“Banta Seudang”
Banta Seudang
adalah putra Raja
Kerajaan Aceh. Ia
bersama ayah dan
ibunya dicampakkan oleh Pakciknya sendiri, karena ayahnya buta
dan tidak dapat lagi melaksanakan tugas-tugas kerajaan. Suatu ketika, Banta Seudang
pergi merantau untuk mencari obat mata untuk ayahnya dengan harapaan dapat
kembali menjadi raja. Berhasilkah Banta Seudang menemukan obat mata untuk
ayahnya? Ini ceritanya.
Aliksah, di
Negeri Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia, hiduplah seorang Raja yang adil dan
bijaksana. Sang Raja mempunyai
seorang permaisuri yang
sedang hamil tua. Suatu ketika, sang Raja pergi berburu
binatang ke hutan. Ketika itulah permaisurinya melahirkan seorang anak lakilaki
yang tampan di istana, dan
diberinya nama Banta Seudang. Namun, malang nasib bagi sang
Raja, karena ia
tidak
bisa melihat wajah
tampan putranya. Kedua matanya buta terkena ranting kayu saat berburu di
hutan. Sejak saat itu, ia
tidak dapat melaksanakan
tugas-tugas kerajaan lagi. Oleh karena Banta Seudang masih bayi, maka tahta
kerajaan ia serahkan untuk sementara kepada adik kandungnya.
Namun, sang Adik yang
baru diangkat menjadi
raja itu sangat
licik dan serakah.
Ia
membuatkan sebuah rumah
agak jauh dari
istana untuk tempat
tinggal kakaknya bersama
istri dan Banta Seudang. Raja
baru itu setiap hari mengirim bantuan makanan untuk kebutuhan sehari-hari sang
Kakak bersama keluarganya.Waktu
terus berjalan. Banta
Seudang tumbuh menjadi
remaja yang tampan.
Ia pun mulai
bertanyatanya kepada ibunya
tentang siapa yang
memenuhi kebutuhan hidup
mereka sehari-hari, padahal ayahnya buta. “Maaf, Ibu! Bolehkah
aku bertanya sesuatu kepada Ibu,” kata Banta. “Ada apa, Anakku? Katakanlah!”
seru sang Ibu. “Dari mana kita mendapat makanan setiap hari, padahal Ayah tidak
pernah bekerja?” tanya Banta ingin tahu.
“Ketahuilah,
Anakku! Kebutuhan hidup sehari-hari kita dibantu oleh Pakcikmu yang kini
menjadi Raja,” jawab ibunya. “Pakcik baik hati sekali ya Bu,” kata Banta. “Iya,
Anakku!” jawab sang Ibu sambil tersenyum seraya membelai-belai rambut si Banta.
Pada suatu hari, sang Ibu bersama Banta
Seudang pergi menghadap sang Raja. Di hadapan Raja, sang Ibu memohon kepada
Raja untuk membantu Banta Seudang agar bisa bersekolah. Namun, permohonan sang
Ibu ditolak oleh sang Raja. “Dasar
kalian tidak tahu diri!
Dikasih sedepa minta
sejengkal pula. Bukankah semua
kebutuhan hidup sehari-hari kalian telah aku penuhi!” bentak sang Raja. Alangkah sedihnya
hati sang Ibu
mendengar bentakan itu.
Ia pun mengajak
Banta kembali ke
rumah. Sesampainya di rumah, Banta Seudang berusaha menenangkan hati
ibunya. “Sudahlah, Bu! Ibu tidak usah bersedih begitu. Kita seharusnya
bersyukur karena Pakcik sudah banyak membantu kita,” bujuk si Banta. “Banta!
Kamu memang Anakku yang baik. Tapi,kamu harus sekolah seperti teman -teman
sebayamu,” kata sang Ibu.
