Monday 30 November 2015

Cerita Rakyat Papua Barat

“Asal Usul Telaga Wekaburi”
Cerita Rakyat Papua Barat


Dahulu, di Wekaburi atau yang kini dikenal dengan nama Desa Werabur, terdapat sebuah sungai kecil yang airnya sangat jernih. Air sungai itu menjadi sumber kehidupan bagi Suku Wekaburi yang mendiami daerah tersebut. Hal yang unik di tempat ini adalah rumah-rumah panggung milik penduduk setempat dibangun di atas aliran sungai itu. Suatu ketika, warga Suku Wekaburi akan mengadakan pesta adat di kampung. Mereka segera mengadakan berbagai persiapan seperti membangun rumah untuk para tamu undangan, menyiapkan makanan, dan sebagainya. Pada hari yang telah ditentukan, para tamu undangan dari berbagai suku seperti Suku Kandami, Wettebosy, Sakarnawari, dan Torembi tiba di Kampung Wekaburi. Di antara para tamu yang hadir, tampak seorang nenek bersama cucu perempuan bernama Isosi. Nenek itu juga ditemani oleh seekor anjing. Ketika hari sudah mulai gelap, acara adat pun dimulai. Acara itu awalnya berjalan lancar dan sangat meriah. Berbagai tarian dipertunjukkan di hadapan para tamu. Banyak di antara tamu yang ikut serta menari dengan riang gembira. Pada saat itulah, seorang penari tidak sengaja menginjak ekor anjing kesayangan si nenek yang sedang tidur nyenyak di dekat perapian. Tak ayal, anjing itu pun menggonggong dengan kerasnya. Melihat peristiwa itu, si nenek menjadi marah. Ia lalu membawa anjingnya masuk ke dalam sebuah ruangan dan mengikatkan cawat pada tubuhnya. Setelah itu, ia keluar sambil memeluk anjingnya dan kemudian menari bersama penari lainnya. Nenek itu tahu bahwa perbuatannya telah melanggar adat. Menurut aturan adat, jika ada penduduk yang berbuat demikian akan mendatangkan kilat, guntur, dan disertai hujan deras. Si nenek memang sengaja melakukan hal tersebut karena ingin memberi hukuman kepada mereka yang telah menginjak anjingnya. Nenek itu sadar bahwa perbutannya dapat menciptakan malapetaka. Oleh karena itu, sang nenek segera mengambil puntung api dan disembunyikan dalam seruas bambu agar tidak terlihat oleh orang lain. Potongan bambu itu nantinya akan dijadikan obor. Selanjutnya, nenek itu mengajak cucunya agar segera keluar dari kampung itu. “Ayo, cucuku. Kita segera tinggalkan kampung ini,” ajak si nenek. “Baik, Nek,” jawab Isosi.
Penerangan obor membantu si nenek bersama cucu dan anjing kesayangannya berjalan menuju ke Gunung Ainusmuwasa melalui jalan setapak. Namun tanpa mereka sadari, ada seorang pemuda yang bernama Asya mengikuti langkah mereka. Rupanya, Asya adalah kekasih Isosi, cucu si nenek. “Tunggu, Nek!” serunya. “Bolehkah saya ikut bersama kalian?” Mengetahui bahwa pemuda itu adalah kekasih cucunya, si nenek pun tidak keberatan. Setelah itu, rombongan si nenek kembali melanjutkan perjalanan. Tak berapa lama kemudian, mereka tiba di puncak Gunung Ainusmuwasa. Dari atas gunung tampak cuaca mulai memburuk. Awan gelap mulai menutup langit di atas hulu Sungai Wekaburi. Selang beberapa saat kemudian, kilat yang disertai guntur terlihat menyambar-nyambar. Hujan deras pun akhirnya mulai turun. Sementara itu, para penduduk Wekaburi serta tamu undangan masih asyik berpesta. Mereka tidak menyadari jika bahaya sedang mengancam. Semakin lama, hujan turun semakin lebat sehingga terjadilah banjir besar. Mereka baru sadar akan bahaya tersebut ketika air telah naik ke lantai rumah. Kepanikan akhirnya melanda para penduduk. Mereka lari kalang kabut hendak menyelamatkan diri. Namun malang, semua sudah terlambat. Banjir yang dahsyat tersebut menghanyutkan semua yang ada. Keesokan harinya, si nenek bersama Isosi dan Asya turun dari gunung untuk melihat peristiwa yang terjadi semalam. Tak satu pun rumah penduduk yang tersisa. Nasib yang sama juga terjadi pada para penduduk. Mereka banyak yang terbawa arus, bahkan sebagian yang lain menjelma menjadi katak dan buaya. Sementara itu, Sungai Wekaburi telah berubah menjadi sebuah telaga yang kemudian disebut Telaga Wekaburi. Hingga kini, telaga tersebut menjadi salah satu obyek wisata di daerah Teluk Wondama, Papua Barat. Akibat peristiwa banjir yang telah menghanyutkan seluruh penduduk membuat si nenek merasa amat puas. “Itulah akibat dari perbuatan kalian! Kalian telah menginjak anjing kesayanganku,” kata nenek. Si nenek kemudian mengawinkan Isosi dengan Asya dengan harapan bahwa kelak anak cucu mereka akan mengisi Wekaburi yang telah kosong itu. Setelah menikah, mereka kemudian membangun rumah besar dan panjang yang diberi nama Aniobiaroi. Beberapa tahun kemudian, Isosi melahirkan banyak anak sehingga rumah itu semakin lama semakin penuh sesak. “Wah, rumah kita sudah penuh sesak, istriku. Rumah ini harus kita perbesar lagi,” ujar Asya. “Benar, Kakanda. Rumah ini harus kita perpanjang dan perbesar lagi.” jawab Isosi setuju. Rumah Aniobiaroi akhirnya disambung lagi sehingga bertambah besar dan panjang. Rumah itu kemudian diberi nama Manupapami. Beberapa tahun kemudian, rumah itu kembali penuh sesak. Anak-anak sekaligus menantu mereka terus melahirkan banyak keturunan. Maka, Asya pun mengambil keputusan untuk menyambung rumah Aniobiroi. Rumah itu kemudian diberi nama Yobari. Demikian seterusnya, rumah mereka tetap saja tidak mampu menampung seluruh keluarga. Oleh karena itu, mereka pun menyambung rumah itu hingga empat kali yang masing-masing diberi nama rumah Sonesyari dan Ketarana. Walaupun sudah empat kali disambung, rumah mereka tetap saja penuh sesak.
Akhirnya, mereka memutuskan untuk mencarikan tempat yang baru bagi sebagian penghuninya dan membangun rumah untuk setiap keluarga. Konon, anak keturunan Asya dan Isosi yang keluar dari rumah Manupapami tersebut kemudian menjadi Suku Wettebosi, sedangkan anggota keluarga yang keluar dari rumah Yobari menjadi suku Wekaburi. Adapun anggota keluarga yang keluar dari rumah Sonesyari dan Ketarana dikenal dengan nama Suku Torembi yang membangun rumah di atas air. Oleh karena itulah, kampung baru yang mereka diami tersebut dinamakan Kampung Werabur, yang berarti kampung yang terletak di atas air.

Terima kasih sudah membaca.

“TAMAT”






