karawei-ku,” pikirnya. Wei pun menghentikan
pekerjaannya dan melepaskan semua serangga yang telah ditangkapnya. Dengan
perasaan cemas, ia kemudian bergegas pulang. Betapa sedihnya hati Wei ketika
melihat bangkai kupu-kupu piaraannya banyak berserakan di sekitar rumah
karawei. Sambil meneteskan air mata, ia mengumpulkan bangkai kupu-kupu tersebut
lalu menguburkannya, dan sebagian ia bungkus untuk dibawa masuk ke dalam rumah
karawei.
Sejak
peristiwa itu, Wei semakin tidak betah berada di tempat itu.Kakinya terasa
panas jika menginjak tanah. Akhirnya, ia memutuskan untuk pindah ke tempat
lain. Ia mencabut pohon ajaibnya dan mengambil beberapa buah bijinya yang sudah
tua. Sebelum berangkat, ia berpesan kepada neneknya dan kedua gadis itu.
“Jagalah rumah ini! Aku akan pergi ke Teluk Nubai. Jika kalian dan anak-cucu
kalian kelak mendapat kesulitan, suruhlah mereka datang ke Teluk Nubai, agar
persahabatan kita selalu terjalin.Kita bangun Teluk Nubai bersama-sama,” ujar
Wei. Usai berpesan, berangkatlah Wei seorang diri menuju ke arah barat.Menurut
empunya cerita, Wei berenang menyusuri pantai menuju Teluk Nubai dengan mengenakan
pakaian kulit ikan jenis hiu. Setelah berhari-hari berenang melewati Hol
Thaikang Nafri dan Tabati, akhirnya ia pun tiba di perairan Teluk Nubai di
dekat Pulau Kayu Injau. Karena kelelahan, ia memutuskan untuk beristirahat di
perairan itu. Ketika sedang asyik beristirahat, tiba-tiba sebuah anak panah
melesat begitu cepat dan menancap di punggungnya. “Aduh... sakitnya!” teriak
Wei sambil mengerang kesakitan. Begitu Wei menyembulkan kepalanya di permukaan
air, tiba-tiba sebuah anak panah lagi kembali menancap di kepalanya.Ia pun
semakin mengerang kesakitan. Lama-kelamaan, tubuhnya semakin lemah dan terapung
di permukaan air.Siripnya yang menyerupai sirip ikan hiu itu berkilauan diterpa
sinar matahari. Dengan pandangan yang mulai kabur, ia melihat sebuah perahu
sedang menghampirinya. Ketika perahu itu mendekat, barulah ia sadar bahwa orang
yang telah memanahnya adalah seorang nelayan. Nelayan itu bernama Sadembaro
dari Pulau Kayu Injau.Namun, Wei tidak dapat berbuat apa-apa, karena tenaganya
semakin lemah. Sadembaro kemudian mengangkat tubuh Wei naik ke atas perahu. Di
atas perahu itu, ia mengamati wajah Wei. Ketika melihat kedua mata Wei masih
berkedip, dengan sigap ia segera mengambil busur dan anak panahnya, lalu
mengarahkannya ke kepala Wei. Mengetahui nyawanya terancam, Wei pun segera
berteriak dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya. “Jangan, Tuan! Jangan panah
aku! Aku bukan ikan hiu!” iba Wei. Mendengar teriakan Wei, Sadembaro tersentak
kaget.Ia tidak jadi memanah kepala Wei. `Hai, kamu siapa? Kenapa kamu bisa
berbicara seperti manusia?” tanya Sadembaro. “Maaf, Tuan! Tolong lepaskan dulu
anak panah yang menancap di tubuhku ini! Biar aku bisa menjawab pertanyaan Tuan
dengan baik,” pinta Wei sambil menahan rasa sakit. Sadembaro pun membawa tubuh
Wei ke daratan Pulau Kayu Injau, dan segera mencabut anak panah yang menancap
di tubuh Wei, lalu mengobatinya dengan akar-akar kayu yang telah dilumat dengan
dedaunan.Beberapa saat kemudian, luka Wei pun sembuh dan tenaganya kembali
pulih. Perlahan-lahan, ia membuka kulit penutup kepala ikannya, sehingga
tampaklah wajah tampannya. Ia kemudian menceritakan asal-usulnya kepada
Sadembaro.
Setelah itu,
Wei kemudian bertanya kepada Sadembaro. “Tuan sendiri siapa dan dari mana asal
Tuan?” tanya Wei. “Aku Sadembaro. Aku tinggal di pulau ini bersama kakakku yang
bernama Sibi,” jawab Sadembaro. Setelah mendengar cerita Sadembaro, Wei pun
menyampaikan ucapan terima kasih kepadanya karena telah menolongnya. “Terima
kasih atas pertolonganmu, Sadembaro!Sebagai ucapan terima kasih, aku akan
membuatkan kamu sebidang kebun sagu di daerah ini,” kata Wei. Sadembaro pun
menerima pemberian Wei dengan senang hati.Dengan kesaktian yang dimilikinya,
Wei berhasil membuat sebidang kebun sagu dalam waktu sekejap.Wei menamai kebun
itu Yachmani. Setelah itu, ia berpesan agar Sadembaro merawat tanaman sagu
tersebut dengan baik, sehingga hasilnya dapat bermanfaat hingga anak- cucunya
kelak. Usai berpesan, Wei segera mengenakan kulit ikannya dan berpamitan kepada
Sadembaro hendak melanjutkan perjalanan menuju Nubai. Ketika ia hendak terjun
ke laut, Sadembaro segera mencegahnya. “Wei, jangan pergi dulu!Aku mempunyai
saran untukmu,” cegah Sadembaro. “Apakah saranmu itu, Sadembaro?” tanya Wei.