Mendengar
perkataan itu, si Banta tiba-tiba berpikir bahwa apa yang dikatakan ibunya itu
benar. Maka timbullah pikirannya untuk
mencari obat mata
untuk ayahnya. Jika
kelak ayahnya bisa
melihat lagi, tentu sang Ayah
bisa mencari nafkah sendiri dan dapat membantu biaya sekolahnya. Pada suatu
hari, Banta Seudang menyampaikan niatnya kepada ibunya. “Bu, Banta ingin pergi
mencari obat mata untuk Ayah agar dapat kembali bekerja seperti biasanya dan
Banta pun bisa sekolah,” ungkap Banta Seudang. “Baiklah, Anakku! Ibu
merestuimu. Pergilah mencari obat
mata untuk Ayahmu.
Ibu doakan semoga kamu berhasil,”
kata sang Ibu.
Sang Ibu pun
menyampaikan maksud Banta tersebut kepada ayah Banta. Dengan senang hati, sang
Ayah pun merestui perjalanan Banta mencari obat. Keesokan harinya, dengan bekal seperlunya,
berangkatlah Banta Seudang untuk mencari obat. Ia berjalan seorang diri
menyusuri hutan belantara, menyeberangi sungai, menaiki gunung, dan menuruni
lembah-lembah. Setelah berbulan-bulan berjalan, ia pun tiba di sebuah hutan
rimba yang dipenuhi oleh pohon-pohon besar. Di tengah hutan itu, ia menemukan
sebuah balai. Ia pun memutuskan untuk melepas lelah di balai itu. Ketika sedang
merebahkan tubuhnya, tiba tiba hatinya bertanya-tanya.
“‘Kenapa ada
balai di tengah hutan ini? Wah, pasti
ada orang yang tinggal di sekitar sini,” pikirnya dalam hati. Ternyata benar.
Menjelang waktu Ashar, tiba-tiba beberapa orang berjubah putih datang ke balai
itu. Mereka lalu melakukan shalat secara berjamaah. Dengan hati bertanya-tanya,
Banta hanya diam sambil
memerhatikan perilaku orang-orang
tersebut. Beberapa saat kemudian, Banta tiba-tiba melihat sebuah peristiwa ajaib.
Begitu selesai
shalat, orang-orang yang
berjubah putih tersebut
tiba-tiba menghilang dari
pandangan matanya. Rupanya, Banta tidak
tahu bahwa mereka itu adalah arwah-arwah para Aulia (Wali) Allah.
Setelah menyaksikan peristiwa
itu, Banta kemudian
berpikir akan mendekati
imamnya ketika para Wali tersebut melaksanakan shalat. “Jika mereka
selesai shalat, aku akan langsung memegang tangan sang Imam agar tidak
menghilang,” pikirnya. Banta
Seudang pun tinggal
di balai itu
menunggu kedatangan para
Wali. Ketika waktu
shalat Magrib tiba, para
Wali tersebut datang
untuk melaksanakan shalat.
Banta Seudang pun
segera duduk di
samping imam. Begitu imam selesai
shalat, ia langsung memegang tangannya.
“Hai, Anak Muda!
Kenapa kamu memegang tanganku?” tanya imam itu. ‘Maaf, Tuan! Saya memegang
tangan Tuan supaya tidak menghilang,” jawab Banta. “Kalau saya
boleh bertanya, siapakah
Tuan-tuan ini sebenarnya?
Kenapa Tuan-tuan bisa
tiba-tiba muncul dan menghilang begitu saja?” tanya Banta heran.“Kami
adalah para Aulia Allah,” jawab imam itu. “Engkau sendiri siapa? Kenapa bisa
berada di tempat ini?” imam itu balik bertanya kepada Banta. “Saya Banta
Seudang, Tuan! Saya hendak mencari obat mata untuk Ayah saya,” jawab Banta. ‘Memang
kenapa mata Ayahmu?” tanya imam itu. “Mata ayah saya buta, Tuan! Saya ingin
agar mata Ayah saya bisa melihat lagi,” jawab Banta. “Engkau adalah anak yang
berbakti. Baiklah kalau begitu, kamu tunggu di sini saja. Nanti akan datang
gajah putih ke
balai ini. Ikuti
gajah putih itu ke mana
pun pergi,” ujar
sang Imam dan
langsung menghilang.