Cerita Rakyat Papua Barat

“Asal Usul Burung Cenderawasih”
Cerita Rakyat Papua Barat


Pada zaman dahulu hiduplah seorang perempuan tua bersama anjing betinanya di daerah Pegunungan Bumberi, Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat. Suatu hari, si perempuan tua dengan anjing kesayangannya sedang mencari makanan di hutan. Hari itu, mereka harus berjalan cukup jauh karena persediaan makanan di sekitar rumahnya sudah mulai berkurang. Setelah berjalan cukup jauh, mereka tiba di suatu tempat yang dipenuhi oleh pohon buah merah (sejenis pandan khas Papua) yang kebetulan telah berbuah. Perempuan tua itu segera memetik buah merah lalu diberikan kepada anjingnya yang kelaparan. Anjing betina itu langsung melahap buah merah hingga badannya terlihat segar kembali. Namun, beberapa saat kemudian, tiba-tiba anjing itu merasakan sesuatu yang bergerak-gerak di dalam perutnya. Perut anjing betina itu semakin membesar seperti sedang bunting. Ajaib, hanya dalam waktu yang tidak lama, anjing betina itu melahirkan seekor anak anjing yang mungil. Melihat keajaiban itu, perempuan tersebut juga bermaksud memakan buah merah agar mendapatkan keturunan seperti yang dialami oleh anjingnya. “Oh, ajaib sekali buah merah itu,” kagum perempuan itu. “Aku ingin mencoba buah itu agar aku bisa melahirkan anak.” Perempuan itu segera memetik buah merah lalu memakannya. Begitu ia menelan buah tersebut, perutnya tiba-tiba mengalami hal yang serupa dengan anjingnya, perutnya semakin lama semakin membesar. Segera saja sang perempuan bergegas pulang ke pulang. Setiba di rumah, ia akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki. Anak itu diberi nama Kweiya. Sepuluh tahun kemudian, Kweiya telah tumbuh menjadi remaja. Kweiya sangat rajin membantu ibunya bekerja dengan membuka hutan untuk dijadikan kebun sayur. Namun karena hanya menggunakan kapak batu, ia hanya mampu menebang satu batang pohon setiap hari. Sementara itu, ibunya hanya bisa membantu membakar daun-daun dari pohon yang telah rebah. Akibatnya, asap tebal pun mengepul dan membumbung tinggi ke udara. Tanpa mereka sadari, ternyata asap tebal tersebut telah menarik perhatian seorang pria tua yang sedang mengail di sebuah sungai.
“Hai, dari mana asal asap tebal itu? Siapa yang sedang membakar hutan?” gumam pria tua itu. Oleh karena penasaran, pria tua itu segera mencari sumber asap tebal tersebut. Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, sampailah ia di tempat asap itu berasal. Di tempat itu, ia mendapati seorang remaja tampan sedang menebang pohon di bawah terik matahari. “Weing weinggiha pohi (selamat siang), anak muda,” sapa pria tua itu. “Siapa kamu dan mengapa menebang hutan di sini?” “Nama saya Kweiya. Saya ingin membuat kebun untuk membantu ibu saya” jawab Kweiya Pria tua itu mengerti bahwa Kweiya adalah anak yang berbakti kepada orang tua. Maka, ia pun memberikan kapak besinya kepada Kweiya. “Kalau begitu, ambillah kapak besi ini. Kamu akan lebih cepat menebang pohon,” kata pria tua itu. “Terima kasih Pak,” jawab Kweiya. Kweiya pun dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. Dalam waktu singkat, ia mampu merobohkan beberapa pohon yang besar. Setelah itu, ia bergegas pulang untuk menceritakan hasil pekerjaannya kepada ibunya. Ibunya pun amat heran saat mendengar cerita itu. “Bagaimana kamu bisa secepat itu menebang pohon-pohon, anakku? Alat apa yang kamu gunakan?” tanya ibunya heran. Kweiya terdiam sejenak. Ia tampaknya ingin merahasiakan pria tua yang telah membantunya itu. “Aku tidak tahu juga, Bu. Kebetulan tadi tangan saya terlalu ringan mengangkat kapak sehingga dapat menebang pohon dengan cepat,” jawab Kweiya. Mendengar jawaban itu, ibu Kweiya percaya begitu saja. Sementara itu, Kweiya meminta agar ibunya menyiapkan makanan yang banyak. Rupanya, Kweiya bermaksud mengajak pria tua itu ikut makan bersama sekaligus memperkenalkannya kepada ibunya. “Bu, besok tolong siapkan makanan yang banyak,” pinta Kweiya. Keesokan harinya, ibu Kweiya memasak makanan yang cukup banyak. Sementara itu, Kweiya ingin membuat kejutan untuk ibunya. Ketika dalam perjalanan pulang ke pondoknya, ia membungkus pria tua itu dengan sejumlah pohon tebu lengkap dengan daunnya. Setiba di rumah, bungkusan tersebut diletakkan di depan pintu. Setelah itu, ia masuk ke dalam rumah dan seolah-olah merasa sangat haus. Ia pun meminta ibunya agar mengambilkan sebatang tebu untuk melepas rasa dahaganya. “Bu, aku haus sekali. Tolong ambilkan sebatang tebu di depan pintu itu,” pinta Kweiya. Ibu Kweiya pun menuruti permintaan anaknya. Saat sang ibu membuka bungkusan daun tebu, ia sangat terkejut karena mendapati seorang pria tua sedang berbaring di dalam bungkusan. Seketika, ia pun menjerit ketakutan seraya berlari masuk ke dalam pondok.
“Kweiya, siapa pria tua itu? Kenapa dia ada di dalam bungkusan itu?” tanya ibunya heran. Kweiya tersenyum seraya menenangkan hati ibunya. “Maafkan aku, Bu,” ucap Kweiya. “Aku tidak bermaksud menakuti-nakuti Ibu. Sebenarnya, pria tua itulah yang telah menolongku menebang pohon di hutan. Aku mohon Ibu mau menerimanya sebagai teman hidup!” Ibu Kweiya terdiam. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia menerima permintaan anaknya. Sejak saat itu, pria tua tersebut tinggal bersama mereka. Kweiya dan ibunya pun tidak merasa kesepian lagi. Selang beberapa tahun kemudian, ibu Kweiya melahirkan dua anak laki-laki dan seorang perempuan dari hasil perkawinannya dengan pria tua itu. Kweiya menganggap ketiga adiknya tersebut sebagai adik kandung. Mereka hidup rukun dan saling menyayangi. Namun, hubungan persaudaraan mereka akhirnya menjadi retak karena kedua adik laki-lakinya merasa iri terhadap Kweiya. Mereka iri karena Kweiya selalu mendapat perhatian khusus dari ibu mereka. Suatu hari, ketika kedua orangtua mereka sedang ke kebun, kedua adiknya mengeroyok Kweiya hingga luka-luka. Meskipun merasa kesal, Kweiya tidak tega membalas perbuatan kedua adiknya. Ia lebih memilih bersembunyi di salah satu sudut pondoknya sambil memintal tali dari kulit binatang sebanyak mungkin. Pintalan benang tersebut nantinya akan dibuat sayap. Sementara itu, orangtua Kweiya baru saja tiba dari kebun. Ketika mengetahui Kweiya sedang tidak ada di rumah, sang ibu kemudian bertanya kepada adik-adik Kweiya. “Ke mana abang kalian pergi?” tanya sang ibu. “Tidak tahu Bu,” jawab kedua adik laki-laki Kweiya serentak. Kedua adik laki-laki Kweiya ini rupanya takut menceritakan peristiwa perkelahian mereka yang menyebabkan Kweiya pergi dari rumah. Namun, adik bungsu mereka yang menyaksikan peristiwa tersebut menceritakannya kepada ibu mereka. Betapa sedihnya sang ibu saat mendengar cerita putri bungsunya itu. Ia kemudian berteriak memanggil-manggil Kweiya agar cepat kembali ke rumah. Namun, bukan Kweiya yang datang, melainkan suara burung yang terdengar. “Eek.. ek... ek... ek..!” begitu suara burung itu. Suara itu ternyata suara Kweiya yang telah menyisipkan pintalan benang pada ketiaknya lalu melompat ke atas bubungan rumah dan selanjutnya terbang ke atas salah satu dahan pohon di depan rumah mereka. Kweiya rupanya telah berubah menjadi seekor burung yang amat indah dan bulunya berwarna-warni. Melihat peristiwa ajaib itu, sang ibu pun menangis tersedu-sedu sambil meminta benang pintalan kepada Kweiya. “Kweiya, anakku. Apakah masih ada benang pintalan untukku?” tanya sang Ibu.
“Bagian Ibu aku sisipkan di dalam payung tikar,” jawab Kweiya. Sang ibu pun segera mengambil pintalan benang itu lalu menyisipkan pada ketiaknya. Setelah berubah menjadi burung, ia kemudian mengepak-kepakkan sayapnya lalu terbang menyusul Kweiya yang bertengger di dahan pohon. Konon, kedua burung yang kini dikenal sebagai burung cenderawasih tersebut terlihat bercakap-cakap dengan kicauan mereka. “Wong... wong... wong... wong...! Ko... ko... kok... ! Wo-wik!” demikian kicauan mereka yang tidak diketahui maksudnya. Sejak itulah, burung cenderawasih jantan dan betina sering muncul di Fakfak, Papua Barat, dengan warna berbeda. Oleh masyarakat Onin, burung cenderawasih jantan yang bulunya cenderung lebih panjang kemudian dalam bahasa Lha disebut Siangga, sedangkan burung cenderawasih betina disebut Hanggam Tombor. Kedua adik laki-laki Kweiya yang menyaksikan peristiwa ajaib itu hanya bisa pasrah ditinggalkan oleh ibu dan kakak mereka. Mereka akhirnya saling menyalahkan sehingga mereka saling lempar abu tungku. Wajah mereka pun menjadi kelabu hitam, abu-abu, dan ada juga yang menjadi warna merah. Seketika itu pula, mereka pun berubah menjadi burung dan kemudian terbang ke hutan rimba untuk menyusul ibu dan kakak mereka. Itulah sebabnya, hutan rimba di Fakfak lebih banyak dipenuhi oleh beragam burung yang kurang menarik dibandingkan dengan burung cenderawasih.

Terima kasih sudah membaca.

“TAMAT”