“Sebaiknya kamu tinggal sini saja. Aku khawatir orang-orang di Nubai akan
membunuhmu. Di sebelah barat Pulau Kayu Injau ini terdapat celah batu.Tempat
itu sangat aman untuk berlindung,” ujar Sadembaro. Wei pun menerima saran
Sadembaro.Mereka kemudian pergi ke tempat yang diceritakan Sadembaro itu untuk
melihat keadaannya.Ternyata benar, di tempat itu terdapat sebuah celah batu.Wei
segera terjun ke laut untuk memeriksa keadaan tempat itu.Setelah diperiksa,
ternyata celah batu itu sangat sempit, tidak dapat mampu memuat tubuhnya.Oleh
karena itu, Wei memutuskan untuk tetap meninggalkan daerah itu. “Maafkan aku,
Sadembaro!Aku terpaksa harus pergi. Jika aku tinggal di sini, pasti keluargaku
akan mengetahui keberadaanku. Izinkanlah aku mohon diri,” ucap Wei. “Jangan
pergi, Wei!Tinggallah di sini, aku akan melindungimu!” seru Sadembaro. Meskipun
Sadembaro telah berusaha keras mencegahnya, namun Wei bersikeras untuk pergi
meninggalkan tempat itu. Sebelum pergi, ia berpesan kepada Sadembaro agar
memberikan sebagian hasil sagu tersebut kepada kelurganya. Ia juga berpesan kepada
Sedambaro, jika memotong pohon sagu hendaknya jangan sampai dihabisi semua.
Tapi, sebaiknya disisakan satu atau dua batang, kemudian beralih menebang pohon
sagu yang lain. Dengan demikian, tanaman sagu tersebut dapat terus tumbuh dan
berkembang biak, sehingga Sadembaro dan anak-cucunya kelak tidak kekurangan
makanan.
Setelah menyampaikan pesan
tersebut, Wei pun berangkat menuju ke arah barat menuju ke Kampung Tarfia.Ia
ingin membantu penduduk kampung itu, karena menurut kabar dari Sadembaro,
mereka sering kelaparan. Saat ia tiba di kampung Tarfia, hari masih sore.
Penduduk setempat masih sibuk mencari ikan di laut.Ia pun mendekati seorang
nelayan yang sedang duduk sendiri di atas perahunya. “Maaf, Pak Tua! Aku datang
untuk membantu kalian,” kata Wei. Betapa terkejutnya lelaki tua itu ketika
melihat Wei yang berwujud ikan.Dengan panik, orang tua itu segera mengambil
tombaknya dan mengarahkannya kepada tubuh Wei.Melihat ancaman itu, Wei hanya
tenang-tenang saja. “Tombaklah aku, Pak Tua!Aku relah mati demi keselamatan
penduduk dari bahaya kelaparan. Bagikan dagingku kepada semua penduduk! Tapi,
kalian jangan makan perut besarku, tapi tanamlah di kebun belakang rumahmu!
Kelak akan tumbuh sebuah pohon ajaib!” ujar Wei. Nelayan itu kebingungan dan
hatinya masih ragu untuk menancapkan tombaknya ke tubuh Wei.Setelah didesak
terus-menerus oleh Wei, tanpa ragu lagi, akhirnya nelayan itu menombak tubuh
Wei berkali-kali.Wei pun mati seketika.Nelayan itu segera berteriak meminta
bantuan kepada nelayan lainnya untuk membawa tubuh Wei ke daratan.Akhirnya,
para nelayan beramai-ramai mengangkat tubuh Wei naik ke perkampungan.Mereka
memotong-motong daging Wei dan membagikannya kepada seluruh penduduk Tarfia,
sedangkan perut besarnya mereka tanam di kebun sesuai dengan permintaan Wei.
Beberapa tahun kemudian, tumbuhlah sebatang pohon ajaib yang berbuat sangat
lebat.Anehnya, buahnya mengeluarkan bau busuk seperti bau bangkai ikan.Bau
tersebut membuat kepala seluruh penduduk Tarfia menjadi pusing, bahkan banyak
yang muntah-muntah. Karena tidak tahan mencium bau bangkai yang menyengat itu,
akhirnya mereka bersepakat untuk memindahkan pohon ajaib warisan Wei itu ke
tempat lain. Para orang tua yang memiliki kesaktian segera mencabut pohon ajaib
itu dan kemudian melemparkannya ke Kampung Nimboran di daerah
pendalaman.Ajaibnya, buah-buah yang berbau busuk tersebut pecah berhamburan dan
mengeluarkan kerang-kerang kauri, yaitu alat pembayar yang berharga (senilai
uang) di masa itu.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”