Betapa senang
hati Banta Seudang mendapat petunjuk dari Wali itu. Tidak berapa lama ia
menunggu, tiba-tiba datanglah seekor gajah putih ke balai itu. Setelah mendapat
isyarat dari gajah itu, Banta pun segera naik ke atas punggung gajah. Sang
gajah berjalan menyusuri hutan belantara menuju ke sebuah lembah di
mana terdapat sebuah
sungai yang sangat
jern ih airnya. Di
pinggir sungai terdapat
sebuah pohon besar yang dihuni oleh Jin Pari yang memiliki baju terbang.
Melihat kedatangan Banta bersama gajah putih itu, Jin Pari pun segera menyambut
mereka.
“Jangan takut,
Anak Muda! Aku
sudah tahu maksud
kedatanganmu kemari. Kamu ingin
mencari obat mata untuk Ayahmu
bukan?” tanya Jin Pari kepada Banta.“Benar, Jin Pari!” jawab Banta.
“Baiklah kalau begitu. Aku tahu cara untuk
menyembuhkan mata Ayahmu. Di tengah
sungai itu, terdapat sebuah bunga
ajaib, namanya bunga bangkawali,” ungkap Jin Pari. “Bagaimana saya bisa
mendapatkannya, Jin?” tanya Banta bingung. Jin Pari pun bercerita kepada Banta Seudang bahwa setiap
jumat ada tujuh putri
raja dari negeri lain datang
ke sungai itu
untuk mandi-mandi.
Untuk menjaga
sungai itu, raja
negeri lain menugaskan seorang perempuan tua bernama Mak
Toyo. Ia tinggal di sekitar sungai itu. Setiap kali ketujuh putri raja
selesai mandi di
sungai itu, Mak Toyo
turun ke sungai
untuk menepuk air
tiga kali. Setelah itu
bunga ajaib ‘bangkawali’ akan muncul di atas permukaan air. Oleh karena
itu, Banta harus meminta bantuan Mak Toyo untuk mendapatkan bunga ajaib itu. Pada
suatu malam, Jin Pari bersama Banta Seudang mendatangi tempat tinggal Mak Toyo.
Perempuan penjaga sungai itu pun bersedia membantu Banta mendapatkan bunga
bangkawali itu, tapi dengan satu syarat. “Cucuku, jika
ingin mendapatkan bunga
bangkawali itu, kamu
harus mengambilnya sendiri
dengan berenang ke tengah sungai itu,” ujar Mak Toyo kepada Banta.
Setelah mendapat
penjelasan dari Mak Toyo, Jin Pari dan Banta pun mohon diri. Untuk melaksanakan
syarat Mak Toyo, Banta harus menunggu hingga hari jumat. Maka ketika hari jumat
tiba, ketujuh putri raja yang
cantik-cantik tersebut datang
dengan baju terbang
mereka hendak mandi
di sungai. Usai berganti pakaian,
mereka lalu turun ke sungai dan berenang sambil tertawa bersuka ria.
Ketika hari
menjelang sore, ketujuh
putri raja selesai
mandi. Mereka pun
segera mengenakan baju terbang masing-masing lalu terbang ke
angkasa. Setelah mereka pergi, Mak Toyo segera turun ke sungai lalu menepuk air
tiga kali. Setelah itu, muncullah bunga bangkawali di atas permukaan air
sungai. Banta Seudang pun segera terjun ke dalam sungai. Dengan susah payah, ia
berenang ke tengah sungai untuk mengambil bunga bangkawali tersebut dan
kemudian kembali ke tepi sungai.“Mak Toyo! Aku
sudah mendapatkan bunga bangkawali. Terima atas
kebaikan, Mak!” ucap
Banta Seudang. “Ya, sama-sama. Segeralah bawa bunga ajaib itu untuk
ayahmu!” kata Mak Toyo.