Cerita Rakyat Papua

“Danau Walait yang Keramat”
Cerita Rakyat Papua


Dahulu, di Lembah Baliem hiduplah sebuah suku yang bernama suku Walait. Lembah Baliem yang berada di puncak Gunung Jayawijaya ini dikelilingi oleh hamparan hutan lebat. Di dalam hutan itu banyak terdapat binatang buas, terutama babi hutan. Itulah sebabnya, sebagian besar warga suku Walait bekerja sebagai pemburu babi hutan. Sebagian hasil tangkapannya dimakan untuk lauk sehari-sehari, dan sebagian yang lain untuk diternakkan. Di antara penduduk suku Waliat ada seorang gadis bernama Jelita. Ia hanya tinggal bersama dengan ayahnya karena ibunya telah meninggal dunia. Sehari-harinya, gadis cantik itu bekerja sebagai penggembala babi, sedangkan sang Ayah pergi ke hutan untuk mencari kayu, umbi-umbian, dan hasil hutan lainnya. Sang Ayah selalu berpesan kepada Jelita agar tidak menggembalakan babi di sekitar Danau Walait yang berada tidak jauh permukiman penduduk. “Jelita, putriku! Jangan sekali-kali kamu menggembalakan babi di sekitar danau itu!” ujar sang Ayah. “Baik, Yah,” jawab si Jelita. Suatu hari, Jelita lupa pada pesan ayahnya. Ia membiarkan babinya berkeliaran di sekitar Danau Walait. Rerumputan di sekitar danau itu memang tumbuh subur dan hijau karena tak seorang pun yang berani menggembalakan babi di sana. Sambil menunggu babi peliharaannya merumput, gadis cantik itu duduk berteduh di bawah sebuah pohon. Tak berapa lama kemudian, babi-babinya tiba-tiba mati bergelimpangan setelah memakan sesuatu di tepi danau itu. Melihat kejadian tersebut, Jelita menjadi panik. “Aduh, Ayah pasti akan marah sekali jika mengetahui hal ini,” gumam si Jelita. Dengan perasaan takut, Jelita pulang ke rumah untuk memberitahukan kejadian itu kepada ayahnya. Sang Ayah mendengar kabar buruk itu pun menjadi murka. “Dasar anak tidak bisa diatur!” hardik sang Ayah, ”Ayah sudah melarangmu menggembala di sana, tapi kamu tidak mendengar nasehat Ayah. Pergi dari rumah ini!” “Maafkan Jelita, Ayah! Jelita benar-benar lupa pada nasehat Ayah. Ampun Ayah, jangan usir Jelita! Jelita tidak punya siapa-siapa lagi selain Ayah,” rengek Jelita di hadapan ayahnya.
Meskipun Jelita sudah merengek-rengek, sang Ayah tetap mengusirnya. Dengan hati yang hancur, gadis yang malang itu pun pergi meninggalkan rumahnya. Karena bingung harus pergi ke mana, ia pun memutuskan untuk pergi ke Danau Walait. Di pinggir danau itu, ia duduk termenung memikirkan nasibnya yang malang. “Ya, Tuhan! Tak ada gunanya lagi hamba hidup di dunia ini. Hamba tidak memiliki siapa-siapa lagi,” keluh gadis itu. Usai berkata demikian, Jelita mencebur ke dalam Danau Walait. Atas kuasa Tuhan, ia berubah menjadi seekor ikan mungil. Sejak itulah, itulah gadis yang telah berbuah menjadi ikan itu hidup di danau itu. Sementara itu, di seberang Danau Walait, tinggal pula sebuah suku bernama Akeima yang dipimpin oleh Hulogolik. Jumlah wanita di suku Akeima ketika itu masih sedikit sehingga banyak laki-laki yang belum menikah, termasuk Hulogolik. Suatu ketika, Hulogolik pergi bertapa di sebuah gua untuk meminta kepada Dewata agar dianugerahi seorang istri untuk melanjutkan keturunannya. Ketika ia asyik bersemedi, tiba-tiba ia mendengar suara bisikan di telinganya. “Wahai, Hulogolik. Jika kamu mendapatkan istri, usirlah suku Walai yang ada di sekitar Danau Walait!” seru suara itu. Hulogolik pun menuruti pesan gaib itu. Bersama dengan warga sukunya, Hulogolik memerangi suku Waliat dan berhasil mengusir mereka dari tempat itu. Karena kelelahan, kepala suku itu beristirahat di bawah sebuah pohon di tepi Danau Walait hingga terlelap. Dalam lelapnya, ia mendapat perintah dari Dewa agar mencopot kepalanya. “Wahai, Hulogolik. Penggallah kepalamu hingga terpisah dari tubuhmu. Setelah itu, masuklah ke dalam Danau Walait!” seru sang Dewa. Begitu terbangun, Hulogolik segera menuruti perintah itu. Dengan tubuh tanpa kepala, ia segera mencebur ke dalam danau. Ikan-ikan yang ada di dalam danau itu pun masuk ke dalam tubuhnya hingga penuh. Setelah kembali ke darat, Hulogolik mengeluarkan semua ikan yang ada di tubuhnya ke rerumputan. Setelah itu, kepala dan tubuhnya kembali menyatu. Ajaibnya, ikan-ikan tersebut tiba-tiba menjelma menjadi gadis-gadis yang cantik jelita. Rupanya, ikan-ikan tersebut merupakan penjelmaan gadis-gadis yang sering hilang di sekitar Danau Walait. Akhirnya, Hulogolik membawa pulang gadis-gadis itu ke kampungnya untuk dinikahinya dan juga orang-orang sukunya yang memang banyak yang belum beristri. Namun, tanpa sepengetahuan Hulogolik, salah seorang anak buahnya memperhatikan tingkah lakunya saat ia mencebur ke dalam Danau Walait. Keesokan harinya, warga itu ingin melakukan seperti yang dilakukan oleh Hulogolik dengan meminta bantuan kepada roh jahat. “Baiklah, aku akan membantumu, tapi dengan syarat kamu harus membujuk Hulogolik untuk kembali memerangi suku Walait,” ujar roh jahat itu.
Warga itu menyanggupi persyaratan itu. Alhasil, ia berhasil membujuk kepala sukunya itu sehingga peperangan antara dua suku pun kembali berkobar. Peperangan itu memakan banyak korban. Setelah perang tersebut selesai, anak buah Hulogolik itu mendekati Danau Walait dan melakukan seperti melakukan seperti yang dilakukan oleh tuannya. Namun, tanpa ia sadari pula, ternyata ada seorang warga lain yang mengintipnya dari balik semak-semak. Begitu ia mencebur ke danau tanpa kepala, warga yang mengintip itu mengambil kepalanya dan cepat-cepat pergi. Ketika anak buah Hulogolik itu kembali darat, kepalanya sudah tidak ada. Pada saat itulah, ia tiba-tiba menjelma menjadi seekor ular raksasa. Sang Dewa yang mengetahui peristiwa itu menjadi murka kepada Hulogolik karena lalai mengawasi warganya. “Hai, Hulogolik! Kenapa kamu menyerang suku Walait tanpa melalui perintahku? Karena kamu telah bertindak sewenang-wenang, maka sebagai hukuman jasadmu kelak tidak akan membusuk sampai kapan pun,” ujar sang Dewa dalam mimpi Hulogolik. Alangkah terkejutnya Hulogolik saat terbangun. Ia baru menyadari bahwa dirinya telah termakan hasut oleh anak buahnya itu. Namun, apa boleh, buat nasi sudah menjadi bubur. Hulogolik tinggal menunggu hukuman itu setelah ia mati kelak. Sementara itu, isti Hulogolik telah berkumpul kembali dengan keluarganya. Saat mereka berbincang-bincang, tiba-tiba ada orang yang menyinggung perihal hilangnya seorang warga di Danau Walait. Ia juga mengakui bahwa dirinyalah yang memisahkan kepala dan tubuh anak buah Hulogolik itu. Mendengar cerita itu, cepat-cepatlah Hulogolik berlari menuju ke Danau Walait. Setiba di tepi danau, tiba-tiba seekor ular raksasa menyerangnya. Saking cepatnya serangan ular itu sampai-sampai Hulogolik tidak sempat menghindar. Akhirnya, kepala suku Akeima itu pun tewas. Tubuhnya pun mengeras dan berwarna hitam. Karena tak seorang pun warga yang menyaksikan peristiwa itu, jasad Hulogolik masih terapung-apung di tengah danau itu hingga berhari-hari. Warga yang berada di perkampung pun mulai cemas karena kepala suku mereka tidak pulang-pulang. Istri Hulogolik pun mengerahkan seluruh warga untuk mencarinya ke Danau Walait. Melihat kedatangan orang-orang, ular naga segera membuat lubang besar di dasar danau dan bersembunyi di dalamnya. Ia takut keluar karena itu akan membahayakan dirinya. Sementara itu, para warga yang baru tiba di tempat itu dikejutkan oleh sesosok tubuh sedang terapung-apung di tengah danau. “Hai lihat, bukankah itu jasad Hulogolik?” teriak salah seorang warga. “Iya, sepertinya benar,” sahut istri Hulogolik. Beberapa warga segera berenang ke tengah danau untuk mengambil jasad Hulogolik. Tak berapa lama kemudian, para warga itu kembali ke darat dengan membopong jasad kepala suku mereka.
Mereka kemudian membawa pulang mayat itu ke perkampungan untuk disemayamkan di sebuah honay (rumah adat orang Papua). Sungguh ajaib, mayat honay itu benar-benar tidak pernah membusuk.

Terima kasih sudah membaca.

“TAMAT”






