Wednesday, 28 October 2015

Cerita Rakyat Aceh

“Banta Seudang”




Banta  Seudang  adalah  putra  Raja  Kerajaan  Aceh.  Ia  bersama  ayah  dan  ibunya  dicampakkan  oleh Pakciknya sendiri, karena ayahnya buta dan tidak dapat lagi melaksanakan tugas-tugas kerajaan. Suatu ketika, Banta Seudang pergi merantau untuk mencari obat mata untuk ayahnya dengan harapaan dapat kembali menjadi raja. Berhasilkah Banta Seudang menemukan obat mata untuk ayahnya? Ini ceritanya.
Aliksah, di Negeri Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia, hiduplah seorang Raja yang adil dan bijaksana. Sang Raja mempunyai  seorang  permaisuri  yang  sedang  hamil  tua. Suatu ketika, sang Raja pergi berburu binatang ke hutan. Ketika itulah permaisurinya melahirkan seorang anak lakilaki yang tampan di istana, dan  diberinya  nama  Banta Seudang. Namun, malang nasib bagi sang Raja, karena ia
tidak  bisa  melihat  wajah  tampan putranya. Kedua matanya buta terkena ranting kayu saat berburu di hutan. Sejak saat  itu,  ia  tidak  dapat  melaksanakan  tugas-tugas kerajaan  lagi.  Oleh  karena Banta Seudang masih bayi, maka tahta kerajaan ia serahkan untuk sementara kepada adik  kandungnya.  Namun, sang  Adik  yang  baru  diangkat  menjadi  raja  itu  sangat  licik  dan  serakah. 
Ia membuatkan  sebuah  rumah  agak  jauh  dari  istana  untuk  tempat  tinggal  kakaknya  bersama  istri  dan Banta Seudang. Raja baru itu setiap hari mengirim bantuan makanan untuk kebutuhan sehari-hari sang Kakak bersama keluarganya.Waktu  terus  berjalan.  Banta  Seudang  tumbuh  menjadi  remaja  yang  tampan.  Ia  pun  mulai  bertanyatanya  kepada  ibunya  tentang  siapa  yang  memenuhi  kebutuhan  hidup  mereka  sehari-hari,  padahal ayahnya buta. “Maaf, Ibu! Bolehkah aku bertanya sesuatu kepada Ibu,” kata Banta. “Ada apa, Anakku? Katakanlah!” seru sang Ibu. “Dari mana kita mendapat makanan setiap hari, padahal Ayah tidak pernah bekerja?” tanya Banta ingin tahu.
“Ketahuilah, Anakku! Kebutuhan hidup sehari-hari kita dibantu oleh Pakcikmu yang kini menjadi Raja,” jawab ibunya. “Pakcik baik hati sekali ya Bu,” kata Banta. “Iya, Anakku!” jawab sang Ibu sambil tersenyum seraya membelai-belai rambut si Banta. Pada suatu hari, sang  Ibu bersama Banta Seudang pergi menghadap sang Raja. Di hadapan Raja, sang Ibu memohon kepada Raja untuk membantu Banta Seudang agar bisa bersekolah. Namun, permohonan sang Ibu ditolak oleh sang Raja. “Dasar  kalian tidak tahu  diri! Dikasih  sedepa  minta  sejengkal  pula. Bukankah  semua  kebutuhan hidup sehari-hari kalian telah aku penuhi!” bentak sang Raja. Alangkah  sedihnya  hati  sang  Ibu  mendengar  bentakan  itu.  Ia  pun  mengajak  Banta  kembali  ke  rumah. Sesampainya di rumah, Banta Seudang berusaha menenangkan hati ibunya. “Sudahlah, Bu! Ibu tidak usah bersedih begitu. Kita seharusnya bersyukur karena Pakcik sudah banyak membantu kita,” bujuk si Banta. “Banta! Kamu memang Anakku yang baik. Tapi,kamu harus sekolah seperti teman -teman sebayamu,” kata sang Ibu.