Keesokan
hari, Banta Seudang
berpamitan kepada Mak
Toyo dan Jin
Pari. Namun karena mengetahui perjalanan yang akan ditempuh
Banta Seudang sangat jauh dan membutuhkan waktu yang cukup lama, maka Maka
Toyo dan Jin
Pari pun bersepakat
untuk mengantar Banta
Seudang. Jin Pari
dan Banta Seudang terbang dengan
menggunakan baju terbang, sedangkan Mak Toyo menunggangg gajah putih.
Dalam waktu
sehari, mereka pun
tiba di negeri
Banta Seudang ketika
hari mulai sudah
gelap. Banta Seudang yang melihat
rumahnya sepi dan tampak gelap, segera berteriak memanggil ibunya. “Ibu.. Ibu!
Banta sudah pulang
membawa obat mata
untuk ayah!” teriak
Banta Seudang dari
depan rumahnya. “Ya, masuklah anakku! Ibu sedang sibuk memperbaiki lampu
minyak,” teriak sang Ibu. Banta Seudang pun masuk ke dalam rumah bersama Mak
Toyo dan Jin Pari. “Kenapa gelap begini? Di mana lampu minyaknya, Bu?” tanya
Banta.
“Lampunya kehabisan minyak. Ibu baru
mengisinya,” jawab sang Ibu. Beberapa
saat kemudian, lampu
minyak itu pun
menyala. Sang Ibu
segera memeluk Banta
Seudang karena sudah lama sekali merindukannya. Banta Seudang pun
memperkenalkan Mak Toyo dan Jin Pari kepada kedua orangtuanya. “Bu, ini Mak
Toyo dan Jin Pari. Merekalah yang telah membantu Banta mendapatkan obat mata
untuk ayah,” jelas Banta Seudang.
Ibu Banta
Seudang pun tidak lupa berterima kasih
kepada Mak Toyo dan Jin Pari yang telah membantu Banta Seudang. “Bagaimana
keadaan ayah dan Ibu selama Banta pergi?” Banta Seudang kembali bertanya. Mendengar
pertanyaan Banta,
sang ibu terdiam sejenak. Dengan wajah sedih, sang Ibu kemudian bercerita bahwa
selama kepergian Banta Seudang,
Pakciknya tidak pernah
lagi membantu mereka. Terpaksalah sang
ibu harus bekerja
keras untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Betapa
sedih dan terharunya Banta
Seudang mendengar cerita ibunya. “Benar, anakku! Pakcikmu memang sungguh
keterlaluan dan tidak tahu diri. Sejak kamu pergi, dia tidak pernah lagi
memberi kami makanan.
Seandainya Ayah tidak
buta begini, Ayah
pasti sudah menghajarnya,” sahut
sang Ayah dengan geram. “Sabar, Ayah! Banta membawakan obat mata untuk Ayah,”
kata Banta menenangkan hati sang ayah. Setelah
keadaan tenang, Banta
Seudang segera mengambil
semangkuk air, lalu
mencelupkan bunga bangkawali yang
ia bawa ke dalam mangkuk. Setelah beberapa saat, ia mengusapkan air dari
mangkuk itu ke mata ayahnya hingga tiga kali. “Ayah! Cobalah buka mata Ayah
pelan-pelan!” pinta Banta Seudang. Sang Ayah pun pelan-pelan
membuka matanya. Sungguh
ajaib, matanya dapat
melihat seketika. Alangkah
bahagianya sang Ayah dapat melihat wajah putranya. “Sejak kamu
dilahirkan, barulah kali
ini Ayah bisa
melihat wajahmu, Anakku!