Cerita Rakyat Papua

“Buaya Ajaib Sungai Tami”
Cerita Rakyat Papua


Dahulu, di Kampung Sawjatami yang terletak di tepi Sungai Tami, Jayapura, Papua, hiduplah seorang laki-laki bernama Towjatuwa. Ia tinggal bersama istrinya di sebuah honai (rumah adat orang Papua). Saat itu, sang istri sedang hamil tua, waktu kelahirannya tinggal menunggu beberapa hari lagi. Pada hari yang telah diperkirakan, sang istri pun telah memperlihatkan tanda-tanda akan melahirkan. Ia tiba-tiba menggigil tanpa sebab yang jelas, sebagai tanda awal kelahiran, dan mulai mengalami pendarahan. Namun, sudah berjam-jam darah terus keluar, sang bayi di dalam rahimnya tak kunjung keluar. Towjatuwa menjadi panik dan bingung mesti berbuat apa. Maka, pergilah ia ke rumah seorang dukun di kampung itu. “Nek, tolong istri saya,” pinta Towjatuwa, “Ia akan melahirkan.” “Baiklah, kau pulanglah dulu, aku segera menyusulmu,” kata nenek sang dukun bayi itu. Towjatuwa pun bergegas kembali ke rumahnya. Sementara itu, sang dukun menyiapkan alat persalinannya, lalu kemudian berangkat ke rumah Towjatuwa. Setiba di sana, ia mendapati istri Towjatuwa menjerit-jerit kesakitan. “Nek, tolong aku. Perutku sakit sekali,” rintih istri Towjatuwa. “Tenang, Cucuku,” kata sang dukun. Nenek dukun itu pun segera memeriksa kondisi istri Towjatuwa. Towjatuwa terlihat semakin resah, ia sangat takut jika terjadi apa-apa pada istrinya. “Bagaimana keadaannya, Nek? Kenapa istriku belum juga melahirkan?” tanya Towjatuwa. “Maaf, Towjatuwa. Sepertinya istrimu mendapat masalah. Bayi di dalam kandungan istrimu terlalu besar sehingga susah untuk keluar,” kata dukun itu. “Lalu, bagaimana cara menolongnya, Nek?” tanya Towjatuwa. “Aku membutuhkan rumput air dari Sungai Tami,” jawab nenek dukun.
Towjatuwa segera berlari menuju Sungai Tami. Setiba di sana, ia pun langsung mencari rumput air yang dimaksud oleh nenek dukun. Ia sudah mencari ke sana ke mari, namun rumput air itu belum juga ditemukannya. Ketika ia hendak melanjutkan pencarian, tiba-tiba terdengar suara mengerang dari arah belakangnya. “Hai, suara apa itu!” serunya dengan kaget. Begitu Towjatuwa menoleh ke belakang, tampaklah seekor buaya besar di belakangnya. Anehnya, punggung buaya itu ditumbuhi bulu-bulu burung kasuari. Buaya itu tampak sangat menyeramkan. Towjatuwa yang ketakutan hendak melarikan diri sebelum dirinya dimangsa oleh buaya itu. Namun, ketika ia mau meninggalkan tempat itu, tiba-tiba langkahnya terhenti oleh sebuah suara teguran. “Tunggu dulu, Towjatuwa!” seru suara itu. Towjatuwa pun menghentikan langkahnya dan kemudian menoleh ke arah buaya itu. “Apakah kamu yang memanggilku?” tanya Towjatuwa heran. “Benar, Towjatuwa. Akulah yang memanggilmu,” jawab buaya itu, “Namaku Watuwe, penguasa di Sungai Tami ini.” Alangkah terkejutnya Towjatuwa mendengar jawaban dari buaya itu. Ia seolah-olah tidak percaya bahwa ternyata buaya itu dapat berbicara seperti manusia. Buaya itu tiba-tiba mengerang kesakitan. Ternyata, ekor buaya itu terjepit batu besar. Towjatuwa yang iba melihat penderitaan buaya itu segera menolong dengan memindahkan batu besar yang menjepit ekor Watuwe. Setelah itu, Towjatuwa berniat pergi untuk melanjutkan pencarian rumput air. Namun, Watuwe kembali menghentikan langkahnya. “Sebentar, Towjatuwa! Kalau aku boleh tahu, apa yang sedang kamu cari di tempat ini?” tanya Watuwe. “Aku sedang mencari rumput air untuk membantu kelahiran istriku. Tapi, aku belum menemukannya,” jawab Towjatuwa. “Jangan khawatir, Towjatuwa,” ujar Watuwe, “Karena engkau telah menolongku, maka aku pun akan menolongmu. Tunggu aku di rumahmu nanti malam.” “Terima kasih sebelumnya, Watuwe,” ucap Towjatuwa dengan perasaan senang. Hari sudah sore. Towjatuwa pun bergegas pulang ke rumahnya. Malam harinya, buaya Watuwe datang ke rumah Towjatuwa. Istri Towjatuwa masih tampak kesakitan di atas pembaringan. Perlahan-lahan, buaya yang sakti itu mendekat untuk mengobatinya. Alhasil, dengan kekuatan ajaibnya, istri Towjatuwa pun melahirkan seorang anak laki-laki dengan selamat. Bayi itu diberi nama Narrowra. “Terima kasih, Watuwe,” ucap Towjatuwa dan istrinya.
“Sama-sama, Towjatuwa. Aku pun berterima kasih karena engkau telah menolongku,” kata Watuwe seraya berpamitan. Sebelum meninggalkan rumah itu, Watuwe mengatakan sesuatu kepada Towjatuwa tentang anaknya. “Ketahuilah, Towjatuwa. Kelak anak kalian akan tumbuh menjadi pemburu yang handal,” ungkap Watuwe, “Namun, aku berpesan kepada kalian, tolong jangan pernah membunuh dan memakanku. Jika suatu saat aku mati, ambillah kantung air seniku, lalu bawalah kantung itu ke Gunung Sankria. Di sana, manusia langit telah menanti kalian dan akan memberi petunjuk mengenai apa yang harus kalian lakukan.” Towjatuwa dan istrinya amat berterima kasih kepada Watuwe karena telah menolong kelahiran anak mereka. “Istriku, walaupun Watuwe berwujud binatang, ia sangat baik dan penyayang. Entah apa yang dapat kita perbuat untuk membalas budi baiknya kepada kita,” kata Towjatuwa kepada istrinya. “Satu-satu cara yang bisa kita lakukan untuk membalas kebaikannya adalah mengingat dan melaksanakan semua pesannya,” ujar sang istri. “Kamu, benar istriku,” kata Towjatuwa. Sejak itulah, Towjatuwa dan keturunannya selalu melindungi buaya ajaib itu serta buaya-buaya lainnya yang berada di Sungai Tami.

Terima kasih sudah membaca.

“TAMAT”






Cerita Rakyat Papua

“Biwar Sang Panakluk Naga”
Cerita Rakyat Papua



Di daerah Mimika, Papua, terdapat sebuah kampung yang dihuni oleh sekelompok suku Mimika. Mata pencaharian penduduk tersebut adalah memangkur sagu yang telah diwarisi secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Setiap hari, baik kaum laki-laki maupun perempuan, memangkur sagu di sepanjang aliran sungai di daerah itu.Suatu hari, beberapa orang dari penduduk kampung tersebut hendak mencari sagu dengan menggunakan perahu. Selain membawa alat berupa kapak dan pangkur, mereka juga membawa bekal berupa makanan dan minuman karena kegiatan memangkur sagu tersebut memerlukan waktu sekitar dua sampai tiga hari. Setelah beberapa lama melayari sungai, tibalah mereka di suatu tempat yang banyak ditumbuhi pohon sagu. Dengan penuh semangat, kaum laki-laki mulai menebang pohon sagu yang sudah bisa diambil sari patinya. Setelah rebah, pohon sagu itu mereka kuliti untuk mendapatkan hati sagu yang berada di dalamnya. Kemudian hati dari pohon itu mereka tumbuk hingga menyerupai ampas kelapa dengan menggunakan pangkur. Hasil tumbukan itulah yang disebut dengan sagu.
Selanjutnya, sagu tersebut mereka kumpulkan pada sebuah wadah bambu yang sudah dibelah, lalu mencampurinya dengan air. Setelah itu, kaum perempuan segera memeras sagu itu. Air perasan inilah yang mengandung sari pati sagu. Untuk mendapatkan sari pati tersebut, air perasan mereka biarkan beberapa saat hingga sari patinya mengendap di dasar wadah bambu. Setelah air perasan berubah dari warna putih menjadi jernih, air yang jernih tersebut mereka buang hingga yang tersisa hanyalah endapan inti sagu. Inti sagu itu kemudian mereka bentuk seperti bola tenis atau memanjang seperti lontong. Selanjutnya, sagu-sagu yang sudah siap dimasak tersebut mereka masukkan ke dalam wadah yang disebut dengan tumang, yaitu keranjang yang terbuat dari rotan. Setelah menaikkan semua tumang yang berisi sagu tersebut ke atas perahu, rombongan itu pun berlayar menyusuri sungai untuk kembali ke perkampungan. Saat perahu yang mereka tumpangi melewati sungai di daerah Tamanapia, tiba-tiba seeokar naga muncul dari dalam air dan langsung menyerang mereka. Hanya sekali kibas, ekor naga itu mampu menghancurkan perahu itu hingga berkeping-keping. Tak ayal, seluruh penumpangnya terlempar dan tenggelam di sungai, kecuali seorang perempuan yang sedang hamil dapat menyelamatkan diri.
Kebetulan perempuan hamil mampu meraih salah satu kepingan perahu yang telah hancur saat ia terlempar ke sungai. Kepingan perahu itulah kemudian ia jadikan sebagai pelampung hingga dapat sampai ke tepi sungai dan melarikan diri masuk dalam hutan. Untuk berlindung dari binatang buas, perempuan hamil itu tinggal di dalam sebuah gua yang ia temukan dalam hutan tersebut. Dalam keadaan hamil tua, perempuan yang malang itu berusaha mencari daun-daun muda dan umbi-umbian untuk bisa bertahan hidup. Suatu hari, dengan susah payah perempuan itu berjuang melahirkan seorang diri. Atas kuasa Tuhan, ia berhasil melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan dan diberinya nama Biwar. Kini, perempuan itu tidak lagi kesepian tinggal di tengah hutan tersebut. Ia pun merawat dan membesarkan Biwar dengan penuh kasih sayang. Saat Biwar tumbuh menjadi remaja, ia mengajarinya berbagai ilmu seperti cara memanah, menangkap binatang, dan membuat api. Selain itu, ia juga mengajari Biwar bermain tifa hingga mahir memainkan alat musik tersebut. Beberapa tahun kemudian, Biwar telah tumbuh menjadi pemuda yang tampan, kuat, dan gagah perkasa. Setiap hari ia membantu ibunya mencari lauk dengan cara memancing ikan di sungai. Ia juga membantu ibunya membuat sebuah rumah sederhana yang disebut dengan honai, yaitu rumah adat masyarakat Papua yang terbuat dari kayu dengan atap berbentuk kerucut dari jerami atau ilalang. Suatu hari, Biwar baru saja pulang dari memancing di sungai dengan membawa beberapa ekor ikan besar. Setiba di depan rumahnya, ia meletakkan ikan hasil tangkapannya itu di tanah seraya berteriak memanggil ibunya. “Mama..., Mama..., keluarlah lihat! Biwar membawa ikan yang besar-besar,” teriak Biwar. Mendengar teriakan itu, ibunya pun keluar dari dalam rumah seraya bertanya, “Dari mana kamu dapatkan ikan itu, Anakku?” “Tadi Biwar memancingnya di sebuah sungai yang dalam. Sungai itu banyak sekali ikannya dan pemandangan di sekitarnya amat indah,” ungkap Biwar, “Jika Mama ingin melihatnya, besok Biwar akan tunjukkan tempat itu.” Sang ibu menerima ajakan Biwar. Keesokan hari, berangkatlah mereka ke sungai yang dimaksud. Alangkah terkejutnya ibu Biwar saat tiba di sungai itu. Ia langsung teringat kepada almarhum suaminya. “Biwar, Anakku! Ketahuilah, ayahmu beserta keluarga dan teman-taman Mama tewas di sungai itu karena diserang oleh seekor naga!” ungkap sang ibu mengenang masa lalunya yang amat memilukan hati. Mendengar kisah sedih ibunya, Biwar bertekad untuk membinasakan naga itu. Namun, sang ibu mencegahnya. “Tapi, Biwar! Naga itu sangat ganas,” cegah ibunya.
“Tidak Mama. Bukankah Mama telah mengajarkan Biwar berbagai ilmu? Dengan ilmu itulah Biwar akan membinasakan naga yang menghilangkan nyawa Papa,” tegas Biwar. Sang ibu tidak mampu membendung tekad keras Biwar. Sebelum melaksanakan tekadnya, Biwar bersama ibunya pulang ke rumah untuk menyiapkan semua senjata yang diperlukan. Setelah menyiapkan tombak, golok, dan panahnya, Biwar pun berpamitan kepada ibunya untuk pergi mencari sarang naga itu di sekitar sungai. “Hati-hati, anakku!” ujar mama-nya. “Baik, Mama,” jawab Biwar seraya meninggalkan ibunya. Setiba di tepi sungai, Biwar melihat sebuah gua yang diduga sebagai tempat persembunyian naga itu. “Aku yakin naga itu pasti bersembunyi di dalam gua ini,” gumam Biwar. Dengan langkah perlahan-lahan, Biwar mendekati gua itu. Sesampai di depan mulut gua, ia segera mengambil tifa yang diselipkan di pinggangnya lalu meniupnya untuk memancing naga itu agar keluar dari dalam gua. Alunan musik tifa yang dimainkan Biwar benar-benar menarik perhatian sang naga. Tak berapa lama kemudian, terdengarlah suara gemuruh dari dalam gua. Mendengar suara itu, maka semakin yakinlah Biwar bahwa di dalam gua itulah sang naga bersarang. Ia pun segera bersiap-siap dengan golok di genggamannya untuk berjaga-jaga kalau-kalau naga itu datang menyerangnya. Ternyata benar, tak lama berselang, kepala naga itu tiba-tiba muncul di mulut gua. Tanpa berpikir panjang, Biwar segera melemparkan tombaknya ke arah kepala naga itu dan berhasil melukainya. Meskipun terluka parah, naga itu masih terlihat ganas. Maka sebelum naga itu menyerangnya, Biwar segera mencabut golok yang terselip di pinggangnya. “Terimalah pembalasan dari ayah dan keluargaku yang telah kau binasakan di sungai ini!” seru Biwar seraya memenggal kepala naga itu hingga nyaris putus. Tak ayal, naga itu jatuh terkulai di depan mulut gua. Melihat hal itu, cepat-cepat Biwar menimbun tubuh naga itu dengan bebatuan. Setelah memastikan naga itu benar-benar telah mati, ia pun segera pulang ke rumahnya untuk memberitahukan keberhasilannya membinasakan naga itu kepada ibunya. Betapa senangnya hati sang ibu mendengar berita gembira tersebut. “Naga telah menerima hukumannya. Kini hati Mama sudah lega,” ucap ibunya, “Segeralah buat perahu anakku lalu kita kembali ke perkampungan!” Keesokan harinya, Biwar pun membuat sebuah perahu kecil yang cukup ditumpangi mereka berdua. Dalam beberapa hari, perahu itu pun selesai dibuatnya dan siap untuk digunakan.
Akhirnya, dengan perahu itu, Biwar bersama ibunya berlayar mengarungi sungai menuju ke tanah kelahiran ibunya. Setiba di perkampungan, mereka pun disambut dengan gembira oleh penduduk setempat. Untuk merayakan keberhasilan Biwar sebagai pahlawan yang telah menaklukkan naga itu, mereka mengadakan pesta yang meriah.

Terima kasih sudah membaca.

“TAMAT”






Cerita Rakyat Papua

“Asal Mula Kerang di Nimboran”
Cerita Rakyat Papua


Di Desa Congwei, di daerah pantai utara Papua, hiduplah seorang pemuda bernama Wei. Masyarakat sekitar memanggilnya Tangi, yaitu seekor ular jadi-jadian. Jika siang hari ia berwujud ular besar, dan pada malam harinya berwujud manusia. Ia dapat berbicara serta makan dan minum layaknya manusia biasa. Menurut cerita, Wei datang dari langit menuju ke bumi melalui sebuah pohon yang disebut Ganemu, yaitu sejenis pohon yang buahnya enak dimakan.Ia tinggal di dalam sebuah gua yang menghadap ke laut dan membelakangi bukit di dekat pohon Ganemu tersebut. Ia memilih tinggal di gua itu agar mudah mencari ikan dan terlindung dari udara dingin pada malam hari. Di samping itu, ia juga tidak terganggu oleh orang lain. Di dalam gua itu, ia tinggal bersama seorang nenek yang senantiasa membantu mengurus segala keperluan hidupnya. Ketika turun dari langit, Wei membawa bibit tanaman seperti kelapa, pisang, dan biji sagu untuk dikembangbiakkkan di bumi. Selain itu, ia juga membawa biji pohon ajaib yang bernama Rawa Tawa Pisoya, yaitu sejenis pohon yang dapat berbuah kerang berharga yang nilainya sama dengan uang. Semua bibit tanaman tersebut ia tanam di sekitar tempat tinggalnya, sedangkan biji pohon ajaib itu ia tanam di dalam gua. Ketika pohon ajaib itu telah berbuah, Wei memamagari dan menutupinya dengan tikar agar buahnya tidak dimakan burung. Pada suatu hari, Wei pulang dari berburu ikan di pantai. Saat itu, ia sedang berwujud ular. Ia sangat terkejut ketika merayap hendak memeriksa pohon ajaibnya. Ia mendapati beberapa buah Rawa Tawa Pisoya yang masih muda berserakan di bawah pohon. “Hei, siapa yang memetik buah pohon ajaibku?” gumamnya. Betapa terkejutnya ia ketika menoleh ke atas pohon ajaib itu. Ia melihat dua orang gadis sedang asyik memetik buah yang sudah masak dan makan sepuasnya, dan membuang buah yang masih muda. Rupanya, kedua gadis itu kakak beradik, yaitu Lermoin (sulung) dan Yarmoin (bungsu). Wei tidak mau mengusik mereka, karena ia tahu mereka akan turun sendiri dari pohon itu. “Ah, pasti mereka akan turun jika sudah puas dan kenyang,” ucap Wei sambil mengawasi mereka dari bawah pohon. Saat sedang asyik menikmati buah ajaib itu, Yarmoin melihat ke bawah pohon. Ia baru sadar jika ada seekor ular besar sedang memperhatikan tindak-tanduk mereka. “Kakak, lihatlah ke bawah!Ada ular besar yang mengawasi kita!” seru Yarmoin.
 Ketika Lermoin melihat ke bawah, tiba-tiba ular besar itu berbicara. “Tenanglah, wahai gadis-gadis cantik!Aku tidak akan memangsa kalian,” kata Wei. Betapa terkejutnya kedua gadis kakak-beradik itu.Mereka tidak pernah mengira sebelumnya, jika ular besar itu dapat berbicara seperti manusia. “Hai, Kak! Rupanya ular itu bisa berbicara seperti kita.Sepertinya dia baik hati,” kata Yarmoin. Setelah puas makan buah ajaib itu, Lermoin dan Yarmoin segera turun dari pohon dan menghampiri ular besar itu. “Aku Yarmoin dan ini kakakku, Lermoin.Kami berasal dari daerah Danau Sentani. Kamu siapa dan di mana tempat tinggalmu, hai ular besar?” tanya Yarmoin usai memperkenalkan diri mereka. Wei pun memperkenalkan diri seraya menceritakan asal-usulnya. Setelah itu, Wei mengajak Lermoin dan Yarmoin ke tempat tinggalnya. Betapa terkejutnya kedua gadis itu setelah masuk ke dalam gua tempat tinggal Wei. Mereka melihat ruangan di dalam gua itu cukup lebar dan penataan ruangnya tidak jauh beda dengan rumah manusia. Di dalamnya terdapat ruang makan, kamar tidur, dan ruang dapur.Di ruang dapur terlihat banyak perlengkapan memasak yang ditata secara rapi.Melihat keadaan itu, kedua gadis tersebut baru menyadari bahwa Wei bukanlah ular biasa. “Hai, Wei! Siapa yang menata ruangan di dalam gua ini?” tanya Yarmoin. “Aku bersama nenekku,” jawab Wei.“Jika kalian senang, kalian boleh tinggal di sini.” Lermoin dan Yarmoin pun menerima ajakan Wei. Sejak itu, kedua gadis tersebut tinggal di dalam gua itu untuk sementara waktu. Yarmoin merasa senang dan selalu menunjukkan sikap yang ramah. Lain halnya dengan Lermoin , ia selalu menunjukkan sikap curiga terhadap Wei. Pada suatu sore, ketika Wei hendak mencari ikan di laut, Lermoin mengikutinya dari belakang secara diam-diam. Di depan mulut gua, Wei melepas dan menyimpan kulit ularnya di balik sebuah batu besar, dan seketika itu pula ia menjelma menjadi seorang pemuda tampan. Betapa terkejutnya Lermoin melihat peristiwa ajaib itu. Begitu Wei pergi ke laut, Lermoin segera mengambil kulit ular itu, lalu menyembunyikannya di tempat lain. Saat kembali dari laut, Wei pun kebingungan mencari pakaian ularnya.Ia sudah berusaha mencari ke mana-mana, namun tidak juga ditemukannya. Sejak itu, Wei berwujud manusia.Sifat dan perilakunya pun berubah.Ia menjadi pendiam dan merasa tidak betah lagi tinggal di dalam gua itu. Akhirnya, ia mengajak Lermoin dan Yarmoin dan neneknya untuk membangun rumah di dekat pohon Ganemu yang berada di luar gua. Sejak itu pula, kegemaran Wei juga berubah. Setiap hari ia sibuk mengumpulkan berbagai jenis serangga untuk dipelihara di dalam sebuah rumah yang disebut karaweri, yaitu sebuah bangunan khusus sebagai tempat untuk menenangkan hati.
Terkadang seharian penuh ia berada di dalam karaweri itu tanpa menghiraukan Lermoin dan Yarmoin. Pada suatu hari, Wei hendak ke hutan untuk mencari serangga. Sebelum berangkat, ia berpesan kepada neneknya. “Nek!Saya mau ke hutan mencari serangga.Hari ini saya pulang agak terlambat. Tolong awasi kedua gadis itu! Jangan biarkan mereka mendekati rumah karaweri!” ujar Wei. “Baik, Wei! Nenek akan mengawasi mereka,” jawab nenek Wei. Ketika Wei berangkat ke hutan, timbullah niat Lermoin ingin mengetahui isi rumah karawei itu. Agar tidak ketahuan, ia menyuruh adiknya untuk membantu nenek Wei memasak di dapur. Setelah itu, ia berpamitan kepada nenek Wei dengan alasan ingin pergi ke kebun mengambil sayuran.Tanpa curiga sedikit pun, nenek Wei pun mengizinkannya. Saat Yarmoin dan nenek Wei sedang asyik memasak, secara diam-diam ia berjalan mengendap-endap mendekati rumah karawei itu. Kemudian, ia mencoba mengintip ke dalam rumah itu melalui sebuah lubang kecil. Betapa takjubnya ia ketika menyaksikan sebuah taman yang dipenuhi oleh berbagai jenis serangga yang berwarna-warni di dalam rumah itu. Ada beragam jenis kupu-kupu, capung, serta berbagai jenis serangga lainnya.Semuanya di tempatkan dalam kurungan yang tersusun sangat rapi. “Wow, indah sekali pemandangan di dalam rumah ini!” ucap Lermoin dengan takjub. Melihat pemandangan yang menakjubkan itu, Lermoin pun semakin penasaran ingin mengetahui isi rumah itu lebih jauh. Perlahan-lahan, ia membuka pintu rumah karawei itu, lalu masuk ke dalamnya. Saat melihat jenis kupu-kupu yang bersayap tiga warna, ia pun semakin tidak tahan ingin memegangnya. Dengan hati-hati, ia membuka pintu kurungan kupu-kupu itu. Begitu kurungan itu terbuka, kupu-kupu tersebut beterbangan dan berhamburan keluar.Lermoin pun menjadi panik dan ketakutan.Ia berlari keluar dari rumah itu sambil berteriak meminta tolong. “Tolong... tolong... tolong... Kupu-kupunya kabur semua!” teriak Lermoin . Mendengar teriakan itu, Yarmoin dan nenek Wei pun segera datang untuk menolongnya.Namun, mereka tidak dapat berbuat apa-apa, karena kupu-kupu tersebut telah terbang jauh.Bahkan banyak di antaranya yang mati karena tertabrak dan lalu terinjak kaki Lermoin.Lermoin hanya bisa menangis dan menyesali perbuatannya. Sementara itu di tempat lain, Wei yang sedang asyik mencari serangga di hutan merasakan firasat buruk. Wadah serangganya tiba-tiba penuh dengan bangkai kupu-kupu. “Waduh, pasti gadis itu telah masuk ke dalam rumah karawei-ku,” pikirnya. Wei pun menghentikan pekerjaannya dan melepaskan semua serangga yang telah ditangkapnya. Dengan perasaan cemas, ia kemudian bergegas pulang. Betapa sedihnya hati Wei ketika melihat bangkai kupu-kupu piaraannya banyak berserakan di sekitar rumah karawei. Sambil meneteskan air mata, ia mengumpulkan bangkai kupu-kupu tersebut lalu menguburkannya, dan sebagian ia bungkus untuk dibawa masuk ke dalam rumah karawei.
Sejak peristiwa itu, Wei semakin tidak betah berada di tempat itu.Kakinya terasa panas jika menginjak tanah. Akhirnya, ia memutuskan untuk pindah ke tempat lain. Ia mencabut pohon ajaibnya dan mengambil beberapa buah bijinya yang sudah tua. Sebelum berangkat, ia berpesan kepada neneknya dan kedua gadis itu. “Jagalah rumah ini! Aku akan pergi ke Teluk Nubai. Jika kalian dan anak-cucu kalian kelak mendapat kesulitan, suruhlah mereka datang ke Teluk Nubai, agar persahabatan kita selalu terjalin.Kita bangun Teluk Nubai bersama-sama,” ujar Wei. Usai berpesan, berangkatlah Wei seorang diri menuju ke arah barat.Menurut empunya cerita, Wei berenang menyusuri pantai menuju Teluk Nubai dengan mengenakan pakaian kulit ikan jenis hiu. Setelah berhari-hari berenang melewati Hol Thaikang Nafri dan Tabati, akhirnya ia pun tiba di perairan Teluk Nubai di dekat Pulau Kayu Injau. Karena kelelahan, ia memutuskan untuk beristirahat di perairan itu. Ketika sedang asyik beristirahat, tiba-tiba sebuah anak panah melesat begitu cepat dan menancap di punggungnya. “Aduh... sakitnya!” teriak Wei sambil mengerang kesakitan. Begitu Wei menyembulkan kepalanya di permukaan air, tiba-tiba sebuah anak panah lagi kembali menancap di kepalanya.Ia pun semakin mengerang kesakitan. Lama-kelamaan, tubuhnya semakin lemah dan terapung di permukaan air.Siripnya yang menyerupai sirip ikan hiu itu berkilauan diterpa sinar matahari. Dengan pandangan yang mulai kabur, ia melihat sebuah perahu sedang menghampirinya. Ketika perahu itu mendekat, barulah ia sadar bahwa orang yang telah memanahnya adalah seorang nelayan. Nelayan itu bernama Sadembaro dari Pulau Kayu Injau.Namun, Wei tidak dapat berbuat apa-apa, karena tenaganya semakin lemah. Sadembaro kemudian mengangkat tubuh Wei naik ke atas perahu. Di atas perahu itu, ia mengamati wajah Wei. Ketika melihat kedua mata Wei masih berkedip, dengan sigap ia segera mengambil busur dan anak panahnya, lalu mengarahkannya ke kepala Wei. Mengetahui nyawanya terancam, Wei pun segera berteriak dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya. “Jangan, Tuan! Jangan panah aku! Aku bukan ikan hiu!” iba Wei. Mendengar teriakan Wei, Sadembaro tersentak kaget.Ia tidak jadi memanah kepala Wei. `Hai, kamu siapa? Kenapa kamu bisa berbicara seperti manusia?” tanya Sadembaro. “Maaf, Tuan! Tolong lepaskan dulu anak panah yang menancap di tubuhku ini! Biar aku bisa menjawab pertanyaan Tuan dengan baik,” pinta Wei sambil menahan rasa sakit. Sadembaro pun membawa tubuh Wei ke daratan Pulau Kayu Injau, dan segera mencabut anak panah yang menancap di tubuh Wei, lalu mengobatinya dengan akar-akar kayu yang telah dilumat dengan dedaunan.Beberapa saat kemudian, luka Wei pun sembuh dan tenaganya kembali pulih. Perlahan-lahan, ia membuka kulit penutup kepala ikannya, sehingga tampaklah wajah tampannya. Ia kemudian menceritakan asal-usulnya kepada Sadembaro.
Setelah itu, Wei kemudian bertanya kepada Sadembaro. “Tuan sendiri siapa dan dari mana asal Tuan?” tanya Wei. “Aku Sadembaro. Aku tinggal di pulau ini bersama kakakku yang bernama Sibi,” jawab Sadembaro. Setelah mendengar cerita Sadembaro, Wei pun menyampaikan ucapan terima kasih kepadanya karena telah menolongnya. “Terima kasih atas pertolonganmu, Sadembaro!Sebagai ucapan terima kasih, aku akan membuatkan kamu sebidang kebun sagu di daerah ini,” kata Wei. Sadembaro pun menerima pemberian Wei dengan senang hati.Dengan kesaktian yang dimilikinya, Wei berhasil membuat sebidang kebun sagu dalam waktu sekejap.Wei menamai kebun itu Yachmani. Setelah itu, ia berpesan agar Sadembaro merawat tanaman sagu tersebut dengan baik, sehingga hasilnya dapat bermanfaat hingga anak- cucunya kelak. Usai berpesan, Wei segera mengenakan kulit ikannya dan berpamitan kepada Sadembaro hendak melanjutkan perjalanan menuju Nubai. Ketika ia hendak terjun ke laut, Sadembaro segera mencegahnya. “Wei, jangan pergi dulu!Aku mempunyai saran untukmu,” cegah Sadembaro. “Apakah saranmu itu, Sadembaro?” tanya Wei. “Sebaiknya kamu tinggal sini saja. Aku khawatir orang-orang di Nubai akan membunuhmu. Di sebelah barat Pulau Kayu Injau ini terdapat celah batu.Tempat itu sangat aman untuk berlindung,” ujar Sadembaro. Wei pun menerima saran Sadembaro.Mereka kemudian pergi ke tempat yang diceritakan Sadembaro itu untuk melihat keadaannya.Ternyata benar, di tempat itu terdapat sebuah celah batu.Wei segera terjun ke laut untuk memeriksa keadaan tempat itu.Setelah diperiksa, ternyata celah batu itu sangat sempit, tidak dapat mampu memuat tubuhnya.Oleh karena itu, Wei memutuskan untuk tetap meninggalkan daerah itu. “Maafkan aku, Sadembaro!Aku terpaksa harus pergi. Jika aku tinggal di sini, pasti keluargaku akan mengetahui keberadaanku. Izinkanlah aku mohon diri,” ucap Wei. “Jangan pergi, Wei!Tinggallah di sini, aku akan melindungimu!” seru Sadembaro. Meskipun Sadembaro telah berusaha keras mencegahnya, namun Wei bersikeras untuk pergi meninggalkan tempat itu. Sebelum pergi, ia berpesan kepada Sadembaro agar memberikan sebagian hasil sagu tersebut kepada kelurganya. Ia juga berpesan kepada Sedambaro, jika memotong pohon sagu hendaknya jangan sampai dihabisi semua. Tapi, sebaiknya disisakan satu atau dua batang, kemudian beralih menebang pohon sagu yang lain. Dengan demikian, tanaman sagu tersebut dapat terus tumbuh dan berkembang biak, sehingga Sadembaro dan anak-cucunya kelak tidak kekurangan makanan.
Setelah menyampaikan pesan tersebut, Wei pun berangkat menuju ke arah barat menuju ke Kampung Tarfia.Ia ingin membantu penduduk kampung itu, karena menurut kabar dari Sadembaro, mereka sering kelaparan. Saat ia tiba di kampung Tarfia, hari masih sore. Penduduk setempat masih sibuk mencari ikan di laut.Ia pun mendekati seorang nelayan yang sedang duduk sendiri di atas perahunya. “Maaf, Pak Tua! Aku datang untuk membantu kalian,” kata Wei. Betapa terkejutnya lelaki tua itu ketika melihat Wei yang berwujud ikan.Dengan panik, orang tua itu segera mengambil tombaknya dan mengarahkannya kepada tubuh Wei.Melihat ancaman itu, Wei hanya tenang-tenang saja. “Tombaklah aku, Pak Tua!Aku relah mati demi keselamatan penduduk dari bahaya kelaparan. Bagikan dagingku kepada semua penduduk! Tapi, kalian jangan makan perut besarku, tapi tanamlah di kebun belakang rumahmu! Kelak akan tumbuh sebuah pohon ajaib!” ujar Wei. Nelayan itu kebingungan dan hatinya masih ragu untuk menancapkan tombaknya ke tubuh Wei.Setelah didesak terus-menerus oleh Wei, tanpa ragu lagi, akhirnya nelayan itu menombak tubuh Wei berkali-kali.Wei pun mati seketika.Nelayan itu segera berteriak meminta bantuan kepada nelayan lainnya untuk membawa tubuh Wei ke daratan.Akhirnya, para nelayan beramai-ramai mengangkat tubuh Wei naik ke perkampungan.Mereka memotong-motong daging Wei dan membagikannya kepada seluruh penduduk Tarfia, sedangkan perut besarnya mereka tanam di kebun sesuai dengan permintaan Wei. Beberapa tahun kemudian, tumbuhlah sebatang pohon ajaib yang berbuat sangat lebat.Anehnya, buahnya mengeluarkan bau busuk seperti bau bangkai ikan.Bau tersebut membuat kepala seluruh penduduk Tarfia menjadi pusing, bahkan banyak yang muntah-muntah. Karena tidak tahan mencium bau bangkai yang menyengat itu, akhirnya mereka bersepakat untuk memindahkan pohon ajaib warisan Wei itu ke tempat lain. Para orang tua yang memiliki kesaktian segera mencabut pohon ajaib itu dan kemudian melemparkannya ke Kampung Nimboran di daerah pendalaman.Ajaibnya, buah-buah yang berbau busuk tersebut pecah berhamburan dan mengeluarkan kerang-kerang kauri, yaitu alat pembayar yang berharga (senilai uang) di masa itu.

Terima kasih sudah membaca.

“TAMAT”





Cerita Dari Sulawesi Utara

“Legenda Tulap Dan Lelaki Tua”
Cerita Dari Sulawsesi Utara


Syahdan di sebuah hutan belantara hiduplah raksasa ganas bernama Tulap. Ia dikenal pemangsa manusia dan juga hewan-hewan di hutan. Orang-orang yang berani memasuki hutan belantara itu akan dimangsa Tulap. Setiap hari, Tulap si Raksasa berburu manusia dan juga hewan di wilayah hutan belantara. Pada suatu hari ketika Tulap si Raksasa tengah berburu, ia mendapati seorang lelaki tua. Segera didekati dan dihardiknya lelaki tua itu, "Apa yang engkau lakukan di sini, hei lelaki tua?" Tak terkirakan terkejutnya si lelaki tua ketika mendapati Tulap si Raksasa telah berada di dekatnya. Tubuhnya langsung gemetar. Dengan terbata-bata ia menjawab, "Aku sedang men mencari kayu bakar. Tulap si Raksasa terlihat senang melihat si lelaki tua ketakutan. Ia tidak ingin memangsa lelaki tua itu ketika itu. Ia pun mengajak si lelaki tua untuk mencari burung untuk santapannya. Si lelaki tua terpaksa menuruti ajakan Tulap si Raksasa. Jika ia menolak, bisa dipastikannya jika Tulap si Raksasa akan segera memangsanya. Sambil berjalan bersama Tulap, ia akan mencari cara agar terlepas dari raksasa ganas pemangsa manusia itu. Tulap si Raksasa meminta si lelaki tua berjalan di depannya. Si lelaki tua kian ketakutan. Dengan berjalan di depan Tulap, ia khawatirjika raksasa itu langsung menangkap dan memangsanya. Hingga mereka berjalan beberapa saat, kekhawatiran si lelaki tua tidak terwujud. Tulap si Raksasa tampaknya belum berhasrat memangsa si lelaki tua ketika itu.
Dalam perjalanan itu si lelaki tua melihat peniti dan jarum tergeletak di jalan. Tulap si Raksasa juga melihatnya. Ia malah memerintahkan si lelaki tua untuk mengambil peniti dan jarum itu untuk dibawa pulang ke rumahnya. Keduanya kembali meneruskan perjalanan hingga di sebuah tempat mereka melihat sebuah pohon pisang yang tengah berbuah. Sebagian buah-buah pisang itu telah masak. Tulap si Raksasa memerintahkan si lelaki tua untuk memetik buah-buah pisang yang telah masak. Setelah berjalan beberapa saat, keduanya memutuskan untuk sejenak beristirahat. Ketika itu mereka melihat sebatang kayu pemukul yang biasa digunakan untuk memukul sagu. Tulap si Raksasa memerintahkan si lelaki tua untuk mengambil kayu pemukul itu. Setelah beristirahat sejenak, mereka kembali meneruskan perjalanan. Dalam perjalanan itu si lelaki tua hampir menginjak seekor tikus jantan besar. Tulap si Raksasa lalu berkata, "Tikus jantan, ikutlah engkau dengan kami untuk mencari makanan yang lezat." Tikus jantan yang ketakutan terpaksa menuruti ajakan Tulap si Raksasa. Jika ia menolak atau melarikan diri, niscaya Tulap si Raksasa akan menangkap dan memangsanya.
Dalam perjalanan berikutnya, mereka bertemu dengan seekor lipan besar. Tulap si Raksasa juga mengajak lipan besar itu untuk turut bersamanya. Lipan besar yang takut dimangsa Tulap si Raksasa terpaksa pula menurut. Ia turut bergabung dengan si lelaki tua dan tikus jantan. Tak berapa lama kemudian mereka bertemu dengan seekor burung mutuo yang hendak bertelur. Tulap si Raksasa mengajak burung mutuo itu untuk turut bersamanya. Katanya, "Engkau dapat membuat sarang dan bertelur dengan nyaman di rumahku." Burung mutuo terpaksa pula mengikuti ajakan Tulap si Raksasa karena takut dimangsa raksasa ganas itu. Setelah berjalan beberapa saat, Tulap si Raksasa merasa lelah. Ia ingin beristirahat sejenak. Namun, ia memerintahkan si lelaki tua, tikus jantan, lipan besar, dan burung mutuo untuk berjalan terlebih dulu. Ia akan menyusul kemudian. Sambil berjalan, si lelaki tua mengungkapkan kekhawatirannya. "Pada akhirnya," katanya, "Tulap akan memangsa kita semua." Ucapan si lelaki tua disetujui tikus jantan, lipan besar, dan burung mutuo. Ketiga hewan itu sangat yakin, setibanya mereka di rumah Tulap, mereka semua akan dimangsa Tulap. "Lantas, apa langkah yang sebaiknya kita lakukan?" tanya tikus jantan. "Kita akan terus merasa terancamjika raksasa ganas itu masih hidup," ujar si lelaki tua. "Satu satunya cara untuk menyelamatkan diri kita masing-masing adalah dengan melenyapkan raksasa ganas itu untuk selama-lamanya!" Lipan besar mengemukakan pertanyaannya, "Lelaki tua, apakah engkau mempunyai cara untuk itu?"
Setelah merenung beberapa saat, si lelaki tua mengemukakan rencananya. Mereka akan berbagi tugas untuk melenyapkan Tulap si Raksasa. Jika mereka nanti mendapati Tulap telah tertidur, si lelaki tua akan meletakkan jarum dan peniti di dekat tempat Tulap tidur. Ia juga akan meletakkan kulit-kulit pisang di depan pintu rumah Tulap. Si lelaki tua meminta tikus jantan untuk menggigit daun telinga Tulap ketika tidur. Lipan besar bertugas menggigit lengan Tulap. Burung mutuo bertugas mengepak-ngepakkan sayap untuk mematikan lampu di rumah Tulap dan kemudian mengepak-ngepakkan sayapnya di dekat mata Tulap agar mata Tulap terkena debu. Tikus jantan, lipan besar, dan burung mutuo menyetujui saran si lelaki tua. Mereka terus mematangkan rencana seraya terus berjalan beriringan menuju rumah Tulap. Tulap si Raksasa pulang ke rumahnya setelah mendapatkan mangsa. Ia terlihat kekenyangan dan juga kelelahan. Sesampainya di rumah, ia langsung tertidur. Lelap sekali tidurnya raksasa ganas pemangsa manusia dan hewan itu. Kisah Cerita Rakyat Nusantara Tulap Dan Lelaki Tua Rencana si lelaki tua segera diwujudkan. Si lelaki tua meletakkan jarum dan peniti di dekat Tulap si Raksasa tidur Ia juga memasang kulit-kulit pisang di depan pintu rumah Tulap. Si lelaki tua lantas bersiaga dengan kayu pemukul di balik pintu. Tikus jantan lalu beraksi. Dengan gigi-giginya yang tajam ia menggigit daun telinga Tulap. Tulap si Raksasa yang kesakitan langsung terbangun clan bangkit. Dengan kelopak mata yang masih terkatup ia meloncat dari tempat tidurnya. Ketika kedua kakinya menginjak lantai, ia berteriak kesakitan karena kedua kakinya itu terkena jarum dan peniti yang dipasang si lelaki tua. Tulap si Raksasa lantas berniat menuju sumur untuk mencuci wajahnya. Burung mutuo segera beraksi. Ia mengepak-ngepakkan kedua sayapnya hingga lampu di rumah Tulap Si Raksasa menjadi padam. Debu-debu beterbangan di dekat mata Tulap karena burung mutuo itu terus mengepak-ngepakkan kedua sayapnya. Mata Tulap kemasukan debu hingga ia tidak bisa melihat. Dengan meraba-raba ia pun berjalan menuju sumur. Ia hendak membasuh wajahnya untuk menghilangkan debu yang membuatnya tidak bisa melihat.
Giliran lipan besar yang beraksi sesuai rencana yang digagas si lelaki tua. Ia menggigit lengan Tulap hingga Tulap menjerit kesakitan. Tulap si Raksasa mengurungkan niatnya ke sumur. Ia menuju pintu luar rumahnya, tetap dengan berjalan seraya meraba-raba. Tulap langsung jatuh setelah ia menginjak kulit pisang. Keras berdebum ketika tubuh raksasa ganas itu menghentak tanah. Si lelaki tua segera menghantamkan kayu pemukulnya ke kepala Tulap si Raksasa. Begitu keras hantaman itu hingga Tulap roboh terjengkang dan akhirnya tewas. Si lelaki tua dan tiga hewan itu akhirnya kembali ke rumah masing-masing. Mereka merasa lega karena terbebas dari bahaya yang mengancam jiwa mereka. Tak ada lagi raksasa ganas yang harus mereka takuti.

Terima kasih sudah membaca.

“TAMAT”






Cerita Dari Sulawesi Utara

“Sigarlaki Dan Limbat”
Cerita Dari Sulawesi Utara



Kemenangan Sebuah Kejujuran sangat terlihat pada Cerita Rakyat Dari Sulawesi Utara ini. Siapapun orang yang jujur maka pada akhirnya Tuhan akan menolongnya. Hal yang sama terjadi pada Cerita Rakyat Sulawesi Utara yang akan kakak ceritakan malam hari ini. Kisah ini menceritakan Sigarlaki dan Limbat yang merupakan pemburu. Apa yang terjadi pada Limbat dan Sigarlaki? Kita ikuti kisah lengkapnya. Cerita Rakyat dari Sulawesi Utara : Kemenangan Sebuah Kejujuran
Sigarlaki dan Limbat – Cerita Rakyat Sulawesi Utara Sigarlaki adalah seorang pemburu yang luar biasa. Ia sangat jitu menombak hewan buruannya. Itulah sebabnya hidupnya tak pernah berkekurangan. Sigarlaki memiliki seorang pembantu yang setia, namanya Limbat. Limbat adalah pemuda yang sederhana. Sejak kecil ia sudah hidup sendiri. Jadi, ketika Sigarlaki menawarinya untuk menjadi pembantunya, Limbat tak menolak. Sehari-hari, Limbat mempersiapkan keperluan berburu tuannya. Se lain itu ia juga mengurus rumah dan memasak. Meskipun Limbat adalah seorang pria, ia tak mengalami kesulitan untuk mengerjakan semua itu. "Limbat... cepatlah! Hari sudah hampir siang," teriak Sigarlaki.
Limbat berjalan dengan tergesa-gesa membawa seperangkat alat berburu. Hari ini Sigarlaki akan pergi berburu lagi, dan seperti biasa Limbat harus mempersiapkan semua kebutuhannya. "Aku pergi dulu ya. Jangan lupa, persediaan daging itu kau jual ke pasar. Sisanya masaklah untuk makan siang kita," pesan Sigarlaki sebelum pergi. Limbat mengangguk "Tentu, Tuan, aku tak akan lupa." Setelah tuannya pergi, ia segera menimbang daging yang akan dijual ke pasar. Kemarin tuannya berhasil mendapatkan seekor rusa yang gemuk. "Ah, semuanya sudah siap. Sekarang aku mandi dulu," katanya dalam hati. Limbat mandi dengan riang. Ia tak menyadari, pintu rumah terbuka lebar. Seorang pencuri masuk dan mencuri semua daging rusa yang sudah ia siapkan. Pencuri itu juga mengambil daging yang Limbat siapkan untuk makan siang. Limbat sangat terkejut mendapati semua dagingnya hilang. Cerita Rakyat dari Sulawesi Utara Limbat "Astaga, siapa yang mengambil daging itu?" Limbat berlari ke dapur. "Ya ampun, daging yang hendak kumasak pun hilang! Gawat sekali, tuanku pasti marah besar jika tahu." Seharian itu Limbat hanya duduk termenung. Ia bingung, bagaimana caranya ia menjelaskan kejadian itu pada Sigarlaki. Menjelang sore, Sigarlaki sampai di rumah. Wajahnya terlihat masam, dan ia tak membawa seekor hewan buruan pun.
"Selamat sore Tuan, hewan apa yang berhasil Tuan tangkap kali ini?" tanya Limbat dengan cemas. Sambil mendengus kesal, Sigarlaki menjawab, "Ternyata aku tak sehebat yang kukira. Hari ini hewan buruanku lolos semua." Limbat terdiam, ia bingung bagaimana menjelaskan kejadian yang menimpanya. Tiba-tiba Sigarlaki bertanya "Berapa uang yang kau dapat dari hasil menjual daging pagi tadi?" Bagai disambar petir, Limbat pun kebingungan. "Eh... anu... eh.. maaf Tuan. Ada orang yang mencuri daging itu saat aku mandi," jawabnya terbata-bata. "Apa? Mana mungkin ada orang yang berani melakukan hal itu padaku. Aku tak percaya omonganmu! Atau... hmmm... jangan- jangan kau sendiri yang mencuri dagingku?" teriak Sigarlaki. "Tidak Tuan, benar ada orang yang mencuri daging itu. Mana mungkin aku berani berbuat curang pada Tuan?" Sigarlaki benar-benar marah. Ia merasa sangat sial hari itu. Sigarlaki terus menuduh Limbatah yang mencuri dagingnya. "Kau harus membuktikan bahwa memang bukan kau pencurinya. Sekarang, ikut aku ke sungai," perintahnya pada Limbat. Meskipun tak mengerti, Limbat menuruti perintah tuannya. Cerita Rakyat dari Sulawesi Utara Sigarlak "Menyelamlah ke dalam sungai ini. Aku akan menancapkan tombakku ke dasar sungai. Jika tombak ini lebih dulu keluar daripada kau, maka kau memang tak bersalah. Namun jika kepalamu yang keluar lebih dulu, berarti kau pencurinya," kata Sigarlaki. Limbat sungguh ketakutan. Mana bisa ia menyelam begitu lama, dan mana mungkin tombak itu bisa keluar sendiri dari sungai? Ia sangat cemas.
Limbat tak bisa mengelak. Ia pun menyelam ke dasar sungai dan Sigarlaki menancapkan tombaknya. Tapi, baru beberapa detik berjalan, Sigarlaki melihat seekor babi hutan melintas. Ia segera mencabut tombaknya dan mengejar babi hutan itu. Sayangnya, babi hutan itu lari dengan cepat dan Sigarlaki kehilangan jejaknya. Limbat pun keluar dari sungai dengan lega. "Tuan, sudah terbukti bukan aku yang mencuri daging Tuan," katanya. "Enak saja, itu tadi hanya kebetulan. Kau harus mengulanginya sekali lagi," jawab Sigarlaki. Rupanya ia masih belum percaya kalau Limbat berkata jujur. "Jika kali ini kau berhasil, aku baru percaya padamu," tambah Sigarlaki. Terpaksa, Limbat menyelam untuk kedua kalinya. Dengan penuh percaya diri, Sigarlaki sekali lagi menancapkan tombaknya. Tiba-tiba, "Aduuhh... kakiku!" teriaknya.
Ternyata seekor kepiting berukuran besar mencapit kakinya. Sigarlaki kesal sekali, ia lalu mencabut tombaknya. Sambil terpincang-pincang, ia berusaha memukul kepiting itu dengan tongkatnya. Untuk kedua kalinya Limbat keluar dari sungai. Dalam hati ia geli menyaksikan tuannya lari terpincang-pincang. Ia bersyukur, kejujurannya teIah terbukti. Limbat mengejar tuannya dan mengajaknya pulang ke rumah. "Maafkan aku Limbat, ternyata kau memang jujur padaku," kata Sigarlaki. Limbat hanya tersenyum. Sejak saat itu, Sigarlaki tak pernah lagi menuduhnya dengan sembarangan.

Terima kasih sudah membaca.

“TAMAT”