Mendengar perkataan itu, si Banta tiba-tiba berpikir bahwa apa yang dikatakan ibunya itu benar. Maka timbullah  pikirannya  untuk  mencari  obat  mata  untuk  ayahnya.  Jika  kelak  ayahnya  bisa  melihat  lagi, tentu sang Ayah bisa mencari nafkah sendiri dan dapat membantu biaya sekolahnya. Pada suatu hari, Banta Seudang menyampaikan niatnya kepada ibunya. “Bu, Banta ingin pergi mencari obat mata untuk Ayah agar dapat kembali bekerja seperti biasanya dan Banta pun bisa sekolah,” ungkap Banta Seudang. “Baiklah, Anakku! Ibu merestuimu.  Pergilah mencari obat mata  untuk  Ayahmu.  Ibu doakan  semoga kamu berhasil,” kata sang Ibu.
Sang Ibu pun menyampaikan maksud Banta tersebut kepada ayah Banta. Dengan senang hati, sang Ayah pun merestui perjalanan Banta mencari obat.  Keesokan harinya, dengan bekal seperlunya, berangkatlah Banta Seudang untuk mencari obat. Ia berjalan seorang diri menyusuri hutan belantara, menyeberangi sungai, menaiki gunung, dan menuruni lembah-lembah. Setelah berbulan-bulan berjalan, ia pun tiba di sebuah hutan rimba yang dipenuhi oleh pohon-pohon besar. Di tengah hutan itu, ia menemukan sebuah balai. Ia pun memutuskan untuk melepas lelah di balai itu. Ketika sedang merebahkan tubuhnya, tiba tiba hatinya bertanya-tanya.
“‘Kenapa ada balai di tengah hutan ini? Wah,  pasti ada orang yang tinggal di sekitar sini,” pikirnya dalam hati. Ternyata benar. Menjelang waktu Ashar, tiba-tiba beberapa orang berjubah putih datang ke balai itu. Mereka lalu melakukan shalat secara berjamaah. Dengan hati bertanya-tanya, Banta hanya diam sambil
memerhatikan perilaku orang-orang tersebut. Beberapa saat kemudian, Banta tiba-tiba melihat sebuah peristiwa  ajaib. 
Begitu  selesai  shalat,  orang-orang  yang  berjubah  putih  tersebut  tiba-tiba  menghilang dari pandangan matanya. Rupanya, Banta tidak  tahu bahwa mereka itu adalah arwah-arwah para Aulia (Wali)  Allah.  Setelah  menyaksikan  peristiwa  itu,  Banta  kemudian  berpikir  akan  mendekati  imamnya ketika para Wali tersebut melaksanakan shalat. “Jika mereka selesai shalat, aku akan langsung memegang tangan sang Imam agar tidak menghilang,” pikirnya. Banta  Seudang  pun  tinggal  di  balai  itu  menunggu  kedatangan  para  Wali.  Ketika  waktu  shalat  Magrib tiba,  para  Wali  tersebut  datang  untuk  melaksanakan  shalat.  Banta  Seudang  pun  segera  duduk  di
samping imam. Begitu imam selesai shalat, ia langsung memegang tangannya.
“Hai, Anak Muda! Kenapa kamu memegang tanganku?” tanya imam itu. ‘Maaf, Tuan! Saya memegang tangan Tuan supaya tidak menghilang,” jawab Banta. “Kalau  saya  boleh  bertanya,  siapakah  Tuan-tuan  ini  sebenarnya?  Kenapa  Tuan-tuan  bisa  tiba-tiba muncul dan menghilang begitu saja?” tanya Banta heran.“Kami adalah para Aulia Allah,” jawab imam itu. “Engkau sendiri siapa? Kenapa bisa berada di tempat ini?” imam itu balik bertanya kepada Banta. “Saya Banta Seudang, Tuan! Saya hendak mencari obat mata untuk Ayah saya,” jawab Banta. ‘Memang kenapa mata Ayahmu?” tanya imam itu. “Mata ayah saya buta, Tuan! Saya ingin agar mata Ayah saya bisa melihat lagi,” jawab Banta. “Engkau adalah anak yang berbakti. Baiklah kalau begitu, kamu tunggu di sini saja. Nanti akan datang gajah  putih  ke  balai  ini.  Ikuti  gajah  putih  itu  ke  mana  pun  pergi,”  ujar  sang  Imam  dan  langsung menghilang.
Betapa senang hati Banta Seudang mendapat petunjuk dari Wali itu. Tidak berapa lama ia menunggu, tiba-tiba datanglah seekor gajah putih ke balai itu. Setelah mendapat isyarat dari gajah itu, Banta pun segera naik ke atas punggung gajah. Sang gajah berjalan menyusuri hutan belantara menuju ke sebuah lembah  di  mana  terdapat  sebuah  sungai  yang  sangat  jern ih  airnya.  Di  pinggir  sungai  terdapat  sebuah pohon besar yang dihuni oleh Jin Pari yang memiliki baju terbang. Melihat kedatangan Banta bersama gajah putih itu, Jin Pari pun segera menyambut mereka.
“Jangan  takut,  Anak  Muda!  Aku  sudah  tahu  maksud  kedatanganmu  kemari. Kamu  ingin  mencari  obat mata untuk Ayahmu bukan?” tanya Jin Pari kepada Banta.“Benar, Jin Pari!” jawab Banta. “Baiklah  kalau  begitu. Aku tahu cara  untuk  menyembuhkan  mata Ayahmu. Di  tengah  sungai  itu, terdapat sebuah bunga ajaib, namanya bunga bangkawali,” ungkap Jin Pari. “Bagaimana saya bisa mendapatkannya, Jin?” tanya Banta bingung.  Jin Pari pun bercerita  kepada Banta Seudang bahwa  setiap  jumat  ada  tujuh putri  raja dari  negeri  lain datang  ke  sungai  itu  untuk  mandi-mandi. 
Untuk  menjaga  sungai  itu,  raja  negeri  lain  menugaskan seorang perempuan tua bernama Mak Toyo. Ia tinggal di sekitar sungai itu. Setiap kali ketujuh putri raja selesai  mandi  di  sungai itu,  Mak  Toyo  turun  ke  sungai  untuk  menepuk  air  tiga  kali. Setelah  itu  bunga ajaib ‘bangkawali’ akan muncul di atas permukaan air. Oleh karena itu, Banta harus meminta bantuan Mak Toyo untuk mendapatkan bunga ajaib itu. Pada suatu malam, Jin Pari bersama Banta Seudang mendatangi tempat tinggal Mak Toyo. Perempuan penjaga sungai itu pun bersedia membantu Banta mendapatkan bunga bangkawali itu, tapi dengan satu syarat. “Cucuku,  jika  ingin  mendapatkan  bunga  bangkawali  itu,  kamu  harus  mengambilnya  sendiri  dengan berenang ke tengah sungai itu,” ujar Mak Toyo kepada Banta.
Setelah mendapat penjelasan dari Mak Toyo, Jin Pari dan Banta pun mohon diri. Untuk melaksanakan syarat Mak Toyo, Banta harus menunggu hingga hari jumat. Maka ketika hari jumat tiba, ketujuh putri raja yang  cantik-cantik  tersebut  datang  dengan  baju  terbang  mereka  hendak  mandi  di  sungai. Usai berganti pakaian, mereka lalu turun ke sungai dan berenang sambil tertawa bersuka ria.
Ketika  hari  menjelang  sore,  ketujuh  putri  raja  selesai  mandi.  Mereka  pun  segera  mengenakan  baju terbang masing-masing lalu terbang ke angkasa. Setelah mereka pergi, Mak Toyo segera turun ke sungai lalu menepuk air tiga kali. Setelah itu, muncullah bunga bangkawali di atas permukaan air sungai. Banta Seudang pun segera terjun ke dalam sungai. Dengan susah payah, ia berenang ke tengah sungai untuk mengambil bunga bangkawali tersebut dan kemudian kembali ke tepi sungai.“Mak Toyo! Aku  sudah  mendapatkan bunga  bangkawali. Terima  atas  kebaikan,  Mak!”  ucap  Banta Seudang. “Ya, sama-sama. Segeralah bawa bunga ajaib itu untuk ayahmu!” kata Mak Toyo.
Keesokan hari,  Banta  Seudang  berpamitan  kepada  Mak  Toyo  dan  Jin  Pari. Namun  karena  mengetahui perjalanan yang akan ditempuh Banta Seudang sangat jauh dan membutuhkan waktu yang cukup lama, maka  Maka  Toyo  dan  Jin  Pari  pun  bersepakat  untuk  mengantar  Banta  Seudang.  Jin  Pari  dan  Banta Seudang terbang dengan menggunakan baju terbang, sedangkan Mak Toyo menunggangg gajah putih.
Dalam  waktu  sehari,  mereka  pun  tiba  di  negeri  Banta  Seudang  ketika  hari  mulai  sudah  gelap.  Banta Seudang yang melihat rumahnya sepi dan tampak gelap, segera berteriak memanggil ibunya. “Ibu..  Ibu!  Banta  sudah  pulang  membawa  obat  mata  untuk  ayah!”  teriak  Banta  Seudang  dari  depan rumahnya. “Ya, masuklah anakku! Ibu sedang sibuk memperbaiki lampu minyak,” teriak sang Ibu. Banta Seudang pun masuk ke dalam rumah bersama Mak Toyo dan Jin Pari. “Kenapa gelap begini? Di mana lampu minyaknya, Bu?” tanya Banta.
“Lampunya kehabisan minyak. Ibu baru mengisinya,” jawab sang Ibu. Beberapa  saat  kemudian,  lampu  minyak  itu  pun  menyala.  Sang  Ibu  segera  memeluk  Banta  Seudang karena sudah lama sekali merindukannya. Banta Seudang pun memperkenalkan Mak Toyo dan Jin Pari kepada kedua orangtuanya. “Bu, ini Mak Toyo dan Jin Pari. Merekalah yang telah membantu Banta mendapatkan obat mata untuk ayah,” jelas Banta Seudang.
Ibu Banta Seudang pun  tidak lupa berterima kasih kepada Mak Toyo dan Jin Pari yang telah membantu Banta Seudang. “Bagaimana keadaan ayah dan Ibu selama Banta pergi?” Banta Seudang kembali bertanya. Mendengar  pertanyaan  Banta,  sang ibu terdiam sejenak. Dengan wajah sedih, sang Ibu kemudian bercerita  bahwa  selama  kepergian Banta  Seudang,  Pakciknya  tidak  pernah  lagi  membantu  mereka. Terpaksalah  sang  ibu  harus  bekerja  keras  untuk  memenuhi  kebutuhan  mereka.  Betapa  sedih  dan terharunya Banta Seudang mendengar cerita ibunya. “Benar, anakku! Pakcikmu memang sungguh keterlaluan dan tidak tahu diri. Sejak kamu pergi, dia tidak pernah  lagi  memberi  kami  makanan.  Seandainya  Ayah  tidak  buta  begini,  Ayah  pasti  sudah menghajarnya,” sahut sang Ayah dengan geram. “Sabar, Ayah! Banta membawakan obat mata untuk Ayah,” kata Banta menenangkan hati sang ayah. Setelah  keadaan  tenang,  Banta  Seudang  segera  mengambil  semangkuk  air,  lalu  mencelupkan  bunga bangkawali yang ia bawa ke dalam mangkuk. Setelah beberapa saat, ia mengusapkan air dari mangkuk itu ke mata ayahnya hingga tiga kali. “Ayah! Cobalah buka mata Ayah pelan-pelan!” pinta Banta Seudang. Sang Ayah pun  pelan-pelan  membuka  matanya.  Sungguh  ajaib,  matanya  dapat  melihat  seketika. Alangkah bahagianya sang Ayah dapat melihat wajah putranya. “Sejak  kamu  dilahirkan,  barulah  kali  ini  Ayah  bisa  melihat  wajahmu,  Anakku!  Ayah  sangat  bangga padamu. Berkat usaha dan perjuanganmu, mata Ayah dapat melihat kembali seperti semula,” ucap sang Ayah seraya merangkul Banta Seudang. “Seharusnya,  Ayah  berterima  kasih  kepada  Mak  Toyo  dan  Jin  Pari,  karena  merekalah  yang  telah membantu  Banta  mendapatkan  bunga  bangkawali  itu,”  kata  Banta  Seudang. Setelah berterima  kasih kepada  Mak  Toyo  dan  Jin  Pari,  sang  Ayah  pun  membuka  rahasia  mengenai  siapa  diri  mereka sebenarnya.
“Ketahuilah, anakku! Sebenarnya, Ayah adalah Raja negeri ini. Sejak mata Ayah  buta  akibat  terkena ranting kayu ketika berburu di hutan, kerajaan Ayah serahkan kepada Pakcikmu. Namun, ketika menjadi Raja, Pakcikmu telah lupa diri dan mencampakkan kita,” ungkap sang Ayah.
Betapa  terkejutnya  Banta  Seudang  mendengar  penjelasan  ayahnya.  Ia  baru  mengerti  bahwa  ternyata ayahnya  adalah  seorang  raja.  Selama  ini  ia  mengira  bahwa  pakciknya  adalah  seorang raja yang baik, karena telah memenuhi kebutuhan keluarganya. Namun, ternyata pakciknya adalah seorang raja yang licik  dan  serakah.  Mengetahui  keadaan  yang  sebenarnya, Bangka Seudang  pun  berniat membantu ayahnya untuk mengembalikan tahta  kerajaan  kepada ayahnya.  Demikian  pula  Mak  Toyo dan  Jin  Pari yang setelah mendengar cerita ayah Banta Seudang, juga bersedia ikut membantu.
Keesokan harinya, mereka pun berangkat ke istana. Ayah dan ibu Banta Seudang terbang bersama Jin Pari dengan menggunakan baju terbang. Sedangkan Banta Seudang dan Mak Toyo menunggang gajah putih. Sesampainya di istana,  alangkah  terkejutnya  sang  Raja  saat  melihat  kedatangan  sang  kakak bersama rombongannya. Apalagi setelah mengetahui kedua mata kakaknya dapat melihat kembali.
“Apa maksud kedatangan Kakak kemari?” tanya sang Raja. “Hai,  Adikku!  Engkau  memang  adik  yang  tidak  tahu  diri.  Kakak  berikan  tahta  kerajaan  ini  untuk sementara, tapi  engkau  malah  mencampakkan  Kakak  bersama  permaisuri  dan  putraku selama bertahun-tahun. Kini saatnya Kakak harus mengambil kembali tahta kerajaan ini!” seru sang Kakak. “Ha...  ha...  ha...! Akulah  penguasa  negeri  ini. Tidak  akan  ada  yang  bisa  menggantikanku  sebagai  Raja. Aku memiliki banyak pengawal dan prajurit. Tapi, kalau Kakak berani merebut kembali tahta ini, hadapi dulu para pengawal dan prajuritku!” seru sang Raja sambil tertawa terbahak-bahak dengan angkuhnya.
Mak Toyo dan Jin Pari yang juga hadir di tempat itu sangat geram melihat keangkuhan sang Raja. Oleh karena  mereka  mengetahui  permasalahan  yang  sebenarnya, maka tanpa  diperintah  ayah Banta Seudang, mereka  langsung  menyerang  sang  Raja.  Dengan  satu  pukulan  saja,  sang  Raja  pun  jatuh tersungkur tidak sadarkan diri di depan singgasananya. Para pengawal raja yang melihat peristiwa itu, tak seorang pun yang mau membantu sang Raja, karena mereka juga mengetahui keadaan sebenarn ya. Ketika sadarkan diri, sang Raja bersama keluarganya diusir dari istana. Ayah Banta Seudang pun kembali menjadi  raja  menggantikan  adiknya  yang  serakah  dan  angkuh  itu. Akhirnya, Banta  Seudang bersama keluarganya kembali tinggal di istana dan ia pun  bisa  bersekolah. Sementara Mak Toyo dan Jin Pari diangkat sebagai pengawal istana.

Terima kasih sudah membaca.

“TAMAT”






No comments:

Post a Comment