Ayah sangat bangga padamu. Berkat usaha dan perjuanganmu,
mata Ayah dapat melihat kembali seperti semula,” ucap sang Ayah seraya merangkul
Banta Seudang. “Seharusnya, Ayah berterima
kasih kepada Mak
Toyo dan Jin
Pari, karena merekalah
yang telah membantu Banta
mendapatkan bunga bangkawali
itu,” kata Banta
Seudang. Setelah berterima kasih kepada Mak
Toyo dan Jin
Pari, sang Ayah
pun membuka rahasia
mengenai siapa diri
mereka sebenarnya.
“Ketahuilah, anakku! Sebenarnya, Ayah
adalah Raja negeri ini. Sejak mata Ayah
buta akibat terkena ranting kayu ketika berburu di hutan,
kerajaan Ayah serahkan kepada Pakcikmu. Namun, ketika menjadi Raja, Pakcikmu
telah lupa diri dan mencampakkan kita,” ungkap sang Ayah.
Betapa terkejutnya
Banta Seudang mendengar
penjelasan ayahnya. Ia
baru mengerti bahwa
ternyata ayahnya adalah seorang
raja. Selama ini
ia mengira bahwa
pakciknya adalah seorang raja yang baik, karena telah memenuhi
kebutuhan keluarganya. Namun, ternyata pakciknya adalah seorang raja yang
licik dan serakah.
Mengetahui keadaan yang
sebenarnya, Bangka Seudang
pun berniat membantu ayahnya
untuk mengembalikan tahta kerajaan kepada ayahnya. Demikian
pula Mak Toyo dan
Jin Pari yang setelah mendengar
cerita ayah Banta Seudang, juga bersedia ikut membantu.
Keesokan
harinya, mereka pun berangkat ke istana. Ayah dan ibu Banta Seudang terbang
bersama Jin Pari dengan menggunakan baju terbang. Sedangkan Banta Seudang dan
Mak Toyo menunggang gajah putih. Sesampainya di istana, alangkah
terkejutnya sang Raja
saat melihat kedatangan
sang kakak bersama rombongannya.
Apalagi setelah mengetahui kedua mata kakaknya dapat melihat kembali.
“Apa maksud
kedatangan Kakak kemari?” tanya sang Raja. “Hai, Adikku!
Engkau memang adik
yang tidak tahu
diri. Kakak berikan
tahta kerajaan ini
untuk sementara, tapi engkau malah
mencampakkan Kakak bersama
permaisuri dan putraku selama bertahun-tahun. Kini saatnya
Kakak harus mengambil kembali tahta kerajaan ini!” seru sang Kakak. “Ha... ha...
ha...! Akulah penguasa negeri
ini. Tidak akan ada
yang bisa menggantikanku sebagai
Raja. Aku memiliki banyak pengawal dan prajurit. Tapi, kalau Kakak
berani merebut kembali tahta ini, hadapi dulu para pengawal dan prajuritku!”
seru sang Raja sambil tertawa terbahak-bahak dengan angkuhnya.
Mak Toyo dan Jin
Pari yang juga hadir di tempat itu sangat geram melihat keangkuhan sang Raja.
Oleh karena mereka mengetahui
permasalahan yang sebenarnya, maka tanpa diperintah
ayah Banta Seudang, mereka
langsung menyerang sang
Raja. Dengan satu
pukulan saja, sang
Raja pun jatuh tersungkur tidak sadarkan diri di depan
singgasananya. Para pengawal raja yang melihat peristiwa itu, tak seorang pun
yang mau membantu sang Raja, karena mereka juga mengetahui keadaan sebenarn ya.
Ketika sadarkan diri, sang Raja bersama keluarganya diusir dari istana. Ayah
Banta Seudang pun kembali menjadi
raja menggantikan adiknya
yang serakah dan
angkuh itu. Akhirnya, Banta Seudang bersama keluarganya kembali tinggal
di istana dan ia pun bisa bersekolah. Sementara Mak Toyo dan Jin Pari
diangkat sebagai pengawal istana.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment